Nabi Muhammad, Segores Pena Tokoh Nomor Satu Sepanjang Masa

Memperingati Maulid Nabi Muhammad dengan meneladani segala aspek dari kehidupan Rasulullah termasuk semangat perjuangan dalam mensyiarkan Islam dan menumpas kesyirikan dapat mewujudkan rasa cinta dan penghargaan yang tinggi serta mengukuhkan nilai dan pengaruh dalam kehidupan umat.

Husaini Algayoni (Kolumnis Gayo)
Penulis:

Oleh: Husaini Algayoni*

Menulis sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan Rasulullah dapat mewujudkan rasa cinta dan penghargaan yang tinggi serta mengukuhkan nilai dan pengaruh dalam kehidupan umat. Hal ini disampaikan oleh peneliti dan penulis sejarah kehidupan Rasulullah, Shan’a Ubaid bin Syiriah al-Jarhami. (Samih Kariyyam, Indahnya Ramadhan Rasulullah, 2005: 4).  

Di buku Indahnya Ramadhan Rasulullah disebutkan, ada tiga pakar dalam bidangnya masing-masing yang menulis tentang Nabi Muhammad, yaitu:

Ahmad Amin, menulis sisi pemikiran berdirinya Negara Islam yang dibentuk oleh Rasulullah. Dalam tulisan ini Ahmad Amin menghasilkan kesimpulan bahwa sisi pemikiran dalam Islam sangat kuat dan tumbuh subur, dan juga sisi kehidupan pemikiran ini memengaruhi wawasan keagamaan, kesusastraan, dan filsafat.

Abdul Hamid, menulis kehidupan politik bangsa Arab pada abad pertama hijriah. Bangsa Arab pada masa kehidupan nabi memiliki kebijakan luar negeri yang sangat rinci dan politik dalam negeri yang aktif. Kedua kebijakan itu dipengaruhi oleh kehidupan bangsa Arab sendiri dan juga bangsa Asing.

Thaha Husein, menulis tentang sisi kehidupan kesusastraan di dalam Islam. Hal ini merupakan permasalahan yang membutuhkan penelitian seni dan bahasa yang terjadi pada masa nabi dan setelahnya sehingga dapat memberikan kesimpulan dan gambaran yang beraneka warna dalam kehidupan umat Islam.

Michael H. Hart penulis Amerika Serikat di buku fenomenalnya 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang masa. Memperingati maulid tokoh berpengaruh ini pada 12 Rabiul Awwal bertepatan pada 8 Oktober 2022, penulis mencoba menggoreskan pena tentang Nabi Muhammad bin Abdullah.

Nabi Muhammad menempati posisi yang unik sebagai pemimpin spiritual (agama) juga sebagai kepala negara atau pemimpin pemerintahan Islam yang tidak dapat dibantah (unquestionable leader). (Khalid Ibrahim Jindan. 1994: 1).

Kepemimpinan nabi identik dengan perjanjian, di sini betapa piawainya Nabi Muhammad dalam berdiplomatik. Di antara perjanjian yang masyhur adalah Perjanjian Politik Piagam Madinah. Perjanjian ini dibuat untuk menjaga keamanan, ketenteraman, dan perdamaian dengan Yahudi.

Perjanjian ini ditetapkan hak kemerdekaan tiap-tiap golongan memeluk dan menjalankan agamanya, hak kemerdekaan berpikir, hak kehormatan jiwa, negeri, dan harta. Ini salah satu perjanjian politik yang belum pernah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu yang merupakan suatu peristiwa baru dalam lapangan politik dan peradaban. (Rus’an, 1981: 97-98).

Menurut Akram Dhiyauddin Umari (dalam Jaih Mubarok, 2004: 49-50) isi Piagam Madinah secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: perjanjian Nabi Muhammad dengan Yahudi dan perjanjian dengan Muhajirin dan Anshar.

Dengan adanya piagam tersebut penduduk Madinah bisa hidup dengan tenang dan damai serta setiap pemeluk agama saling menghormati. Suku Auz dan Khazraj sebelumnya saling bertikai, didamaikan oleh nabi. Yahudi (Bani Quraiza, Nazhir, dan Bani Qainuka) bersatu dengan kaum muslim, Muhajirin dan Anshar.

Perjanjian Piagam Madinah, dewasa ini dikenal dengan istilah toleransi. Jeffrie Geovanie, di buku Civil Religion: Dimensi Sosial  Politik Islam menyebutkan bahwa toleransi adalah rintisan jalan ke arah inclusivisness: keterbukaan untuk melihat kemungkinan pendapat orang lain benar dan kemungkinan pendapat kita salah.

Kesadaran ini merupakan bentuk kesadaran pikiran dan hati yang dapat dicapai melalui paduan serasi antara kematangan rasional (akal sehat), kearifan diri, dan kebijaksanaan hati. Inilah sejatinya toleransi secara inklusif, yang menjadi salah satu nilai fondasi dasar demokrasi modern.

