Gaduh IPAL di Tanah Raja
Pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) di Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh terus menuai polemik. Sempat berhenti pada 2017 silam, Pemerintah Kota Banda Aceh bakal melanjutkan proyek tersebut tahun ini. Atas sikapnya, patut dipertanyakan, masih layakkah Banda Aceh menyandang slogan 'Kota Pusaka'?
“Proyek ini adalah kecelakaan sejarah."
Pernyataan Irwandi Yusuf itu tegas ingin menyudahi polemik proyek Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) di Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Desakannya tertuju ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, selaku pemilik proyek yang biayanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini.
Sembari menjamu rombongan pemantau dana otonomi khusus, Oktober 2017 silam itu, Irwandi yang baru saja menjabat Gubernur Aceh meminta PUPR menghentikan proyek penampungan limbah itu. Pasalnya, lokasi proyek ini meliputi dua desa di Kecamatan Kutaraja, yakni Gampong Pande dan Gampong Jawa.
Kawasan ini, sejak beberapa tahun sebelumnya, terungkap menyimpan sejumlah besar situs sejarah Aceh masa lampau. Keberadaannya kelak melatari perlawanan warga setempat terhadap proyek pemerintah yang bakal dikerjakan di situ.
Desakan elemen masyarakat yang didukung sejumlah temuan para peneliti tentang sejarah Gampong Pande bikin pemerintah gentar. Sehingga proyek senilai Rp107,3 miliar itu terhenti beberapa saat.
Mulai Maret 2018, Tim Georadar melakukan penelitian di lokasi Gampong Pande. Hasilnya dipaparkan tiga bulan kemudian.
"Dari hasil penelitian ini, kita menemukan benda-benda logam dan berbentuk bangunan di bawah tanah di Gampong Pande," ujar Prof. Teuku Abdullah Sanny, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) pemegang hak paten Georadar, saat presentasi di Meuligoe Wali Nanggroe, Juni 2018.
Georadar merupakan satu teknologi baru yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Gelombang itu, kata Abdullah, dipancarkan ke dalam bumi untuk mendeteksi benda padat apa saja yang terdapat di dalam tanah, seperti bangunan, logam, besi, pipa hingga kabel.
Penampakan melalui gelombang itu lantas diterima oleh reserver, lalu diproses untuk mengeluarkan citra seperti rontgen. Di Gampong Pande sendiri, Abdullah menemukan tiga lapisan geologi (stratum) dengan kedalaman: 3-5 meter stratum pertama, kedalaman 12-15 meter stratum kedua dan kedalaman 28-30 meter untuk stratum ketiga.
“Ada tiga kelompok manusia pernah hidup masa itu, namun setelah gempa terjadi pada stratum ketiga, lalu tertimbun semua,” simpulnya mengenai gerak populasi selama berabad-abad silam itu.
Dari bukti-bukti yang dipindai georadar, terdapat struktur bangunan atau benda keras lainnya yang tidak berakar di sejumlah titik lokasi penelitian. Benda-benda tersebut dipastikan bukan terbentuk oleh alam, tetapi dibuat oleh manusia sendiri.
Termasuk di dalamnya logam yang diduga bagian dari struktur bangunan masa lampau yang telah tertimbun tanah ratusan abad.
Daerah Gampong Pande, kata Prof. Abdullah, telah terjadi tiga kali penguburan berupa subsidens akibat gempa tektonik masa itu. Ini dibuktikan dengan adanya lokasi-lokasi yang mencerminkan adanya logam berat di dua daerah stratum di bawah tanah di gampong ini. Dua stratum itu dengan kedalaman 12 sampai 15 meter dan kedalaman 28 sampai 30 meter.
"Setelah gempa awal itu dijadikan tempat hidup lagi, kemudian gempa lagi. Dijadikan tempat hidup lagi," jelas guru besar ITB itu.
Kesimpulan Abdullah Sanny, secara ilmiah semakin membuktikan bahwa Gampong Pande merupakan situs dan cagar budaya yang wajib dilestarikan. Apalagi berdasarkan pendapat ahli sejarah, kawasan itu merupakan bekas Kerajaan Aceh Darussalam.
Menutup paparannya, Abdullah mengimbau agar di sepanjang pantai Ulee Lheue dan kawasan Gampong Pande yang merupakan kawasan cagar budaya itu, tidak dilakukan pembangunan apa pun.
Gampong Pande memang masih menyimpan kekayaan sejarah yang sampai sekarang masih perlu diteliti lebih dalam. Di wilayah ini banyak ditemukan makam-makam tua milik para ulama maupun keturunan-keturunan raja, seperti Makam Tuanku Dikandang dan Putro Ijo.
