Mengembalikan Makna Kuliner Apam di Tengah Masyarakat
Apam, kata- kata itu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Aceh, khususnya masyarakat kabupaten Pidie. Bahkan ada yang memaknai kata-kata tersebut dengan konotasi sedikit binal, dan keliru, jauh dari arti yang sebenarnya.
Dalam tradisi masyarakat Pidie, saban tahun digelar acara atau festival ‘Tot Apam’ (bakar apam). Apam sendiri merupakan camilan atau kue yang terbuat dari tepung beras, dan disuguhkan dengan kuah santan berisikan nangka yang gurih dan manis.
Tradisi tot apam masih menjadi budaya yang perlu dilestarikan sepanjang masa, serta menjadi warisan budaya bagi anak cucu dan generasi penerus Aceh.
Dalam sejarahnya, apam tidak dimasak dengan kompor gas atau kayu bakar, tetapi dimasak dengan Oen Ue Tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa apam tidak boleh dimasak selain dengan daun tersebut. Apam yang enak dimakan yaitu bila permukaannya berlubang-lubang, sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).
Ada beberapa variasi bila ingin menyantap apam. Kue tradisional Pidie yang sudah melegenda akan sedap rasanya bila dimakan dengan kuah tuhe. Kuah tuhe sendiri adalah fermentasi atau campuran santan dengan pisang raja, atau pula menggunakan nangka yang sudah matang serta gula pasir.
Bagi yang tidak suka dengan kuah tuhe, apam juga bisa disantap dengan kelapa yang sudah dikukur, lalu dicampur dengan gula pasir.
Bahkan, cara menyantap apam terlebih dulu direndam beberapa saat ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut dengan Apam Leu’eop, menurut orang Pidie. Setelah semua kuahnya habis diisap, barulah apam itu dimakan.
Menariknya, setiap festival apam selalu dipenuhi oleh tamu undangan. Bahkan siapa pun yang melintas di depan rumah orang Pidie saat musim tersebut akan diberhentikan untuk menyantap apam.
Festival apam tak hanya sepintas kenduri atau sekadar makan-makan saja. Namun, lebih kepada merajut silaturahmi dan saling berbagi antar sesama.
Tradisi toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama ‘buleun apam’ atau bulan Rajab menurut orang Aceh. Hal itu berlaku sampai sebulan penuh. Bahkan bila mencukupi, kenduri apam juga diantar ke meunasah serta sanak keluarga.
Memiliki Banyak Nilai
Guna melestarikan kembali adat budaya Aceh dan cita rasa kuliner Aceh, Pemerintah Kabupaten Pidie hampir setiap tahunnya bersama dinas pariwisata setempat mengadakan Festival Tot Apam.
Zukhri Mauluddinsyah Adan, Ketua Majelis Pemuda Indonesia (MPI) KNPI Kabupaten Pidie saat dihubungi readers.Id, Selasa (23/2/2021) mengatakan, sebagai masyarakat Aceh, khususnya masyarakat kabupaten Pidie semestinya tahu dan memahami arti kenduri apam secara historis, filosofis dan budaya.
Pengetahuan terkait kuliner Aceh, kata Zukhri, sesungguhnya bernilai religius.
"Secara adat budaya, festival tot apam dilaksanakan turun temurun, sejak dahulu hingga kini. bahkan sampai dengan seterusnya," kata politisi Partai Demokrat Kabupaten Pidie tersebut.
Menurut Zukhri, apam merupakan satu jenis kuliner klasik masyarakat Aceh. Makanan Aceh itu, tambah Zukhri, sangat beragam dan punya tingkat kekhasan tersendiri dalam pembuatan hingga penyajiannya. Artinya, setiap makanan atau kuliner Aceh mestilah dipahami memiliki nilai filosofis.
"Berdasarkan sejarah, ini mengandung nilai ibadah di dalamnya. Minimal nilai silaturahmi, kebersamaan, nutrisi dan bahkan nilai sedekah yang biasa Bangsa Aceh menyebutnya dengan sebutan kenduri," jelas mantan Anggota DPRK Pidie Periode 2004-2009 tersebut.
