Membaca Ulang Problem Ekonomi
Antara Keinginan, Kebutuhan dan Ketakwaan
Konsep kebutuhan yang berbeda ini secara langsung telah membentuk cara individu membuat pilihan. Ekonomi konvensional menyederhanakan pilihan pada dua faktor, yaitu preferensi (apa yang disukai) dan budget constraint (kendala anggaran). Asumsinya, individu akan memaksimalkan kepuasan (utility) dengan anggaran yang terbatas
Syafruddin Kamal, S.E. *)
HAMPIR setiap menjelang hari-hari terakhir Ramadan, pusat perbelanjaan di Banda Aceh selalu ramai oleh pengunjung. Mereka berasal dari dalam maupun dari luar kota Banda Aceh untuk membeli berbagai kebutuhan hari raya. Sebuah pamandangan yang kontras karena di satu sisi, semangat untuk beribadah terasa kental. Namun, di sisi lain, geliat konsumerisme juga tak terbendung.
Pertanyaannya, dalam memenuhi kebutuhan Lebaran tersebut, apakah pilihan kita sudah sejalan dengan nilai-nilai syari’ah yang menjadi landasan kehidupan di Serambi Mekkah? Dalam praktiknya, apakah sekadar bebas dari riba saja atau sudah menyentuh esensi keadilan dan kesejahteraan yang holistik?
Dalam perspektif ekonomi konvensional, kebutuhan dilihat secara materialistik dan hierarkis seperti yang tergambar dalam teori Piramida Maslow. Yang berujung pada aktualisasi diri dan bersifat sekuler sebagai bentuk kebutuhan aspirasional pribadi tertinggi dalam hierarki.
Meskipun Abraham Harold Maslow sendiri tidak pernah menciptakan piramida untuk merepresentasikan hierarki kebutuhan tersebut (Bridgman et al., 2019). Namun demikian, empat lapisan piramida yang paling fundamental (kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan) mengandung apa yang disebut Maslow sebagai kebutuhan defisiensi.
Maslow (1943) menjelaskan kebutuhan defisiensi sebagai kebutuhan yang timbul karena adanya kekurangan yang memotivasi seseorang untuk memenuhinya demi menghindari perasaan atau konsekuensi yang tidak menyenangkan seperti kebutuhan dasar (kebutuhan fisiologis).
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi kemungkinan tidak akan ada indikasi fisik, tetapi individu cenderung merasa cemas dan tegang.
Deprivasi inilah yang menyebabkan defisiensi, sehingga ketika seseorang memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, akan memotivasi mereka untuk memenuhi apa yang tidak terpenuhi tersebut. Aktualisasi diri sangat merepresentasikan realisasi potensi seseorang secara penuh setelah kebutuhan yang lebih mendasar, seperti kebutuhan tubuh dan ego terpenuhi (Maslow, 1943).
Namun, dalam ekonomi Islam, konsep kebutuhan dibingkai dalam Maqāṣid al-Sharīʿah (tujuan hukum Islam), yaitu segala hal yang wajib dipelihara untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat meliputi agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafṣ), akal (ḥifẓ al-aql), keturunan (ḥifẓ al-naṣl), dan harta (ḥifẓ al-māl).
Dengan demikian, menggunakan pakaian baru untuk beribadah adalah kebutuhan untuk memelihara agama sebagai sebuah kehormatan ibadah. Namun demikian, meski Aceh dijuluki sebagai Serambi Mekkah, justru menunjukkan kontras dalam realita kehidupan masyarakatnya menjelang akhir Ramadan. Misalnya, masyarakat justru berbondong-bondong mendatangi berbagai pusat perbelanjaan dengan meninggalkan momen-moment penting ibadah seperti salat Tarawih. Bukankah ini fenomena yang menyedihkan?
Konsep kebutuhan yang berbeda ini secara langsung telah membentuk cara individu membuat pilihan. Ekonomi konvensional menyederhanakan pilihan pada dua faktor, yaitu preferensi (apa yang disukai) dan budget constraint (kendala anggaran).
Asumsinya, individu akan memaksimalkan kepuasan (utility) dengan anggaran yang terbatas. Untuk itu, ekonomi mikro Islam menghadirkan filter ketiga yang fundamental berupa kendala moral (moral constraint). Setiap pilihan harus melalui saringan halal-haram, maslahat-mudarat, dan terbebas dari israf (berlebihan/boros).
