Duit Melimpah, Tapi Kenapa Aceh dapat Predikat Termiskin di Sumatra?
Oleh: Syiva Anisah*
Aceh, sebuah provinsi yang berada di Pulau Sumatra dengan kekayaan alam dan budayanya, mirisnya dikenal juga sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Meskipun memiliki banyak potensi sumber daya alam yang melimpah serta perkebunan dan perikanan yang cukup baik, namun Aceh masih harus menghadapi tantangan besar dalam mencapai kemakmuran serta kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Artikel ini akan membahas dan menggali akar masalah yang mendasari terjadinya kemiskinan di Aceh dan memberikan solusi terhadap permasalahan ini.
Kemiskinan adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Daerah yang mengalami kemiskinan tentu daerah yang kesejahteraan masyarakatnya tidak terjamin serta mengalami gangguan dalam perkembangan ekonomi.
Pada 2002, jumlah penduduk miskin di Aceh berjumlah 1,19 juta jiwa atau 29,83%, tertinggi dibandingkan daerah lain seperti Sumatera Selatan yang saat itu jumlah penduduknya secara persentase 22,32%. Bengkulu 22,7%, dan yang paling sedikit angka kemiskinannya adalah Bangka Belitung dengan persentase 11,62% namun hingga sekarang predikat provinsi termiskin itu masih bergelantung pada provinsi Aceh. Kenaikan jumlah penduduk miskin pada September 2022 disebabkan oleh garis kemiskinan yang mengalami peningkatan. Garis kemiskinan di Aceh pada September 2022 ini mengalami kenaikan sebesar 6,57 persen jika dibandingkan dengan Maret 2022, yaitu dari Rp579.227 per kapita per bulan menjadi Rp617.293 per kapita per bulan.
Ada banyak faktor yang mendasari mengapa Aceh bisa ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Sumatra, seperti krisis pasca konflik, masih ketergantungan terhadap sumber daya alam, serta kurangnya kualitas terhadap pendidikan dan infrastruktur. Status Aceh yang masih menjadi provinsi termiskin di Sumatra menjadi cerminan ketidakmampuan Pemerintah Daerah Aceh untuk menekan angka kemiskinan. Terutama dalam memanfaatkan anggaran yang sebenarnya cukup besar. Seperti yang kita ketahui bahwa Aceh salah satu provinsi yang mendapatan Dana Otsus (Dana otonimi khusus) dari Negara sebagai bantuan pasca terjadinya konflik dan bencana tsunami, tercatat Aceh menerima Dana otsus tersebut sampai tahun 2028. Dana Otsus ini di berikan oleh Negara untuk membantu daerah-daerah di Indonesia yang mengalami krisis pasca konflik untuk membantu keberlangsungan daerah tersebut.
Setidaknya ada beberapa faktor mengapa Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatra:
Pertama, Krisis pasca konflik Pasca konflik yang terjadi pada Aceh membuat Aceh mengalami banyak kekurangan baik dalam infrastruktur maupun pada sumber daya manusia. Aceh dilanda konflik dimulai dari tahun 1976-2003, lamanya konflik ini membuat banyak dampak bagi masyarakat Aceh belum lagi pada tahun 2004 Aceh mengalami bencana yang cukup dahsyat yaitu terjadinya bencana Tsunami yang mengakibatkan puluhan ribu korban jiwa serta kerusakan pada infrastruktur yang cukup berat.
Sehingga membuat Aceh mengalami gangguan ekonomi yang cukup lama, namun tidak hanya pada sekotor ekonomi, kerusakan secara psikis juga turut dirasakan oleh masyarakat Aceh, seperti trauma pasca konflik dan tsunami.
Banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pasca konflik hingga membuat Aceh mengalami krisis sumber daya manusia, kerusakan berat terhadap infrastruktur yang berujung pada kerusakan sistem ekonomi di Aceh serta tidak adanya keefektivitasan pemanfaatan dana Otsus yang diberikan oleh pemerintah. Untuk itu pemerintah Aceh harus turut memperhatikan masyarakat Aceh secara Psikis dengan melakukan tindak lanjut secara holistik.
Kedua, Ketergantungan terhadap Sumber Daya Alam. Seperti yang diketahui bahwa Aceh memiliki Sumber Daya Alam yang cukup berlimpah, di mana Aceh di dominasi dengan pertanian padi, hutan, tambang, ikan, biota lainnya serta pariwisata yang cukup berpotensi. Namun hal ini membuat masyarakat Aceh ketergantungan terhadap sumber daya alam saja, pemerintah Aceh belum mampu mengembangkan SDA dengan efektif dan efisien padahal potensi alam yang dimiliki oleh Aceh cukup besar, sehingga mampu membantu perekonomian masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan pengelolaan yang tepat serta investasi yang di perlukan, agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketiga, Rendahnya Kualitas Pendidikan dan Keahlian. Rendahnya kualitas pendidikan membuat Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatra, tidak adanya keahlian dan ketrampilan yang mumpuni penyebab tingginya angka pengangguran di Aceh. Tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) siswa Aceh terendah secara nasional di bawah Papua, bahkan hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2021, Aceh tetap di peringkat 28 terbawah kelulusan siswa dengan nilai rata-rata 446.7 poin di bidang pemahaman bacaan dan menulis siswa.