Hanya kedua makam itu yang masih dirawat dan dipagar oleh pemerintah karena dianggap sebagai situs bersejarah yang harus dipertahankan. Selain kedua makam tersebut, makam-makam lain masih terbengkalai dengan nisan-nisan yang tenggelam di dalam lumpur rawa-rawa.
Menurut A Hasjmy dalam buku Kota Banda Hampir 1000 Tahun, Kota Banda Aceh pertama kali berdiri pada 601 Hijriah atau 1205 Masehi --seperti yang ditulis pada tugu titik nol Banda Aceh. Itu persis tanggal didirikannya Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Johansyah. Lokasi kerajaan Aceh inilah yang dikenal sebagai Gampong Pande.
Penyebutan nama Pande sendiri diperkirakan lantaran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, warga yang bermukim di Gampong Pande merupakan para pandai (pengrajin), berprofesi sebagai penempa besi (pandai besi), penempa batu (pandai artefak dan batu nisan) serta penempa emas (pandai logam, dan perhiasan).
Beberapa temuan sejarah Gampong Pande juga telah diungkap secara kontinu oleh peneliti Central For Information of Sumatra-Pasai Heritage (CISAH), Taqiyuddin Muhammad. Hasil penelusuran itu terbit di laman resmi Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) dan dapat diakses secara luas.
Ditemui readers.ID, Sabtu malam (20/3/2021) Taqiyuddin bercerita pengalamannya beberapa tahun lalu di Gampong Pande. Mulanya ia hanya berniat menziarahi tokoh-tokoh sejarah yang dimakamkan di kompleks makam Tuan Dikandang Gampong Pande, Kutaraja, Banda Aceh. Tapi kemudian ia tertarik untuk membaca inskripsi pada nisan-nisan makam yang belum pernah dibacanya.
"Dulu setelah (tsunami-red), beberapa kali saya datang ke sini, nisan-nisan makam itu dalam posisi rebah, terguling gelombang tsunami, sehingga sukar untuk dilakukan pembacaan," ujar Taqiyuddin mengisahkan perjalanannya ke Gampong Pande saat itu.
Taqiyuddin menemukan tiga tokoh sejarah dari zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Masing-masing adalah Sultan 'Adilullah bin Sultan Munawar Syah yang meninggal pada hari Ahad waktu 'Ashar, 30 Jumadil Ula 947 H (1540 M), kemudian Sultan 'Ali Ri'ayat Syah bin Munawar Syah bin Muhammad Syah yang meninggal pada hari rabu 14 Sya'ban 947 H (1540 M), yakni dua bulan setengah setelah kemangkatan saudaranya, Sultan 'Adilullah, dan Muzhaffar Syah bin Sultan 'Ali Ri'ayat Syah (cucu Munawar Syah) yang meninggal sebelum ayahnya, pada 3 Rabi'ul Akhir tahun yang sama.
Sementara ini, ujarnya, yang sering disebutkan dalam silsilah sultan-sultan Aceh, bahwa sepeninggal Sultan 'Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah bin Munawar Syah pada 936 H (1530 M), Aceh diperintah oleh Sultan Shalahuddin bin 'Ali Mughayat Syah. Kedua sultan di Gampong Pande ini tidak pernah dicantumkan. Muzhaffar Syah bin 'Ali Ri'ayat Syah, yang tampaknya tidak memerintah sebagai sultan juga tokoh sejarah yang samar selama ini.
Menurut Taqiyuddin, dari data-data terakhir ini ia berhasil mengetahui sebuah fakta baru, di mana setelah Sultan 'Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah wafat, kendali pemerintahan Aceh diambil oleh paman-pamannya dari pihak ayah, yaitu Sultan 'Adilullah bin Munawar Syah dan 'Ali Ri'ayat syah bin Munawar Syah. Bunyi inskripsi pada nisan keduanya juga mensinyalir pemerintahan mereka yang berlangsung baik. Baru setelah itu, Sultan 'Alauddin bin 'Ali Mughayat Syah menjadi sultan di Aceh.
Berbagai titik terang mengenai sejarah Aceh memang mulai tampak sedikit demi sedikit, tapi diyakini bahwa yang masih terkubur oleh zaman, juga masih teramat banyak.
"Kita akan terus mencari, dan semoga Allah senantiasa memudahkan jalan," ujar Taqiyuddin.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, wilayah Kampung Pande masih luas dengan daratan, sebelum Tsunami Aceh tahun 2004. Namun bencana gelombang dahsyat itu kemudian menggerus daratan tersebut hingga sebagiannya berubah menjadi rawa-rawa yang tergenang ketika puncak pasang laut.
