Ban Mobil Bekas yang Menghasilkan Tiram
Syardani M. Syarif, mantan Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini memilih menjadi entrepreneur dari pada jalur politik praktis. Usaha yang dipilih pun terbilang unik, yaitu seorang pelopor mengembangkan usaha Budidaya Tiram Metode Sederhana (BTMS) bersama warga yang tinggal di pesisir pantai di Banda Aceh.
Sejak 2015 lalu, setelah penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Syardani M. Syarif yang akrab disapa Tgk Jamaica mulai bergelut dengan budidaya tiram.
Gagasan dia kemudian disambut oleh pemerintah Aceh melalui Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh membuat program percontohan BTMS di waduk Desa Tibang-Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Yaitu dengan memanfaatkan material ban mobil bekas sebagai media kolektor tempat menempel bibit tiram (spat).
Sejak itulah hingga sekarang Tgk Jamaica tetap konsisten melakukan budidaya tiram. Bukan tak memiliki alasan kuat fokus budidaya tiram. Ini mengingat Aceh berada di pesisir pantai. Dari 23 kabupaten/kota, ada 18 daerah yang cukup banyak lahan untuk membudidaya tiram yang berkualitas dan bahkan bisa dijadikan komiditas ekspor.
Seperti diketuai, Aceh merupakan provinsi yang berada di Barat Pulau Sumatera dengan luas wilayah pesisir pantai 1.660 km, yang sangat luas bila dibandingkan dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera.
Terlebih berdasarkan letak geografis, pantai Barat Selatan yang bersebelahan dengan Samudra Hindia dan pantai Timur Utara bersebelahan dengan Selat Malaka. Tentunya ada banyak muara atau waduk di pesisir pantai dapat dijadikan lahan untuk budidaya tiram.
Apa lagi Tgk Jamaica mengungkapkan, BTMS ini tidak terlalu rumit dan tidak membutuhkan anggaran yang besar. Selain lahan sudah tersedia dari alam langsung, begitu juga benih tiram juga tersedia di alam. Sehingga budidaya tiram di Aceh hanya membutuhkan alat sederhana, seperti ban mobil bekas dan beberapa peralatan lainnya.
Selama ini ban mobil bekas dibuang begitu saja, sehingga semakin menambah jumlah sampah yang sulit terurai. Padahal ban mobil yang tak digunakan lagi itu dapat dimanfaatkan menjadikan sarang tiram yang memiliki nilai ekonomi menjanjikan.
Tgk Jamaica merupakan seorang pelopor BTMS di Aceh, memulai budidaya tiram dan di kawasan sungai Tibang, waduk dan anak sungai Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh dengan menggunakan ban bekas sejak 2015 lalu.
Tgk Jamaica mengaku, luas lahan yang tersedia, baik di Banda Aceh maupun di beberapa kabupaten/kota di Aceh yang berada di garis pesisir pantai, cukup potensial melakukan budidaya tiram.
Gagasan BTMS ini, sebut Tgk Jamaica, bermula melihat masyarakat mengambil tiram secara tradisional. Hanya memanen tiram yang sudah tersedia di alam, dengan cara menyelam dalam air asin berjam-jam tanpa ada upaya untuk membudidaya.
Akibatnya, kata Tgk Jamaica, banyaknya pencari tiram mengandalkan ketersediaan di alam, sehingga tidak jarang saling berebutan. Yang terjadi kemudian tiram yang masih berusia 2-3 bulan (masih bayi) juga diambil oleh pencari tiram.
Ini tentu akan berakibat fatal bila tiram usia masih bayi terus diambil, tanpa ada upaya melestarikan dengan cara budidaya. Padahal membudidaya tiram bukan perkara rumit, terlebih lahan yang sudah tersedia dari alam, begitu juga benih masih bertaburan di pesisir pantai di Aceh.
Bila dibudidaya dengan baik, sebutnya, bayi tiram dibiarkan hidup hingga usia 6-7 bulan secara normal, dari sisi ekonomi cukup menguntungkan. Karena harga jual mahal, bahkan bila jumlahnya banyak dapat dijadikan komoditi ekspor.
Namun bila masih mengandalkan tiram yang tersedia dari alam. Selain jumlah produksinya terbatas dan pemasarannya hanya untuk kebutuhan domestik dan bahkan kerap tidak mencukupi, karena sejak bayi sudah diambil oleh petani tiram di Aceh.
"Untuk diketahui bahwa selama ini produksi tiram di Aceh masih mengandalkan tiram hasil alam, dimana petani tiram umumnya memanen tiram yang hidup alami di perairan umum seperti di alur, sungai dan waduk," kata Tgk Jamaica, Selasa (29/6/2021).
Katanya, kalau dibudidaya, tiram semakin banyak, ukurannya besar dan harganya bisa lebih mahal. Juga bisa diekspor. Untuk mengeskpor, eksportir biasanya membutuhkan tiram dalam jumlah banyak dan berkelanjutan. Caranya agar berkesinambungan adalah dengan cara budidaya.
