Moralitas Jadi Tolak Ukur Keberhasilan Pendidikan di Aceh
Kepala Cabang Dinas Pendidikan wilayah Kota Subulussalam dan Aceh Singkil, Asbaruddin, mengatakan, tolak ukur keberhasilan pendidikan Aceh ialah berdasarkan moralitas dan karakter peserta didik.
Asbaruddin menuturkan, tolak ukur mutu atau kualitas pendidikan Aceh tidak hanya dilihat dari hasil evaluasi Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK- SBMPTN) yang diikuti oleh para lulusan SMA sederajat setiap tahunnya.
“Bila tidak lulus perguruan tinggi negeri (PTN) bukan berarti mutu pendidikan rendah. Keselarasan dan harmonika sosial serta dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, jika dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis,” kata Asbaruddin, Senin (28/6/2021).
Kenyataan saat ini, kata Asbaruddin, pendidikan yang pada hakikatnya untuk membentuk manusia yang berkarakter, tampaknya belum berhasil diterapakan di Indonesia, karena cenderung membanggakan serapan masuk PTN dan mengabaikan akhlakul karimah.
“Pendidikan kita baru melakoni misi yang paling rendah dalam pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara misi moral masih tercecer diantara jalan terjal mimpi dan kenyataan, pertanyaannya siapa yang peduli," ujarnya.
Asbaruddin menilai, indikator keberhasilan pendidikan, sejatinya lebih dominan ke arah afektif (sikap, akhlakul karimah atau moralitas) para lulusannya, disamping tidak mengabaikan keilmuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik).
Dikatakannya, Ilmuan tidak boleh hanya memandang rangking dari jalur saintek, humaniora atau perspektif lain, ilmuan harus menjadi illmuan sejati yang tidak menghakimi dari satu sudut padang saja.
"Ternyata dalam ujian masuk perguruan tinggi tidak menilai bagaimana afektif, hanya menilai kognitif dan menafikan psikomotorik lulusan, ini sangat keliru," tuturnya.
Disisi lain, Asbaruddin mengajak pihak Universitas Syiah Kuala (USK) untuk saling intropeksi diri, karena hampir 75 persen guru dan tenaga pendidikan di Aceh itu merupakan lulusan perguruan tinggi tersebut.
“Sebagai penyumbang guru terbanyak di Aceh, USK wajib introspeksi diri, apakah proses pendidikan bagi guru telah dilaksanakan dengan baik sehingga tamatannya dapat dipakai untuk satuan pendidikan yang ada di Aceh," jelasnya.
Asbaruddin menyebutkan, pendidikan yang berjalan di USK saat ini ternyata juga masih dalam keadaan buram. Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya program studi yang berakreditasi B dan C.
“Apakah rendahnya kualitas guru di Aceh dipengaruhi oleh rendahnya kualitas Sarjana Pendidikan. Kita tidak bisa saling menyalahkan tetapi saling introspeksi diri, duk pakat dalam Bahasa Aceh,” tandasnya.[]