Berkejar Target Vaksin untuk Sekolah Tatap Muka

Vaksinasi siswa di Aceh (Foto: Istimewa)
Penulis:

Medio September 2021 Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, Alhudri mengultimatum seluruh kepala sekolah tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP) dan Sekolah Menegah Atas (SMA) agar capaian vaksinasi siswa selesai pada 30 September 2021.

Ultimatum ini bertujuan agar proses belajar mengajar di Tanah Rencong dapat segera dilaksanakan. Pasalnya sudah lebih satu tahun sebagian sekolah di Serambi Makkah proses belajar mengajar secara daring. Baik tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi.

Sejak April 2021 Menterian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Mendikbudristek RI), Nadiem Makarim telah mewacanakan agar memulai pembelajaran tetap muka terbatas untuk mengejar ketertinggalan siswa selama pagebluk.

Pada awal 2021 pemerintah telah mengizinkan sekolah memberlakukan Pembelajaran Tetap Muka (PTM) seperti tertuang Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Hotli Simanjuntak | readers.ID

Kendati SKB Empat Menteri itu bukanlah PTM seperti sebelum pagebluk Covid-19. Tetapi ada tiga syarat yang harus dipenuhi pihak sekolah agar bisa memulai belajar secara langsung. Pertama kapasitas kelas hanya 50 persen dari jumlah siswa, maksimal siswa 18 orang per kelas. Kemudian syarat kedua jarak antara bangku selebar 1,5 meter dan ketiga, tidak boleh ada kerumunan seperti makan bersama, kantin, maupun kegiatan ekstra kurikuler.

Dalam perjalanan kemudian pemerintah memprioritas vaksinasi untuk guru dan siswa berusia 12-17 tahun untuk persiapan PTM secara normal. Data diakses readers.ID dari data terbuka covid19.acehprov.go.id per 7 Oktober 2021, sebanyak 25.277 berusia 12-17 tahun yang sudah divaksin dosis pertama. Sementara dosis tahap dua sebanyak 14.242 orang.

Namun vaksinasi remaja usia 12-17 tahun di Aceh baru mencapai 4,4 persen dari total sasaran 577.015 orang dosisi pertama dan dosis dua baru tercapai 2,5 persen. Kondisi ini masih jauh menuju herd immunity atau kekebalan kelompok sebagimana yang ditentukan WHO sebesar 70 persen.

Pihak sekolah bersama pemerintah mulai dari tingkat terendah yakni desa hingga level provinsi, mesti bekerja keras mengejar target minimal 70 persen usia remaja setingkat kelas VII-XII SMP/SMA sederajat sudah divaksin dosis pertama, agar pembelajaran tatap muka bisa memberikan kenyamanan bagi semuanya.

Dari sasaran 577.015 orang harus sudah divaksin minimal 403.910 dosis satu untuk mendapatkan kekebalan kelompok bagi siswa kelas VII-XII SMP/SMA sederajat di sekolah.
Tugas pemerintah dan stakeholder adalah berkejar target agar capaian menuju herd immunity bisa segera terpenuhi untuk mencegah klaster baru Covid-19.

Sedangkan target total vaksinasi untuk Aceh sebanyak 4.028.991 orang dan realisasinya untuk dosis I baru 26,90 persen dan dosis II hanya 13,65 persen. Dari realisasi capaian vaksinasi di Aceh masih relatif rendah. Berada pada posisi ke-33 dari 35 provinsi secara nasional.

Untuk meningkatkan capaian vaksinasi siswa di setiap sekolah hingga 95 persen di Aceh sebagaimana ditetapkan pemerintah. Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, dr Taqwallah Bersama Kepala Dinas Pendidikan (Dispend) Aceh, Alhudri keliling Aceh sejak medio September 2021.

Keliling Aceh ini untuk memantau dan menyosialisasikan proses vaksinasi siswa di setiap sekolah untuk menghadapi PTM di Serambi Makkah.