“Karena kalau ekspor itu butuh stok yang banyak, caranya ya membudidaya," tukasnya.
Tgk Jamaica menjelaskan, membudidaya tiram dengan metode sederhana ini, cukup menggunakan ban mobil bekas yang digantung pada struktur keramba beton (Rumah Tiram) permanen yang dilapisi dengan pipa paralon sebagai casing untuk memudahkan pemasangan, bibit tiram secara alami akan menempel sendiri pada material ban mobil bekas.
Dengan melakukan BTMS ini, petani tiram tidak perlu harus berendam dalam air asin dan berlumpur selama berjam-jam untuk mengambil/memanen tiram sebagaimana dilakukan petani tiram tradisional biasanya.
Petani tiram dengan menggunakan sampan atau perahu kecil dapat memanen (mengangkat) ban yang telah dipenuhi tiram. Tiram ukuran besar (usia 6-7 bulan) langsung bisa dipanen untuk dijual, sementara tiram yang masih ukuran kecil dimasukkan ke dalam keranjang pembesaran untuk dipanen tahap berikutnya.
Kemudian, akhir Mei 2021 lalu, Kodam Iskandar Muda (IM) membantu satu kontainer keranjang pembesaran tiram. Ini setelah Tgk Jamaica mempresentasikan metode BTMS kepada Kasdam Kasdam IM Brigjen TNI Joko Purwo Putranto M.Sc. Ternyata dia tertarik untuk metode tersebut, sehingga dibantulah 1000 unit keranjang lengkap dengan pelampungnya.
Kata Tgk Jamaica, keranjang bantuan dari Kodam Iskandar Muda itu, akan ditempatkan di sejumlah lokasi di Aceh. Seperti di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya hingga Lhokseumawe.
“Ini akan kita jadikan sebagai pilot project pengembangan tiram di Aceh dan juga menjadi pusat edukasi budidaya tiram yang lebih modern”, kata Teungku Jamaica.
Tgk Jamaica berharap Gubernur, Bupati hingga Walikota di seluruh Aceh dapat menyambut gagasan ini dan datang melihat langsung pilot project pengembangan tiram ini. Supaya dapat dicontoh dan dibantu untuk masyarakat di wilayah pesisir laut untuk kemajuan petani tiram di seluruh Aceh.
"Saat ini sebanyak 100 unit keranjang pembesaran tiram telah ditempatkan di keramba apung bawah jembatan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh," jelasnya.
Gagasan BTMS ini, sebutnya, tidak hanya dapat membantu petani tiram di Aceh. Selain itu juga cukup bermanfaat untuk dosen, mahasiswa Kelautan dan Perikanan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Karena Aceh, terutama daerah yang tinggal di pesisir pantai cukup potensial melakukan budidaya tiram.
“Jadi, nanti dosen-dosen dan mahasiswa/i dari berbagai universitas dan program studi bisa mengajar dan belajar serta melakukan berbagai penelitian di sini”, sambung Teungku Jamaica.
Tgk Jamaica menjelaskan, hasil produksi tiram dengan metode sederhana yakni memanfaatkan material ban mobil bekas cukup signifikan. Tiram dapat dipanen pada usia 6-7 bulan. Dalam 1 unit ban dapat menempel tiram siap dipanen mencapai 10 Kg bahkan lebih. Jika dijual Rp. 10.000 per Kg, maka akan diperoleh hasil sebesar Rp. 100.000 per unit ban.
Namun bila masih mengandal pengambilan tiram secara tradisional, dengan cara menyelam dalam air asing. Tentunya pencari tiram tidak bisa memperoleh hasil sebanyak itu. Salah satu caranya, sebutnya, hanya dengan melakukan budidaya, selain menguntungkan secara kualitas juga secara kuantitas.
Tgk Jamaica mengaku dalam melakukan BTMS ini di waduk Desa Tibang-Alue Naga, Banda Aceh merupakan program percontohan dengan melibatkan kelompok petani tiram sebanyak 10 orang.
Katanya, seluruh keramba atau rumah tiram itu kemudian diserahkan menjadi milik kelompok tani tiram tersebut. Ia mengaku hanya memantau perkembangan mereka dan saat ini tampak ada perkembangan yang sifnifikan.
"Jadi, saya tidak mengubah profesi mereka sebagai pencari tiram, cuma saya mengubah metode atau cara kerja untuk mencari tiram yang memudahkan dan meringankan pekerjaan mereka," jelasnya.
Dampak positifnya, sebut Tgk Jamaica, saat ini sudah banyak warga petani tiram di Alue Naga, Tibang dan sekitarnya di Kota Banda Aceh yang telah mengikuti cara BTMS, yakni memanfaatkan material ban mobil bekas sebagai media kolektor tempat menempel bibit tiram.
Kendati tidak sama persis, sebutnya, setidaknya petani tiram mulai melakukan budidaya dengan cara sederhana. Petani tiram bisa memanfaatkan kayu atau bambu sebagai struktur rumah tiram dan tetap menggunakan material ban mobil bekas sebagai media kolektor tempat menempel bibit tiram.[]