Akibatnya, nisan-nisan kuno yang ada di situ kini tertimbun dalam lumpur di antara pepohonan bakau yang mulai tumbuh. Sementara, seiring waktu demografi penduduk di Gampong Pande terus berubah. Kini, hampir 75 persen penduduk Gampong Pande adalah warga pendatang pasca Tsunami.
Di Gampong Pande, mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani tambak, itu dikarenakan lanskap kawasan tersebut yang didominasi tambak dan rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman nipah dan bakau. Sebagian masyarakat memanfaatkan rawa dan tambak sebagai mata pencahariannya.
Sempat diabaikan dan tanpa perawatan, namun kejadian langka pada November 2013 silam sontak membuat Gampong Pande terkenal dan dijejali pengunjung.
Masyarakat setempat menemukan koin-koin emas yang diyakini sebagai peninggalan sejarah kerajaan Aceh Darussalam. Selain melihat-lihat, banyak juga warga yang turun ke rawa-rawa untuk mencari koin atau benda-benda lain yang dianggap berharga.
Hampir semua kalangan, dewasa maupun anak-anak tumpah ruah ke dalam rawa mengais-ngais pasir dengan alat seadanya. Meskipun sudah ditutup oleh pihak berwajib, tapi mereka tetap datang dan berusaha masuk ke rawa untuk mencari emas. Pemandangan tersebut berlangsung hampir setiap hari saat itu.
Melihat itu, pemerintah nyaris gelagapan. Lalu segera dikerahkan tim dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah itu dari aksi penjarahan.
Cukup panjang proses penetapan Gampong Pande menjadi sebuah wilayah cagar budaya. Para ahli sejarah mulai menjajaki upaya penelitian kawasan itu sedikit demi sedikit.
Ironisnya, kendati kaya dengan catatan sejarah masa lampau, tak menjamin Gampong Pande kukuh digerus pembangunan. Proyek IPAL salah satunya. Sempat terhenti beberapa tahun, proyek itu bakal berlanjut tahun ini.
Pada 16 Februari 2021, Wali Kota Banda Aceh melayangkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, menegaskan bahwa pembangunan IPAL yang sempat terbengkalai di Kota Banda Aceh itu akan dilanjutkan kembali.
Kali ini, Pemko berdalih hasil penelitian dari Yayasan Warisan Aceh Nusantara (Wansa) yang dipimpin Husaini Ibrahim. Penelitian itu dijadikan dasar memutuskan kelanjutan proyek tersebut.
Kabarnya, Wansa telah melakukan pemetaan zonasi terhadap situs-situs bersejarah yang terdapat di kawasan itu. Begitu pun, pembangunan IPAL kabarnya berlanjut setelah ada kesepakatan antara pemerintah, warga setempat, Tim Arkeologi, TACB (Tim Ahli Cagar Budaya), BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Aceh, Keuchik Gampong Pande, pewaris kerajaan dan para tokoh masyarakat.
"Sayang that gampong kamoe (kasihan sekali kampung kami)," sela Safaruddin, salah seorang tokoh Gampong Pande yang tengah duduk bersama aparatur desa pada Jumat malam (19/3/2021) kepada readers.ID.
Safaruddin ialah satu dari sekian banyak warga Kutaraja yang hingga kini masih berjibaku menolak pembangunan IPAL. Menurutnya, pembangunan IPAL di atas makam para raja itu cacat logika. Membangun tentu sah-sah saja asal bukan di atas situs peninggalan sejarah.
“Ya jika memang kita tak paham sejarah, maka belajarlah pada ahlinya,” tambah Tuha Peut Gampong Pande itu.
Saat ditemui readers.ID, Safaruddin didampingi sekretaris desa serta ketua Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (FORMASIGAPA) Tgk Abdul Nawawi beserta beberapa tokoh masyarakat di kantor keuchiek setempat.
Safaruddin bercerita, pasca Tsunami 2004, ada pembebasan lahan di Gampong Pande untuk dijadikan Tempat Pembuangan Akhir. Saat itu aparatur desa dan masyarakat Gampong Pande tidak setuju. Terakhir, pihak pemerintah kota Banda Aceh saat itu meminta dukungan dan persetujuan melalui otoritas di Gampong Jawa.
"Dari dulu kami tidak pernah setuju dibangun TPA dan IPAL di lokasi makam raja-raja itu," katanya.
Tentang proyek yang disebut terakhir, Safaruddin menjelaskan lebih panjang. Pada 2014, sebelum mencuatnya isu pembangunan IPAL di Gampong Pande, lokasi yang akan digunakan terlebih dulu ditimbun dengan tanah.
Sebelum proyek itu dikerjakan, para tokoh Gampong Pande sudah mengingatkan Wali Kota Banda Aceh masa itu, Mawardi Nurdin, bahwa di lokasi tersebut banyak makam-makam ulama dan raja-raja.
