Mempertanyakan Dalih Revisi UU ITE

Penulis:

“Kalau Undang-Undang ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-Undang ITE ini.”

Demikian ujar Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dalam arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu (15/2/2021). Pemerintah berencana merevisi undang-undang tersebut lantaran menganggap implementasinya tidak memberikan rasa keadilan.

Keinginan Pemerintah Pusat untuk merevisi undang-undang yang disahkan pada 2008 itu, ternyata menuai tanggapan dari berbagai lembaga bantuan hukum. Di antaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan LBH Pers.

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul meragukan rencana pemerintah untuk merevisi aturan tersebut, yang menurutnya terkesan buru-buru. Ia bahkan menduga ada niat lain di balik revisi UU ITE.

“Ada dua keraguan,” kata Syahrul memulai penjelasannya, saat ditemui readers.ID di Kantor LBH Banda Aceh, Rabu (24/2/2021).

Keraguan pertama, pihaknya menilai pemerintah sengaja melemparkan isu revisi undang-undang untuk menutup isu-isu lainnya. Sebab, dengan timbulnya revisi Undang-Undang ITE semua orang akan fokus dengan isu tersebut.

Sementara keraguan lainnya, sambung dia, pemerintah hingga kini belum mempublikasikan naskah akademik yang menjelaskan tujuan revisi undang-undang ini. Kata Syahrul, seharusnya naskah tersebut telah diketahui masyarakat, agar jelas apa tujuan sebelum dan sesudah revisi. Ia khawatir hasilnya justru semakin bermasalah.

“Jangan-jangan nanti direvisi malah semakin brutal. Siapa yang bisa menjamin itu, makanya penting mempublikasikan kajian awal kenapa ini harus direvisi,” ujarnya.

Jika pemerintah mengatakan aturan selama ini gagal menciptakan rasa keadilan atau dapat membungkam kritikan masyarakat, pemerintah seharusnya juga menjelaskan kajian dari masalah-masalah itu. Kajian itulah yang nantinya menjadi rujukan ketika revisi.

“Jangan-jangan dia ngomongnya mengenai Pasal 27 ayat 3 tetapi yang direvisi malah pasal lain atau memperkuat Pasal 27 ayat 3,” imbuhnya.

Berkaca dari Kasus Saiful Mahdi

Tak hanya ragu dengan Pemerintah Pusat, LBH Banda Aceh juga tidak yakin dengan edaran telegram Kapolri untuk jajarannya soal pedoman penanganan kasus Undang-Undang ITE, khususnya ujaran kebencian.

Dalam telegram itu dikatakan, persoalan ujaran kebencian meliputi kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan dapat diselesaikan dengan cara restorative justice. Kapolri memberi arahan kepada jajarannya untuk memedomani Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 207 KUHP, Pasal 310 KUHP, dan Pasal 311 KUHP.

Menurut Syahrul, edaran serupa pernah dikeluarkan Kejaksaan Agung pada tahun 2008 silam. Arahannya, setiap kasus UU ITE harus menghadirkan keterangan ahli dari Kementerian Kominfo.

“Tetapi dalam perjalanannya, orang langsung ditangkap, ditahan, diproses hukumnya, sedangkan keterangan dari Kemenkominfo tidak diminta,” jelas Syahrul.

Parahnya lagi, dalam satu kasus UU ITE yang ia tangani, keterangan Kemkominfo justru tidak signifikan dalam persidangan. Kasus yang dimaksud Syahrul adalah perkara pencemaran nama baik yang menimpa Dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi.

Dosen USK, Saiful Mahdi (kanan), saat berada di ruang sidang PN Banda Aceh, awal 2020 silam. (readers.ID/Fuadi)

Kasus ini diadvokasi langsung oleh LBH Banda Aceh. Bagi Syahrul, Saiful termasuk korban dari ketidakjelasan penerapan UU ITE. Majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonisnya pidana tiga bulan kurungan dengan denda Rp10 juta. Hukuman itu diterima Saiful usai mengkritisi prosedur perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di USK.

“Ada orang yang memang tidak sesuai prosedur mengikuti tes dan lulus. Artinya ada yang salah dengan prosedur dan kemudian dikritik oleh Saiful Mahdi, dan kemudian pihak kampus tidak menerima lalu dilaporkan ke polisi, diproses polisi dan dinyatakan bersalah. Itu kan mengkritik,” ungkapnya.

Banyak kejanggalan yang ia rasakan selama menangani kasus tersebut. Syahrul menceritakan, ketika Saiful diadukan ke Polresta Banda Aceh, pihak polisi justru tidak pernah memanggil saksi ahli dari Kemenkominfo. Sementara kasus ini terus bergulir hingga ke kejaksaan.

Kemenkominfo baru dihadirkan ketika berada di tahap persidangan. Staf Ahli Kemenkominfo, Prof. Henri Subiakto yang kala itu hadir sebagai saksi ahli mengatakan bahwa yang dilakukan Saiful Mahdi bukanlah pelanggaran Undang-Undang ITE.

