Maestro Kaligrafi Uraikan Sejarah Seni Ukir di Masa Kerajaan Aceh

Pameran Foto ‘Seni ukir dan pahat Aceh pada batu kayu dan Lukisan pada kertas’ di Taman Kesenian dan Kebudayaan Aceh, Banda Aceh. [Dok. Ist]
Penulis:

Seni ukir, seni pahat pada kayu dan batu serta kaligrafi berkembang pesat pada zaman kesultanan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam.

Hal itu diutarakan oleh maestro kaligrafi Aceh, Said Akram, Sabtu (27/3/2021) pada acara Pameran Foto Seni ukir dan Pahat Aceh pada Batu Kayu dan Lukisan pada Kertas, di Taman Kesenian dan Kebudayaan Aceh, Banda Aceh.

Munurut Said Akram, seni ukir, seni pahat pada kayu dan batu, serta kaligrafi pada era Samudra Pasai dan Aceh Darussalam telah melahirkan banyak ahli. Hal itu terlihat dari sejumlah bukti sejarah, baik lewat batu nisan maupun manuskrip kuno pada dua era tersebut.

Said Akram menuturkan, secara kualitas ukiran, pahatan dan kaligrafi yang terdapat pada manuskrip, rumah adat, dan batu nisan Aceh kualitasnya sangat tinggi serta memiliki corak yang berbeda dengan daerah lainnya di nusantara.

"Kita lihat batu ukir Aceh ini luar biasa, kemana pun kita keliling tidak ada seperti ini, berarti kan ada ahlinya, ada maestronya zaman dulu di Aceh, sekarang kemana kok hilang," kata Said Akram selaku kurator pada acara pameran tersebut.

Ia juga mengeluhkan seni ukir pada kayu di rumah Aceh yang menurutnya juga hilang. Minimnya kreativitas lantaran budaya yang kian terkikis.

Ukiran yang Merefleksikan Alam

Menurut Said Akram, pada masa kesultanan, ketiga karya seni tadi tidak terpisahkan dari masyarakat. Hal itu terlihat dari rumah ibadah dan rumah adat yang dipenuhi ukiran seni. Pahatan dan ukiran seni pada masa itu diketahui merupakan ornamen flora.

"Ada beberapa elemen yang dipadukan, tidak hanya satu macam. Ada satu bidang ukiran bisa jadi 6 jenis ornamen flora," sebutnya.

Menurut Said, refleksi dari ukiran ini tersebut berasal dari alam. Masyarakat mentransformasikannya ke dalam ukiran dua hingga tiga dimensi. Prosesnya pun melibatkan seorang yang ahli mendesain.

"Kalau kita bandingkan dengan ukiran lain bagus sekali, bukan  pemula yang membuatnya. Berarti beberapa abad yang lalu kita sudah punya ahli di bidang ukir, itu gak bisa kita pungkiri bukti sejarah yang ada di pameran ini," ujarnya.

Terkikisnya karya seni ukir dan pahat pada kayu dan batu mulai, menurutnya disebabkan banyak faktor, salah satunya karena penjajahan dan konflik berkepanjangan di Aceh.

"Barangkali faktornya banyak hal, kita kan dilanda konflik terus, di penjuru bumi mana pun kalau terjadi konflik banyak hal yang hilang, banyak hal yang mematikan bahkan pendidikan secara umum sekalipun," terangnya.

Setelah dilanda konflik, menurut Said, kondisi pendidikan di Aceh mulai menurun hingga berada pada titik bawah di antara provinsi lain. Agar karya seni ini tetap terjaga, dibutuhkan pembinaan muda-mudi Aceh terutama dalam bidang pahat dan ukir pada kayu dan batu.[]