Untuk memotivasi pihak sekolah mengejar capaian vaksinasi. Sekda Aceh akan memberikan penghargaan (reward) berupa piagam kepada kepala sekolah dan wali kelas yang telah menyelesaikan vaksinasi Covid-19 bagi 95 persen siswa di sekolah masing-masing.

Bahkan Sekda bersama Kadispend Aceh turun langsung ke daerah-daerah untuk menyerahkan penghargaan kepada kepala sekolah dan wali kelas yang sukses melaksanakan vaksinasi di sekolah mencapai 95 persen.

Agar proses vaksinasi siswa berjalan lancar dan terpenuhi sesuai target dari Pemerintah Aceh. Sekda Aceh, dr. Taqwallah M.Kes, meminta para kepala sekolah dan wali kelas untuk mengidentifikasi setiap masalah di lingkungan sekolah, sebagai upaya untuk suksesnya capaian angka vaksinasi siswa di sekolah tersebut.

“Kerja sekarang sudah maksimal, tapi hasilnya yang belum maksimal. Mulai sekarang ubah strategi, jangan lagi panggil wali murid, tapi datangi mereka. Baru boleh bilang tidak ada izin jika sudah mendatangi orang tua ke rumah,” kata Sekda saat memberikan arahan kepada para guru se Aceh langsung dari SMA Negeri 1 Bandar Baru, Pidie Jaya, Senin (11/10/2021).

Strategi baru itu perlu dicoba untuk melihat hasilnya. Jika nanti hasilnya belum maksimal, ke depan strategi lain akan kembali disusun. “Jangan pernah berhenti dan jangan pernah bosan berusaha. Saya juga tidak akan pernah berhenti untuk menyukseskan kegiatan vaksinasi ini,” kata Taqwallah.

Pernyataan Sekda itu dalam kaitan menyikapi rendahnya capaian vaksinasi siswa pada beberapa sekolah di Aceh. Padahal Taqwallah sebelumnya sudah memberikan motivasi dengan berkeliling ke seluruh Aceh.

Di sisi lain kepada para Kepala Sekolah dan wali kelas yang telah menyukseskan vaksinasi hingga 85 persen, Sekda berterimakasih atas upaya dan kerja keras mereka. Sekda memberikan langsung sertifikat penghargaan kepada para kepsek dan wali kelas itu sebagai bentuk penghargaan langsung Pemerintah Aceh atas upaya maksimal yang telah dilakukan.

Siswa SD sedang belajar lewat onine. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Alhudri menyampaikan, vaksinasi siswa di sekolah adalah suatu bentuk ikhtiar dalam rangka menjaga agar siswa sekolah tidak sampai terpapar Covid-19.

Oleh karena itu, dia mengajak pihak sekolah mulai dari kepala sekolah hingga wali kelas untuk bersinergi dalam upaya menyukseskan vaksinasi siswa usia sekolah. Terutama untuk sekolah setingkat SMA/SMK dan SLB yang merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan Aceh.

Kendatipun demikian, Alhudri yang mengatakan bahwa vaksinasi siswa usia sekolah bukanlah pekerjaan mudah, apalagi dalam meyakinkan wali siswa terhadap pentingnya vaksinasi.

“Kami paham betul bapak/ibu ini bukan pekerjaan mudah, tapi kita harus berusaha bersama-sama karena ini untuk kebaikan anak-anak kita semua,” kata Alhudri di hadapan kepala sekolah dan wali kelas saat mendampingi Sekretaris Daerah (Setda) Pemerintah Provinsi Aceh, Taqwallah, dalam kunjungan di SMAN 1 Lhokseumawe, pada Selasa (21/9/2021).

Alhudri menuturkan, selama masa pandemi Covid-19 hampir semua sektor mengalami kemunduran. Dalam urusan pendidikan perubahan cara belajar dari tatap muka ke daring juga sangat berdampak terhadap serapan materi belajar oleh siswa.