"Semua makam waktu itu ditimbun, di lokasi pembangunan IPAL sekarang," ujar Safaruddin.
Proyek itu nyata setahun kemudian, meski seingat Safar tak ada pembebasan lahan untuk IPAL. Dalam rentang hingga tahun 2018, Gampong Pande bergolak. Warga meminta pembangunan dihentikan. Desakan itu memang membuahkan hasil, namun tak lama.
Tahun 2021, Pemerintah Kota Banda Aceh menyurati Menteri PUPR RI untuk melanjutkan kembali pembangunan IPAL di Gampong Pande. Suara penolakan masyarakat pun kembali nyaring. Safar sangat menyesalkan tanggapan dari pemerintah yang menyebut makam tersebut bukan milik ulama, namun masyarakat biasa.
Secara logika, kata Safaruddin, hal itu sulit diterima. Dengan nisan yang megah, terpahat dengan ukiran-ukiran yang kaya, serta dibuat dengan berbagai jenis, tentu harus benar-benar ditelusuri siapa sebenarnya yang ada di makam tersebut.
"Hana jitamong lam akai tanyoe, walaupun jie peugah nyan kuburan urueung biasa, tapi ek mungken taboh ek sinan? (tidak masuk akal, walaupun itu makam orang bisa, apakah mungkin kita buang tinja ke situ)," kata Safaruddin.
Penolakan terhadap proyek IPAL juga digaungkan MAPESA. Bahkan mereka menilai kebijakan tersebut merupakan tindakan amoral.
“Terlalu memaksakan kehendak,” kata Yusri Ramli selaku juru bicara MAPESA kepada readers.ID, Kamis (4/3/2021).
Yusri Ramli sebagai ketua tim advokasi IPAL menyebut, sejak Aminullah Usman menjabat sebagai Wali Kota Banda Aceh tahun 2017, kasus pelanggaran terhadap situs cagar budaya mencuat, dengan temuan pembangunan IPAL tersebut. Di tahun itu juga tim Arkeologi Medan, Geofisika, BPCB Aceh, Mapesa, meneliti kasus cagar budaya IPAL.
Dari proses itu lahir dua laporan rekomendasi, yakni pro dan kontra terhadap pembangunan proyek yang bersumber dari pendanaan APBN itu.
Mapesa menyatakan tegas menolak pembangunan IPAL, sebab area proyek tersebut merupakan kawasan peninggalan sejarah dengan sebaran makam-makam yang memenuhi unsur cagar budaya.
“Mapesa menolak sebagai bentuk pelestarian situs cagar budaya Aceh. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT), dan IPAL selaku mega proyek percontohan seluruh Indonesia. Proyek ini dapat merendahkan sisi religi dan sisi historis masyarakat Aceh,” ungkap Yusri.
Ia juga menambahkan alasan lain, bahwa di sisi kiri dan kanan Krueng Aceh hingga saat ini diduga kuat merupakan kawasan padat situs cagar budaya yang belum selesai diteliti. Kawasan ini disebut sebagai landmark-nya Kerajaan Aceh Darussalam, dan kini jadi marka Provinsi Aceh, khususnya Kota Banda Aceh, yang dalam hal ini diyakini sebagai titik nol Kutaraja.
“TPA, IPLT, IPAL atau proyek yang mencelakai situ cagar budaya lainnya adalah tindakan amoral. Secara khusus bisa disimpulkan bahwa, IPAL tidak mengantongi izin Amdal (Analisis dampak lingkungan) cagar budaya,” tegas Yusri.
Rencana pemerintah ini paradoks dengan slogan Banda Aceh sebagai ‘Kota Pusaka’.
Artinya, dengan status itu pemerintah sudah diwanti-wanti dalam membangun untuk tidak mencacati situs cagar budaya.
Yusri Ramli selaku juru bicara MAPESA, saat diwawancarai readers.ID pada 4 Maret 2021.
Yusri juga menyindir, kelanjutan proyek IPAL tampak seperti hasrat ingin menuntaskan kekeliruan yang selama ini telanjur dilakukan. Baginya pemerintah jelas terlihat memaksakan kehendak.
“Mereka terkesan mengakui ketelanjuran membangun IPAL di atas situs cagar budaya, dan hendak menuntaskan kekeliruan hingga 100 persen, karena pengerjaan IPAL telah berjalan 70 persen. Jelas, cagar budaya itu dilindungi undang-undang dan perlu perlakuan khusus. Maka, pemikiran Pemko Banda Aceh dan pihak yang mendukung pembangunan IPAL merupakan logika yang cacat,” tutupnya.[]
Editor: Fuadi Mardhatillah