“Tapi, majelis hakim malah memutus Saiful bersalah,” kata Syahrul.

Padahal, untuk memutuskan perkara itu harusnya mengacu pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar, Undang-Undang HAM, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Tak hanya itu, terang Syahrul, dalam Pasal 310 KUHP dijelaskan bahwa mengemukakan pendapat bukanlah pencemaran nama baik, jika itu demi kepentingan umum dan membela diri.

“Jadi dalam pertimbangannya seharusnya, hakim dapat melihat ada undang-undang lain yang menjadi komitmen negara dalam mengangkat harkat dan martabat manusia,” ucap Syahrul.

Karenanya, kehadiran Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3 dan 45 a soal penghasutan dan pencemaran nama baik dinilai sangat merugikan masyarakat. Karena dapat membungkam seseorang untuk menyampaikan kritikan dan berekspresi.

“Bisa disalahgunakan dalam penerapannya, ini menjadi fokus kita kemudian mengkritisinya agar kedua pasal ini dihapus saja,” kata Syahrul.

Meskipun demikian, ada beberapa pasal lain dalam undang-undang itu yang sangat didukung oleh LBH Banda Aceh. Misalnya menindak judi online, pornografi dan penipuan online.

“Harusnya itu fokus utama yang dikerjakan oleh polisi, jaksa, dan negara. Karena pada hakikatnya masalah-masalah itulah yang dituju Undang-Undang ITE, bukan malah kemudian hanya dua pasal saja yang muncul,” tutupnya.

Rentan Ditafsirkan Miring

Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan, Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang diterbitkan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dirasakan tidak efektif dan dapat menimbulkan subjektifitas dalam penafsirannya.

“Penilaian atas sebuah ekspresi yang dikualifikasikan sebagai sebuah perbuatan pidana sangatlah sulit dan subjektif penilaiannya,” kata Ade, pada Kamis (25/2/2021).

Menurut Ade, pedoman dalam surat edaran itu belum menjawab persoalan kriminalisasi. Aturan itu berpotensi membuka ruang kriminalisasi baru atas interpretasi dari sebuah perbuatan yang dianggap sebagai pencemaran nama baik.

“Kita khawatir edaran ini justru kontraproduktif dan tidak mampu mencapai tujuannya,” imbuh Ade.

Namun, di sisi lain, poin tentang restorative justice dalam surat edaran tersebut diapresiasi oleh LBH Pers. Sebab hukum pidana dijadikan upaya terakhir dalam melakukan penegakan hukum. Kendati demikian pedoman tersebut mengecualikan perkara yang dinilai berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.

LBH Pers menyampaikan, untuk menilai sebuah ekspresi sebagai tindak pidana, sangat sulit dilakukan. Penilaian atas sebuah ekspresi yang dianggap berpotensi memecah belah bangsa, SARA, radikalisme, dan separatisme akan sangat subjektif dan berpotensi samar-samar penilaiannya.

“Pihak kepolisian perlu meninjau ulang poin-poin dalam surat edaran itu terkait potensi terciptanya ruang kriminalisasi baru terhadap ekspresi yang dianggap berpotensi memecah belah bangsa, SARA, radikalisme, dan separatisme,” jelasnya.

Upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert dikhawatirkan justru membuat masyarakat takut menyampaikan ekspresinya di ruang digital, seperti penyampaian kritik kepada pemerintah.

Situasi tersebut justru menjadi hambatan bagi publik. Padahal penyampaian pendapat dan kritik secara terbuka jelas diakui perlindungannya dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 2 dan 3.

“Pihak Kepolisian RI harus memiliki standar yang jelas dalam pelaksanaan virtual police dan virtual alert agar tetap sesuai dengan kewenangannya,” kata Ade.

Selain itu, ketentuan permintaan maaf oleh tersangka dan tidak dilakukan penahanan, sesungguhnya telah diatur melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

KUHAP sendiri telah memberikan kualifikasi bentuk-bentuk tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan, yaitu tindak pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih dan tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat 4 huruf b.

Tindak pidana pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE ancaman penjaranya adalah maksimal 4 tahun dan tidak merupakan bagian dari pasal-pasal sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP.

Sehingga sejak awal, tegasnya, untuk tindak pidana pencemaran nama baik memang tidak dilakukan penahanan, kendatipun terdapat ketentuan syarat subjektif pada pasal 21 ayat 1 KUHAP.

Oleh karena itu, imbuh Ade, tanpa pedoman dalam surat edaran tersebut pun, sejak awal perkara pencemaran nama baik memang tidak dilakukan penahanan.

“Pihak Kepolisian RI untuk senantiasa bertindak secara profesional dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM dalam menangani setiap laporan atas berbagai tindak pidana kepada ekspresi yang masuk,” tandas Ade.[]