Jika kita ingin memilih baju Lebaran, apakah kita hanya menyoroti produk dengan harga yang terjangkau saja? Atau kita telah berpikir lebih jauh dengan mempertanyakan, apakah proses produksinya halal atau justru menimbulkan mudarat? Pilihan konsumen yang kritis tentu akan memaksa pasar untuk beradaptasi menuju ekosistem yang lebih etis.
Perbedaan pada tingkat individu ini berimplikasi pada perbedaan tujuan pada tingkat sistem. Tujuan akhir ekonomi konvensional adalah profit maximization (memaksimalkan keuntungan) dengan cost minimization (meminimalkan biaya) bagi produsen dan memberikan kepuasan atau benefit pada keinginan manusia yang tak terbatas. Adapun tujuan akhir ini berfokus pada pertumbuhan dan akumulasi kapital.
Sebaliknya, tujuan ekonomi Islam adalah mencapai falah (kemenangan) yang menyeluruh di dunia dan akhirat. Tujuan ini dapat diraih, salah satunya melalui distribusi kekayaan yang adil dan pemanfaatan sumber daya yang etis, dengan fokus pada keadilan (‘adl) dan kebermanfaatan (maslahat).
Dalam konteks Aceh, kebijakan ekonomi daerah sejatinya tidak boleh hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi industri yang beroperasi wajib menyediakan kebutuhan hidup masyarakat baik kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang berstandar halal, berkeadilan, dan tidak merusak lingkungan. Karena dalam praktiknya, ekonomi mikro Islam mengandung tiga unsur yang saling terhubung sebagai fondasi yang fundamental dalam penerapannya yang disebut sebagi triangle concept.
Lantas, di Manakah Letak Persoalan Pokoknya?
Pemikir ekonomi Islam visioner yaitu Mohammad Baqir Al-Sadr (1935—1980 M), memberikan jawaban yang mencerahkan. Sebagaimana diungkapkan di dalam karya fenomenalnya yang berjudul Iqtisaduna, masalah utamanya bukanlah terletak pada kelangkaan sumber daya (scarcity) sebagaimana diasumsikan ekonomi konvensional, melainkan pada pengetahuan cara mengolah dan mekanisme distribusi yang zalim (Baqir Al-Sadr, 2014). Allah Swt. telah menciptakan sumber daya yang cukup untuk semua makhluk-Nya.
Kelangkaan yang kita saksikan adalah buah hasil dari sistem distribusi yang gagal dan perilaku konsumsi yang serakah (israf). Solusinya adalah revolusi paradigma, yang awalnya bermuara pada paradigma kelangkaan menuju paradigma kecukupan (sufficiency). Ini sangat relevan dengan Aceh sebagai provinsi yang dikaruniai kekayaan alam, pertanian, kelautan yang melimpah, tetapi justru masih bergumul dengan kesenjangan dan kemiskinan akut.
Pemerataan pembangunan serta pengentasan kemiskinan adalah ujian nyata bagi klaim penerapan syariat Islam di Aceh. Keberhasilan mewujudkan distribusi yang adil inilah, menurut Al-Sadr, yang akan membedakan ekonomi Islam secara nyata.
Penutup: Refleksi untuk Aceh ke Depan
Aceh telah berlandaskan pada nilai dan legal formal Islam yang kuat pada berbagai aspek. Tantangannya kini adalah mendefinisikan konsep-konsep agung ekonomi Islam menjadi kebijakan yang konkret dan terukur. Mulai dari tingkat mikro hingga makro pada aktivitas ekonomi.
Masa depan ekonomi Aceh tidak hanya terletak pada mengejar jejak ekonomi konvensional, tetapi menjadi pelopor ekonomi yang memadukan efisiensi dan keadilan, akal dengan nilai, dan dunia dengan akhirat. Hanya dengan itu, geliat ekonomi di pusat-pusat perbelanjaan, khususnya pada hari-hari terakhir Ramadan pada tahun-tahun mendatang akan benar-benar mencerminkan kesejahteraan yang hakiki, lahir, dan batin.