Dampak dari rendahnya kualitas pendidikan juga mempengaruhi kualitas pekerja ahli masyarakat Aceh, tercatat sangat sedikit pemuda Aceh memiliki skill yang mumpuni di era 5.0 ini, kebanyakan mereka lebih memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil sehingga tidak adanya keberagaman dalam penguasaan skill dalam persaingan dunia pekerjaan. Pemerintah harus lebih cepat tanggap akan permasalahan pendidikan di Aceh, secara keseluruhan pendidikan adalah pondasi yang sangat kuat dalam membangun masyarakat yang beradab, inklusif, dan inovatif Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan dan potensi setiap individu, dan memastikan relevansi.
Mengatasi kesenjangan akses, mengintegrasikan teknologi dengan maksimal, dan mengembangkan keterampilan sosial dan emosional. Dengan sistem ini Aceh dapat menciptakan sistem pendidikan yang memberdayakan individu untuk mencapai kesuksesan.
Keempat, Minimnya Infrastruktur dan Aksesibilitas. Keterbatasan infrastruktur di Aceh juga menjadi faktor utama mengapa Aceh masih saja menduduki predikat sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Hal ini menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi, dan keterbatasannya aksesibilitas menjadi terhambat pada sektor pariwisata dan perdagangan di Aceh. Dapat dilihat ada sekitar 536 desa di Aceh yang tak punya akses untuk internet, atau sekitar 12% dari jumlah desa di Aceh.
Itu artinya masih banyak masyarakat yang belum tersentuh internet, jaringan yang tidak memadai serta Infrastruktur yang tidak tersedia. Contoh di Kabupaten/kota Simeulue, daerah ini masih sulit dalam mengakses internet hanya beberapa daerah saja yang dapat mengakses internet, dikarenakan tidak adanya pembangunan Tower yang menghubungkan internet, ada sekitar 70% kerusakan infrastruktur yang perlu ditangani dengan serius, contohnya seperti Pantai Barat, Meulaboh. Salah satu wilayah yang kerusakannya paling parah.
Dalam hal ini solusi yang harus di lakukan adalah pemulihan yang holistik dan berkelanjutan, dengan fokus pada pembangunan dan pemerataan Infrastruktur dan asksesibilitas di setiap daerah, dengan menyusun kembali program – program dan merealisasikan janji-janji politik para pemimpin Aceh.
Keunggulan dengan dana Otsus harusnya bisa membantu Aceh dalam sektor ekonomi. Dari banyaknya program, tidak satupun program strategis yang dijalankan sebagai upaya menurunkan angka kemiskinan. Bahkan program Rumah Dhuafa, yang menjadi janji politik dan tertuang dalam RPM Aceh 2017-2022, tak dilaksanakan, serta banyaknya kesalahan sistem dalam pegelolaan Sumber Daya Alam (SDA) .
Jika melihat dari sudut pandang ini harusnya pemerintah Aceh mendapat banyak peluang untuk bisa memperbaiki ketertinggalan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Penting untuk diingat bahwa setiap pendekatan untuk mengatasi kemiskinan harus holistik dan berkelanjutan. Hal ini melibatkan upaya untuk memperkuat infrastruktur, meningkatkan pendidikan dan keterampilan, mendukung inovasi dan wirausaha, serta memperluas akses terhadap layanan dasar dan peluang ekonomi.
Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar bagi para pemerintahan Aceh baik pemerintahan pusat atau pemerintahan kabupaten/kota untuk segera menyelesaikan angka kemiskinan yang terus menggerogoti Provinsi Aceh.
Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum perlu bekerja sama untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mendasari kemiskinan, merancang dan melaksanakan program-program yang sesuai, serta mengadvokasi kebijakan yang mendukung upaya pengentasan kemiskinan di Aceh. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa kemiskinan di Aceh dapat dikurangi secara bertahap, dan kesempatan hidup yang lebih baik dapat diberikan kepada masyarakat di wilayah tersebut.
Maka dari itu, saat ini sudah seharusnya semua pihak untuk turut ikut andil dalam mengatasi masalah ini untuk mengejar dari ketertingalan serta mengurangi angka kemiskinan, perubahan yang dilakukan haruslah segera demi terjadinya perbuahan Aceh di masa yang akan datang, Menanamkan rasa semangat serta kesadaran pemerintah terhadap apa yang sedang menjadi masalah besar bagi masyarakat Aceh.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Ar-Ranirry Banda Aceh.
Editor: Herman Muhammad