Begitupun terhadap kegiatan – kegiatan ekstra kurikuler siswa seperti pada saat masa normal. Jika pun ada sekolah yang tatap muka namun kegiatannya tetap masih dibatasi.

"Maka kepada bapak/ibu jangan ada prinsip tertekan, cara silakan bapak ibu fikirkan bagaimana baiknya, kami hanya mengajak, ini urusan nyawa kita tidak bole main-main,” kata Alhudri.

Dalam kunjungannya ke Kota Subulussalam, Sabtu (18/9/2021) di hadapan para kepala sekolah itu, Alhudri memohon kepada para guru, kepala sekolah, dan wali kelas agar berupaya semaksimal mungkin untuk mempercepat vaksinasi siswa sekolah.

Tujuannya, agar proses belajar mengajar di sekolah bisa kembali dilakukan secara tatap muka. “Bapak dan ibu semua adalah kulit dan tulang saya di daerah, jadi tolong bantu saya, segerakan vaksinasi siswa agar proses belajar kita bisa kembali tatap muka,” kata Alhudri.

Kepada wali kelas, Alhudri meminta secara khusus agar dilakukan pendekatan terhadap anak didik dan jika perlu menemui orang tua siswa agar tidak sampai mendapat jawaban ada siswa yang tidak mau divaksin karena dilarang orang tuanya.

Menurut Alhudri, vaksinasi ini merupakan persoalan penting dan harus disegerakan, karena itu pula Presiden RI Joko Widodo datang ke Aceh secara khusus hanya untuk meninjau percepatan vaksinasi di Aceh.

Menindaklanjuti kunjungan presiden, Pemerintah Aceh melalui Sekretaris Daerah (Setda) Pemerintah Provinsi Aceh dan Dinas Pendidikan melakukan kunjungan ke seluruh kabupaten/kota di Aceh untuk mendorong percepatan vaksinasi Covid-19 di sekolah-sekolah.

Warga yang sedang menjalani vaksinasi di Banda Aceh. Hotli Simanjuntak | readers.id

Upaya Pemerintah Aceh mengejar ketertinggalan vaksinasi siswa di Aceh tidak berjalan mulus. Hingga sekarang masih ada orang tua masih enggan memberikan izin anaknya divaksin Covid-19.

Padahal upaya pemerintah ini untuk memutuskan mata rantai Covid-19, sehingga siswa dapat kembali normal belajar secara tatap muka.

Kondis ini bak buah simalaka. Satu sisi, siswa jenuh dengan proses pembelajaran online (daring) karena dianggap kurang efektif disebabkan minimnya komunikasi nonverbal, hambatan jaringan internet, keterbatasan fasilitas daring, serta berbagai keluhan lainnya.

Di sisi lain, pandemi yang belum tahu kapan berakhir diduga berpotensi menciptakan klaster baru dan meningkatkan penularan bila capaian vaksinasi siswa tidak tuntas.

Tak cukup sampai di situ, rumitnya rencana percepatan sekolah tatap muka dipengaruhi oleh sejumlah orang tua yang tidak mengizinkan anaknya untuk divaksin Covid-19 karena khawatir dampak Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Pihaknya mengaku khawatir akan efek samping atau dampak bagi anak-anaknya usai divaksin dengan alasan beberapa peristiwa yang sudah terjadi di Aceh sebagaimana marak diberitakan di media.

"Vaksin ada efek samping, kita khawatir namanya juga anak sendiri ya. Kalau anak saya kena efek sampingnya, pemerintah sendiri gak nanggung itu," ungkap SM, ibu dua anak asal Langsa saat dihubungi kepada readers.ID, Kamis (23/9/2021).

Hal yang sama diungkapkan AD (38), salah seorang ayah asal Simeulue ini mengaku khawatir bila anaknya divaksin Covid-19 dan tak sepakat bila ada pemaksaan. Menurutnya, butuh pendekatan yang lebih menyejukkan dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang dalam menangani program vaksinasi.

