IDI Aceh Minta Usut Peristiwa Pembubaran Pelayanan Vaksinasi di Abdya
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh meminta peristiwa pembubaran dan penyerangan terhadap petugas pelayanan vaksinasi di Aceh Barat Daya (Abdya) diusut tuntas. Sehingga pola ini tidak lagi terjadi masa mendatang.
"(Kami) meminta peristiwa inibdiusut tuntas agar kedepannya tidak menjadi pola pada kelompok masyarakat yang menolak vaksin," kata Ketua IDI Aceh, DR, Dr.Safrizal Rahman, M.Kes, Sp.OT, Kamis (30/9/2021) melalui siaran tertulis.
IDI Aceh menyesalkan peristiwa pembubaran petugas vaksinasi oleh ratusan warga di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujong Serangga, Kecamatan Susoh, Abdya Selasa (28/9/2021).
Petugas vaksinasi, sebutnya, menjalankan tugas dalam upaya melindungi warga dari Covid-19 di bawah payung hukum Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021. Apa lagi saat ini Provinsi Aceh menjadi sorotan nasional, karena cakupan vaksin Covid-19 rendah.
Menurut Ketua IDI Aceh, apa yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, hingga keluar dari tempat kerja untuk menjemput bola agar cakupan vaksinasi memenuhi standar. Ini merupakan panggilan kemanusiaan bagi tenaha kesehatan untuk menyelamatkan warga dari paparan virus corona.
Safrizal memastikan, petugas vaksinator tidak semberangan melakukan vaksinasi. Sebelum disuntik vaksin sudah terlebih dahulu menjalankan sesuai dengan SOP. Yaitu melakukan screening pada calon penerima vaksin, kemudian dicatat dalam buku cheklist yang telah disiapkan.
Oleh karena itu, IDI Aceh mengutuk sikap arogansi peristiwa yang menimpa dokter dan tenaga kesehatan di Abdya. "IDI Aceh mengutuk sikap arogansi dan memohon agar semua pihak menahan diri, termasuk tidak berkomentar hal yang menyudutkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya terkait program ini," ungkapnya.
Safrizal juga meminta kepada pemerintah agar memberikan kenyaman dan memastikan keselamatan dan keamanan bagi tenaga kesehatan saat menjalankan tugasnya. "Karenanya keamanan dan keselamatan mereka harus menjadi prioritas," jelasnya.
Sementara itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Safaruddin menyebutkan, peristiwa pembubaran vaksinator di Abdya. Dia menduga ini terjadi karena strategi pendekatan yang dilakukan salah dan belum massifnya sosialisasi vaksinasi yang dilakukan pemerintah setempat.
Harusnya, petugas kesehatan bisa terlebih dahulu melakukan pendekatan melalui kepala desa atau petugas PPI Ujong Serangga sebelum menurunkan tim vaksinator ke lokasi yang ditargetkan.
“Pendekatan yang dilakukan petugas kesehatan tidak dengan cara persuasif dan tidak didasari semangat kearifan lokal yang dimiliki di daerah setempat. Ini strategi pemerintah salah dan keliru,” kata Safaruddin.
Harusnya petugas menyampaikan terlebih dahulu baik buruknya vaksinasi. Sehingga dengan sendirinya masyarakat akan mengikuti program vaksinasi tanpa merasa ada paksaan. “Ngapain dipaksa-paksa,” ungkapnya.
Disisi lain, politikus asal Aceh Barat Daya (Abdya) ini juga menyorot cara petugas vaksinasi mendatangi warga. Seharusnya program vaksinasi bisa dilakukan di Puskesmas atau Meunasah di gampong atau tempat yang lebih steril.
Bukan dengan mendatangi langsung PPI Ujung Serangga, sehingga masyarakat yang ingin beli ikan merasa terancam dan berdampak pada terganggunya perputaran ekonomi masyarakat nelayan.
“Gara-gara dibuat poskonya disana (PPI Ujong Serangga). Kemudian model sistem paksa, orang tidak mau datang ke sana. Sikap dan kebijakan yang sedikit tidak populis ini harus ditinggalkan,” ungkap Safaruddin.
Safaruddin sendiri menegaskan sangat mendukung program vaksinasi dalam rangka memutuskan mata rantai penularan Covid-19. Menurutnya vaksinasi itu sebuah keniscayaan untuk perlindungan diri sendiri dan orang lain.
Akan tetapi harus dilakukan dengan cara persuasif dan humanis. Jangan sampai karena mengejar target, lalu kegiatan vaksinasi mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat. Apalagi selama pandemi ini masyarakat sudah sangat terjepit ekonomi.
“Saya sebagai putra daerah merasa kecewa dan minta kejadian ini tidak terulang lagi. Saya mendukung vaksin, tapi strategi pendekatannya harus dilakukan secara persuasif dan humanis. Jangan ada unsur paksaan,” tutup Safaruddin.[]