Karena itu, pencapaian nabi pada periode Madinah dinilai sosiolog terkemuka Amerika, Robert N. Bellah sebagai suatu pencapaian yang luar biasa modern karena menjunjung tinggi prinsip toleransi dan egalitarianisme antarwarga.

Sebagai pemimpin spiritual, nabi membawa risalah dari Allah untuk disampaikan kepada manusia. Setelah Nabi Muhammad banyak nabi-nabi palsu bermunculan dari sejak awal Islam hingga dewasa ini. Pada masa kehidupan nabi yang mengaku sebagai nabi ada Musailamah al-Kadzdzab, di Indonesia yang mengaku sebagi nabi ada Lia Aminuddin dan Ahmad Musaddiq.

Dalam Islam, soal kenabian adalah ajaran yang final. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi setelahnya. Dalil yang menegaskan ini adalah (QS. 33: 40). Muhammad Iqbal mengatakan “Gagasan utama Khatamul Anbiya adalah tidak adanya penyerahan diri secara spiritual kepada siapa pun setelah Nabi Muhammad.”

Iqbal, pemikir Islam kelahiran kota Sialkot, India yang mempopulerkan konsep filsafat khudi ini menyampaikan bahwa secara teologis ajaran yang disebut Islam telah sempurna dan abadi. Sementara orang yang mengaku sebagai nabi merupakan orang yang tidak patuh kepada Islam. (Armansyah, Jejak Nabi Palsu, 2007: 30).

Melalui goresan pena ini bahwa keteladanan kehidupan Nabi Muhammad dapat diteladani dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama, terkhusus bagi pemimpin atau pemangku jabatan yang hidup di negeri yang pluralitas sehingga dapat mewujudkan kehidupan harmoni.

Sementara itu yang mengaku sebagai utusan Allah untuk manusia setelah Nabi Muhammad merupakan orang yang tidak taat pada Islam dan memahami Islam secara berlebihan, pemikiran seperti ini perlu diwaspadai agar tidak jatuh ke jalan yang salah.

Dalam filsafat Islam, materi tentang konsep kenabian merupakan pembahasan yang menarik untuk ditelaah secara mendalam. Aspek kenabian ada yang berpendapat bahwa nabi tidak perlu diutus ke permukaan bumi dan menolak kenabian dengan alasan akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan buruk.

Menolak kenabian berarti pengingkaran terhadap kenabian, ini yang dinamakan dengan ateis dalam Islam yang disebutkan oleh Abdurrahman Badawi di Sejarah Ateis Islam: Penyelewengan, Penyimpangan, Kemapanan. Badawi menyebutkan bahwa dalam Islam ada ateis; persoalannya bukan pengingkaran terhadap Tuhan, melainkan pengingkaran terhadap kenabian.

Sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi nabi, kondisi ketika itu berada di titik kegelapan dalam kehidupan manusia yang dikenal dengan zaman jahiliah. Pada zaman ini, kata Ali bin Abi Thalib; manusia mengalami dua jenis kekurangan, kekurangan material dan spiritual.

Jenis kekurangan material taraf kesejahteraan dan keamanan sosial sangat rendah, sementara kekurangan spiritual masyarakat kosong dari jalan hidup yang bersih, ini merupakan penderitaan terbesar bagi manusia dan masyarakat secara umum karena tidak berusaha mencari tujuan mulia dalam hidup.

Keadaan masyarakat pada zaman jahiliah, masyarakat hidup tanpa tujuan, menyimpang dengan tujuan-tujuan, dan keinginan-keinginan yang destruktif. Dalam masyarakat yang menyimpang dan tersesat inilah, para nabi diangkat dan diutus kepada manusia.

Nabi datang untuk mengatakan kepada masyarakat dengan tanda-tanda peringatan dan azab yang telah menimpa bangsa terdahulu di sepanjang sejarah dan untuk mengatakan kepada manusia bahwa mereka pun akan mengalami hukuman yang sama apabila mereka mengikuti cara-cara (hidup) bangsa-bangsa sebelumnya.

Nabi diutus ke permukaan ini membawa manusia ke jalan yang lurus dari kehidupan yang gelap, menghidupkan spiritualitas dari diri serta mencari tujuan kehidupan yang baik. Misi nabi untuk menumpas penyimpangan, alienasi, dan membangkitkan semangat spiritual. Realisasi ini, diikuti oleh kesejahteraan material, keamanan sosial, penghapusan kebodohan, dan perbedaan kelas.

Beberapa misi nabi di atas menambah keyakinan kita bahwa nabi diutus ke bumi benar-benar memperbaiki kehidupan manusia melalui pesan-pesan yang disampaikannya. Walaupun manusia disempurnakan oleh akal, tidak tertutup kemungkinan manusia tidaklah sempurna. 

Selain itu juga memperingati Maulid Nabi Muhammad dengan meneladani segala aspek dari kehidupan Rasulullah termasuk semangat perjuangan dalam mensyiarkan Islam dan menumpas kesyirikan dapat mewujudkan rasa cinta dan penghargaan yang tinggi serta mengukuhkan nilai dan pengaruh dalam kehidupan umat.[]

*Penulis, Kolumnis Gayo.