Arul Badak dan Kopi Arabika Gayo

Sinta Ulandari Renah Rembune (Dok. Sinta Ulandari)
Penulis:

Oleh: Sinta Ulandari Renah Rembune*

Secara khusus, tulisan ini mengurai soal kopi Arabika Gayo dan kehidupan di tanah tembuni (kelahiran) penulis di Arul Badak, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah. Sekilas soal kampung penulis ini, memang cukup jauh dari pusat ibu kota Aceh Tengah, yaitu Takengon. Daerah ini merupakan daerah yang penuh dengan perkebunan kopi dan tanaman-tanaman lainnya. Sejak kecil, penulis telah mendiami Kampung Arul Badak ini dengan keseharian bersama kopi. 

Berawal dari proses tanpa protes Kopi Gayo Arul Badak, yang merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat di sana termasuk orang tua penulis. Mata pencaharian ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Gayo pada umumnya. Mereka memanfaatkan ladang kopi sebagai ladang penghidupan masa depan kesejahteraan keluarga di samping tumpang sari dengan tanaman-tanaman palawija lainnya.

Melalui kopi, masyarakat dapat melanjutkan keberlangsungan hidupnya dengan menjual kopi merah, gabah maupun biji hijau atau green bean-nya kepada pengepul. Namun menariknya, saat ini petani juga sudah mulai merambah untuk memasarkan kopi sendiri. Baik melalui pameran maupun melalui penjualan online dan offline.

Berbicara minum kopi, masyarakat juga tidak lagi repot-repot membeli bubuk kopi lantaran karena telah mandiri dalam mengolah kopi menjadi serbuk atau bubuk kopi. Dulu diproses dengan gaya tradisional, dan sekarang sudah terdapat mesin modern. Meski demikian, proses tradisional juga tidak dapat ditinggalkan karena mungkin sebagian masyarakat lebih suka. Soal pilihan tidak menjadi persoalan, namun yang penting kopinya adalah kopi arabika.

Kopi dapat dinikmati semua orang, buktinya kopi Arabika Gayo telah melanglang buana ke belahan dunia. Artinya, selain masyarakat Gayo yang meminum kopinya sendiri masyarakat di dunia juga menikmati kopinya. Dengan itu masyarakat sangat menjaga betul kualitas kopi Arabika Gayo supaya menghasilkan dan mempertahankan rasa yang baik. Tidak hanya itu, masyarakat juga mengharapkan dapat menghasilkan panen yang sempurna.

Selain mengharapkan panen yang sempurna, rasa juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan. Soal rasa dari kopi Arabika Gayo turut menjadi perhatian dunia dari beberapa kopi Arabika yang ada di Indonesia. Kopi Arabika Gayo juga telah menjadi salah satu kopi yang miliki rasa yang spesial di mata dunia.

Kopi Arabika Gayo (Foto: Sinta Ulandari Renah Rembune)

Negara-negara Uni Eropa (UE) misalnya, mereka menyatakan dan mengakui Sertifikat Indikasi Geografis (IG) Kopi Arabika Gayo khususnya Kabupaten Aceh Tengah yang telah diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2010 yang lalu.

Tidak hanya itu saja, dikutip dari Indonesiabaik.id, Kopi Arabika Gayo sudah terkenal diberbagai belahan dunia dengan cita rasa yang tinggi dengan aroma yang khas, tingkat keasaman yang rendah dan tentunya memiliki kepahitan yang kuat.

Dalam pepatah Gayo sering dikatakan (Gere Ara kupi Gere Ara Cerite) jika tidak minum kopi tidak ada cerita. Jika penulis amati, fenomena ini memang telah melekat dan menjadi budaya bagi masyarakat di dataran tinggi Gayo. Hal ini dapat dilihat dari setiap kegiatan apapun selalu yang menemani cerita adalah dihidangkannya kopi Gayo.

Selain itu masyarakat Gayo juga memberikan istilah muriti-riti lagu kupi, murentang-rentang lagu gantang yang memberikan makna bahwa "bersusun rapi seperti batangnya kopi, berbanjar seperti baris kentang”. Dari pepatah-pepatah tersebut dapat kita simpulkan bahwa kopi Gayo bukan hanya untuk sekedar minuman, namun juga makna kebudayaan yang kukuh dan menyusun kata yang sangat baik. Artinya dengan meminum kopi akan meningkatkan imajinasi berpikir sehingga menjadi pelajaran bagi pembacanya.

Selain pepatah itu juga dapat kita lihat di berbagai perkumpulan yang dilaksanakan masyarakat Gayo ada yang mengatakan bahwa kul ni buet gere bekupi. Maknanya adalah dalam setiap pekerjaan tanpa kopi belum sah. Pepatah ini merupakan sebuah pesan sindiran halus ditengah banyaknya kegiatan. Dalam kata lain, pesan ini memiliki makna tuan rumah tidak menghidangkan kopi padahal pekerjaan begitu besarnya. 

Bercerita mengenai Tanah Gayo memang tidak pernah habisnya, termasuk soal kopi dan pepatahnya ini. Bagi penulis pribadi banyak memetik hikmah dan pelajaran dari pepatah yang ditinggalkan dari orang-orang tua di masa lalu. Pepatah tersebut secara tidak langsung memberikan pesan kepada regenerasi saat ini. 

Kata-kata ini dimaknai bahwa kitalah sebagai generasi yang meneruskan Tanoh Gayo yang tidak boleh sama sekali punah, jangan tanya apa yang diberikan Tanoh Gayo untuk kita, tapi sadari apa yang telah kita beri untuk tanah kita, dimana pun, siapapun dan kapanpun.

*Penulis Merupakan Mahasiswi Prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Editor: Junaidi