Kenapa Masih Fotokopi Dokumen, Padahal KTP Sudah Elektronik?
Semua Warga Neraga Indonesia (WNI) tanpa terkecuali sudah menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang sudah tersambung secara daring.
Pembuatan KTP dan KK elektronik merupakan cita-cita birokrat Indonesia untuk mewujudkan revoluasi industri 4.0 dengan memanfaatkan big data.
Tapi cita-cita kudu bersandar pada kenyataan yang dihadapi orang Indonesia hari ini. KTP yang udah elektronik itu lebih sering difotokopi daripada digesek chip-nya. Termasuk KK juga masih kerap ditemukan harus difotokopi, padahal aslinya juga hitam putih.
Selain soal e-KTP yang masih harus dicetak dalam selembar kertas, tentu familier pula sama cetakan macam Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) untuk membuktikan enggak pernah terlibat pembunuhan berencana. Lalu ada juga surat pengantar dari Geuchik (kepala desa) untuk menunjukkan benar-benar warga wilayah setempat.
Padahal secara eletronik dengan menggunakan e-KTP, semua sudah terekam dari alamat hingga silsilah keluarga. Namun administrasi bangsa ini juga masih berlaku secara tradisional, yaitu fotokopi berkas.
Seorang pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menerangkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (dukcapil) sebenarnya sudah memiliki sistem informasi terintegrasi berdasarkan nomor identitas kependudukan (NIK) setiap warga negara.
Semua informasi itu sudah digital, bahkan sudah bisa mencetak e-KTP dan KK secara mandiri. Kendalanya memanfaatkan digitalisasi ini ada di instansi lain yang belum bisa menggunakannya.
“Yang belum banyak itu, [misalkan] bank-bank itu yang harusnya menyediakan card reader, bukan memfotokopi [e-KTP]. Itu yang musti dikejar kenapa enggak beli card reader-nya, aturannya kan sudah ada,” kata Agus kepada dikutip dari Viceindonesia.
Katanya, sebenarnya Disdukcapil di setiap daerah bisa dicetak secara daring. Kalau sekarang masih ada yang meminta fotokopi KTP, sebenarnya instansi tersebut yang masih malas.
"Di pelayanan publik kan sering dia [masih] harus nunjukin fotokopi KTP, harusnya enggak usah. Tinggal e-KTP digosok [dengan card reader], terbaca, dan keluar [informasinya],” Agus menjelaskan.
Aturan yang dimaksud Agus adalah Peraturan Presiden No. 67/2011 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional. Pasal 10 C ayat 1 dan 2 menyebut instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan, dan swasta wajib menyiapkan kelengkapan teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP, salah satunya card reader.
Menyangkut dengan kebutuhan surat pengantar dari RT dan RW atau kepala desa (yang lagi-lagi butuh fotokopi e-KTP), Agus kembali menekankan penerapan teknologi ini di masing-masing instansi.
“Sekarang persoalannya adalah di masing-masing instansi yang tidak mau mengikuti aturan [harus punya card reader]. E-KTP kan sebenarnya bisa dilihat di layar [komputer] saja, kalau mau dicetak ya tinggal dicetak masing-masing kantor. NIK itu sudah gampang, data Anda sudah ada. Anda punya mobil berapa, nomor BPJS Anda berapa, nomor SIM Anda, segala macam sudah ada,” tambah Agus.
Lantas, apa kendala instansi ini sehingga tidak menerapkan aturan yang bisa bikin mereka disayangi masyarakat?
“Ya, kalau instansi pemerintah ya anggaran lah. Tapi, kalau pelayanan publik kayak perbankan [harusnya sudah punya]. Jadi, enggak perlu fotokopi kita. Kalau di daerah, itu pasti malasnya karena anggarannya enggak ada. Lalu, belum semua itu mau, dan pemerintah belum melakukan sanksi. Kan harusnya ada sanksi, wong itu ada aturannya,” tutup Agus.[]