Kenduri apam merupakan salah satu jenis kenduri yang menjadi kekhasan masyarakat Aceh. Acara ini hanya dilaksanakan saat tiba dan sepanjang bulan Rajab setiap tahunnya. Dalam Almanak Aceh disebut dengan bulan Apam.
Dalam pemahaman Zukhri, apam punya makna tersendiri, di antaranya sebagai berikut:
Pertama nilai Filosofis. Kenduri Apam merupakan bentuk rasa Syukur atas nikmat Allah SWT yang sudah memenangkan setiap tantangan hidup setahun yang lalu sampai pada persiapan menyambut Ramadhan pada dua bulan ke depan, dengan pemenuhan nutrisi sejak bulan Rajab maupun Sya'ban.
Kemudian, tambah pemerhati budaya itu, pendahulu pernah menceritakan di Jazirah Arab dan Gujarat juga ada kenduri apam sejak dahulu. "Penziarah dari tanah Arab membawanya ke Aceh semenjak Kerajaan Aceh Darussalam berkembang," pungkasnya.
Sejak dulu, sepengetahuan Zukhri, nama apam merupakan sebutan dari kata Afwah yang bermakna saling memaafkan, di antara sesama muslim. Baik di setiap kemenangan peperangan ketika masa Rasulullah SAW juga banyak dalam bulan Rajab. “Ini mungkin para Pakar Sejarah Peradaban Islam dan Shirah Nabawiyah yang lebih mengetahui secara detail,” ujarnya.
Kedua, nilai agama. Hal ini jelas terlihat dari kebersamaan sejak dari perencanaan, proses, hingga penyajian hasil memasak bersama-sama para keluarga dan tetangga dengan penuh keakraban.
Ketiga adalah nilai budaya, bila mengkaji rutinitas tahunan Peunajoh Aceh yang dilaksanakan pada bulan Rajab dalam kalender Hijriyah. Nilai budaya erat dengan jati diri bangsa dan bernilai luhur.
Keempat, lanjut Zukhri lagi, nilai pendidikan. Tentunya bicara bagaimana memandu teknik detail cara menghasilkan kuliner (Khususnya apam) yang baik serta lezat.
Dan yang kelima, nilai ekonomi. Biaya untuk bahan baku dari menu kenduri apam biasanya dikumpulkan masing-masing. Kemudahan bahan itu disatukan dan hasil masakan menjadi santapan penyajian bersama (diistilahkan Khanduri) dalam suasana penuh pemaafan.
"Karena itu, jangan memandang apam dari perspektif negatif," kata Zukhri.
Di tempat terpisah, pemerhati budaya Muhammad Syawal Djamil menuturkan, seperti lazim pada jenis kenduri lainnya, kenduri apam bagi orang Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat.
Di samping itu, kata Syawal melalui kenduri Apam masyarakat Aceh menjadikannya sebagai momentum untuk silaturahim antar sesama, sembari mengisahkan peristiwa penting yang terjadi di masa silam, tentunya berkaitan dengan sejarah Islam.
"Dalam bulan Rajab, orang Aceh menyebutnya dengan bulan apam. Banyak peristiwa-peristiwa penting terjadi," kata Syawal.
Syawal menambahkan, orang-orang tua dulu menikmati apam sambil bercerita dan bercengkerama. Tak ayal beragam masalah dalam aktivitas kehidupan seketika terlupakan dengan sendirinya, lantaran saking nikmat dan bahagianya menyantap Apam.
Dalam perspektif orang Aceh, demikian dituturkan, bulan Rajab adalah buleun peugleh tuboh (bulan menyucikan jiwa). Sedang bulan Sya'ban merupakan buleun peugleh hate (bulan membersihkan hati). Pun bulan Ramadhan ialah bulan beribadah dengan sungguh-sungguh (beribadah dengan semaksimalnya). Tiga bulan ini sangat dimuliakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya.
