Diduga Tanpa Izin Amdal, GeRAK Kecam Aktivitas Tambang PT Prima Bara Mahadana

Ilustrasi lahan tambang. [Dok. Pixabay]
Penulis:

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat mengecam perusahaan tambang PT Prima Bara Mahadana di Gampong Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya. Diduga aktivitas perusahaan itu tanpa izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Koordinator GeRAK Aceh Barat, Edy Syahputra mengatakan, aktivitas pengerukan atau pemindahan tanah yang diduga dilakukan secara ilegal oleh perusahaan di lokasi tersebut sudah berlangsung lama dan tanpa mengantongi izin Amdal.

“Kami meminta agar pemerintah baik di tingkat provinsi dan pimpinan daerah melalui dinas terkait yaitu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Nagan Raya untuk melakukan penyegelan atau penutupan,” kata Edy melalui keterangannya, pada Senin (20/9/2021).

Pihaknya menilai, perusahaan tersebut jelas telah mengangkangi semua aturan tentang tambang. Secara aturan, lanjut Edy, untuk izin usaha stockpile mengacu kepada Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Data yang dihimpun GeRAK Aceh Barat, PT Prima Bara Mahadana memiliki tahapan kegiatan operasi produksi dengan Nomor SK IUP 190 tahun 2012 dengan kode WIUP nomor 3111053032014004 dengan luas 2.024 hektare dan mulai berlaku sejak 15 Februari 2012 hingga berakhir pada 15 Febuari 2032.

Perusahaan tersebut beroperasi melakukan aktivitas tambang batu bara di wilayah Kabupaten Aceh Barat diketahui menggunakan izin yang dikeluarkan oleh Bupati Aceh Barat.

Diketahui, perusahaan mengirim surat pemberitahuan penggunaan jalan desa untuk keperluan logistik dan angkutan batubara tertanggal 3 September 2021 dengan nomor surat 057/IX/PBM/2021 yang ditandatangani oleh direktur PT Prima Bara Mahadana, kepada kepada Keuchik Gampong Suak Bili, Kecamatan Suka Makmue.

Koordinator GeRAK Aceh Barat itu menilai, penemuan surat tersebut dipandang rancu jika melihat izin Amdal yang belum keluar.

“Tentunya kami juga mendesak agar pihak DLHK dan penegak hukum untuk menelusuri siapa pemilik tanah tersebut dan mengetahui siapa saja yang terlibat. Ini harus dibuka ke publik,” ujar Edy.

Pihaknya menilai perusahaan tidak menaati kaidah Pertambangan yang baik di mana pemenuhan keselamatan pertambangan dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Kami juga mendesak Pemerintah Aceh tidak tinggal diam mengatasi persoalan di lapangan. Hal ini sebagaimana Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12/INSTR/2020 Tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh,” pungkasnya.[mu]