"Kita mengkaji buruknya dulu. Jangan dipaksalah, kita juga punya hak. Tapi ini malah sampai diancam-ancam, saya kurang sepakat dengan cara-cara seperti ini," ungkap ayah dari anak tunggal asal Simeulue itu.

Menyikapi hal itu, Ketua Komnas PP-KIPI, Prof Hinky Hindra Irawan Satari menjelaskan, sebanyak 2,49 miliar orang atau sepertiga dari populasi bumi sudah divaksin Covid-19. Hal ini harusnya tidak menjadi alasan masyarakat menolak vaksin.

Sedangkan di Indonesia, lanjut Ketua Komnas PP-KIPI itu, sudah 45,1 juta dosis atau 16,7 persen masyarakat divaksin.

"Kalau ada vaksin baru, ada program massal, maka yang jadi topiknya adalah KIPI. Itu senjata paling ampuh untuk menghindar dan melawan (program vaksinasi), dan itu sudah terbukti," kata Prof Hinky dikutip dari YouTube Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, dalam webinar bertajuk Penguatan Screening dan Tatalaksana KIPI Vaksinasi Covid-19 untuk Tenaga Kesehatan, Kamis (7/10/2021).

Ia menjelaskan, China saja yang merupakan tempat virus tersebut berasal, masyarakatnya sudah tidak lagi memakai masker. Prof Hinky bercerita, bahkan anak dan cucunya di Australia sudah bisa sekolah tatap muka seperti biasa, melakukan rekreasi serta berkunjung ke restoran.

"Pesan saya, ayo dah cepat-cepat kita," ungkap Prof Hinky.

Ketua Komnas KIPI

Pihaknya tak memungkiri adanya KIPI dalam tiap program vaksinasi. Ketua Komnas PP-KIPI menjelaskan, KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan dan kematian serta menimbulkan keresahan di masyarakat.

Sedangkan KIPI non serius adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan penerima imunisasi. Dilaporkan rutin setiap bulan bersamaan dengan hasil cakupan imunisasi.

"Dan yang kita pantau sejauh program vaksinasi Covid-19 ini, tidak ada yang mengalami KIPI serius. Misalnya ada yang lemas hingga sulit berjalan, masyarakat awam memvonis itu lumpuh, padahal setelah diberikan pertolongan sembuh. Dan itu waktu sembuhnya tidak jadi berita lagi, waktu lumpuhnya saja jadi berita," ungkapnya.

Prof Hinky mencontohkan, KIPI yang muncul misalnya di vaksin Astrazeneca, dalam kurun kurang dari 7 hari yakni sakit kepala (>50%), mual (>20%), nyeri otot (>40%), nyeri sendi (>20%), demam menggigil (>30%), lelah (50%), tidak enak badan (>40%), bengkak di tempat suntikan (>60%) dan nyeri (>50%).

KIPI itu, lanjutnya, merupakan keadaan alamiah pada semua vaksin, sebagian besar bersifat ringan dan dapat hilang tanpa pengobatan. Laporan yang akurat, lengkap serta cepat, dapat membantu menegakkan diagnosis.

Dengan demikian, tatalaksana segera, dapat mencegah terjadinya kejadian fatal. Respon yang cepat dan tepat dapat menentramkan dan memastikan program berjalan berkesinambungan.

"Tugas Komnas KIPI mengkaji klasifikasi sebab akibat yang dialami alami pasien KIPI. Tiap provinsi sudah ada Komdanya, di Aceh Ketuanya dr Thaib di RSUZA. Silakan bisa kontak, silaturahmi dan diskusi dengan beliau," jelas Prof Hinky.

Ia meminta masyarakat agar tetap tenang, karena vaksin ini tetap aman. Ketua Komnas PP-KIPI itu mengimbau semua pihak untuk mencegah kepanikan di masyarakat, karena bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ada Komnas KIPI yang bertugas mengaudit apakah ada keterkaitan antara KIPI dengan vaksin yang diberikan.[]

Editor: Afifuddin Acal