Karena demikian, jelas Syawal, dalam hal menyucikan jiwa, masyarakat Aceh tempo dulu bersilaturrahmi ke tetangga-tetangganya, untuk meminta maaf atas kesalahan atau kekhilafan baik dari segi ucapan, tindakan ataupun sikap yang tanpa sengaja lahir dari hasil proses interaksi dengan tetangganya.
"Mereka perginya bukan dengan tangan kosong, melainkan membawa makanan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan santan, yakni apam," terangnya.
Dari kebiasaan ini pula membawa makanan dalam bersilaturrahmi, muncul dan berkembanglah sebutan untuk makanan yang sering dibawa saat silaturrahmi itu dengan sebutan awalnya kue ‘Afwan’, dan lama kelamaan menjadi apam.
Di luar pendapat itu, ada juga yang berpendapat pelaksanaan kenduri apam itu bermula dari penghormatan untuk seorang tokoh yang bernama Abdullah Rajab, yang konon menurut cerita, ia wafat tanpa ada yang melaksanakan penghormatan dalam bentuk kenduri.
Maka dari itu, muncullah inisiatif dari masing-masing masyarakat agar membuat kenduri apam, juga dengan tujuan mengenang kepergian tokoh tersebut.
Mengembalikan Konotasi baik Nama Apam
Seiring perjalanan waktu, lama-kelamaan, sebutan Afwan mengalami pergeseran --mungkin karena pengucapannya yang berbeda-beda-- sehingga namanya ‘terpeleset’ menjadi Apam.
Adapun dasar pelaksanaan kenduri apam, Syawal mengisahkan, ada yang mengatakan itu bermula dari hukuman yang ditujukan kepada seorang pemuda yang tidak Shalat Jumat tiga kali berturut-turut. Sehingga diperintahkan membuat apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke masjid dan akan dimakan bersama sebagai sedekah.
Bahkan, kata Syawal lagi, ada juga yang mengatakan kenduri itu bermula dari kematian seorang sufi di Mekkah, Arab Saudi yang kehidupannya sangat miskin. Sehingga orang di kampungnya bekerja sama membuat makanan apam untuk disedekahkan sebagai ganti dari acara kenduri kematiannya.
Namun sayangnya, kata Anggota Komunitas Beulangong Tanoh itu, belakangan ini nama apam sudah diplesetkan jadi negatif. Tidak tahu siapa yang memulainya, hingga kini apam sudah dimaknai dengan konotasi binal.
"Konotasi binal itu berkaitan dengan kaum hawa. Tidak ada pada kaum Adam. Saya yakin anda paham dengan yang saya maksud," ungkapnya.
Mirisnya lagi, kata Syawal, konotasi itu bertahan di kalangan remaja, sehingga nama apam terasa menjijikkan.
“Ini karena dalam benak mereka (mungkin) sudah terkhatam apam ialah, tidak ada lain dan tak bukan, selain binal itu,” ujarnya.
Ia berharap, kenduri apam yang merupakan budaya leluhur Aceh tidak menjadi ajang meuayang-ayang (main-main) dengan mengistilahkan apam dalam pergeseran makna saat ini.
Bagi masyarakat Pidie, nyaris setiap Bulan Hijriyah digelar kenduri dengan kuliner khas bulan tersebut. Apalagi saat Ramadhan tiba, warga saling bertukar kuliner berbuka puasa. Selain kenduri Tamat di meunasah, juga ada Hakiqah dan hajatan lainnya.
Ada juga kenduri Beureuat di bulan Sya'ban, yang berlangsung 100 hari sebelum kenduri Maulid (syukuran kelahiran Rasulullah Muhammad SAW) mulai dari Rabiul Awal hingga 10 hari di Jumadil Akhir. Lalu tiba waktunya untuk menyambut bulan Ramadhan dengan kenduri apam.
Sebagaimana diketahui, di tahun ini juga, Bupati Pidie Roni Ahmad menginstruksikan kepada sekolah agar mengadakan kenduri apam di sekolah masing-masing. Hal ini tertuang dalam surat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pidie bernomor 421/674/2021, sesuai dengan Instruksi Bupati.