Meraup Pundi Rupiah dari Potongan Kue Selama Pagebluk

Evi Susanti, ibu rumah tangga bertahan di tengah pandemi dengan berjualan kue di Banda Aceh. Foto Nova Rahmawati.
Penulis:

Evi Susanti (36) bergegas memanaskan motornya saat embun yang bersandar di pepohonan belum mengering di Gampong Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh untuk mengantarkan aneka kue basah ke pelanggannya.

Bersama suami dan empat anaknya. Setiap hari mereka membuat kue basah sejak pukul 17.00 hingga tengah malam. Rutinitas ini mereka kerjakan demi bertahan hidup selama pagebluk Covid-19 melanda Aceh.

“Selama pandemi, suami tidak ada pendapatan, makanya kondisi ekonomi kami saat ini sedang lesu-lesunya,” kata Evi Susanti, Kamis (7/10/2021).

Kendati demikian, keluarga kecil ini tak pernah patah arang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan keempat anaknya yang masih sekolah.

Tanpa rasa lelah, setiap harinya Evi Susanti menjalankan rutinitasnya, pekerjaan ini bukan tanpa alasan, karena dia harus membantu suaminya yang hanya seorang pengantar pasir untuk bangunan.

Pagebluk melanda dunia, hingga berdampak ke Aceh usaha kue basah miliknya ikut terdampak. Omzet penjualan turun drastis akibat daya beli masyarakat menurun selama virus corona terjangkit di Serambi Makah.

Setiap harinya, Evi membuat 500 potong kue, baik kue basah maupun kering dengan harga per potong adalah Rp 1.000. Lalu diantar ke pelanggan langsung setiap pagi menggunakan sepeda motor di kawasan Kota Banda Aceh.

“Sedikitnya ada 500 potong kue yang saya buat setiap harinya, mulai dari kue basah, hingga kue kering, semuanya saya antar ke penjual menggunakan sepeda motor,” kata Evi.

Usaha Evi tidak selalu berjalan mulus. Kendala yang kerap dirasakan, kue-kue yang telah diantar ke pelanggan itu ada yang tidak laku. Tentunya yang tersisa itu menjadi resiko bagi Evi, karena kue tersebut tidak lagi bisa diperjualbelikan untuk esoknya.

Kue yang diproduksi Evi hanya bertahan untuk satu hari. Bila tidak laku terjual, Evi kerap membagikan ke tetangga secara gratis. Padahal keuntungan kotor dari usaha kuenya itu berkisar Rp 800 per kue.

“Memang tidak selalu laku semua, sering kali tinggal kuenya, kalau tinggal dimakan sendiri atau dibagi-bagi untuk tetangga,” jelas Evi Susanti.

Evi mulai membuat kue dari pukul 17.00 WIB sampai dengan tengah malam, dia juga dibantu oleh keempat anaknya dengan peran masing – masing, agar kue bisa dihantarkan ke setiap warung pada pagi hari.

“Suami juga ikut membantu memotong sayuran untuk membuat risol, sedang anak lelakinya ada yang memotong daun, memotong plastik untuk bungkusan kue, menggoreng , mencuci piring dan sebagainya,” jelas Evi.

Kendati demikian, Evi bersama dengan keluarganya tetap berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan sekunder.

Evi berharap supaya ada tempat khusus yang menampung kue-kue buatannya, sehingga memudahkannya memasarkan kue dan ada bantuan berupa alat alat kue  seperti oven, mixer, cetakan dan lainnya.[acl]

Penulis: Nova Rahmawati [Jurnalis Warga di Banda Aceh]