Nilai, Bukan Sekadar Pedang dan Uang

Pernah suatu kali, Ali bin Abi Thalib digugat orang. Kenapa masa kepemimpinan Ali, banyak terjadi huru-hara, perang dan kekacauan sesama muslim, tidak seperti zaman Khalifah lainnya Abu Bakar, Umar dan Usman. Ali langsung menjawab, "Dulu, Abu Bakar, Umar dan Usman memimpin orang-orang seperti aku. Dan sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu."

Penulis:

Dr. Syaifullah Muhammad, ST., M.Eng

LANGIT Jakarta masih gelap. Sebentar lagi akan ada penerbangan ke Aceh dengan Garuda Indonesia Airlines (GA) 140.

Kemarin siang, saya menghadiri seremoni penting di Gedung D Kemendiktisaintek, Senanyan, Jakarta. 

Atsiri Research Center-Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan & Teknologi (ARC-PUIPT) Nilam Aceh USK, lembaga yang saya pimpin, kembali mendapat apresiasi nasional. Gold Winner, untuk Kategori Prioritas Nasional Green Economy. 

Kemarin baru tahu kenapa Anugrah Diktisaintek 2024 diberikan kepada saya sebagai juara pertama. 

Ini terkait inovasi nilam yang dikerjakan tim ARC-PUIPT Nilam Aceh USK melalui Grant Kedaireka. Sebelumnya saya hanya menebak-nebak kenapa nama saya muncul dalam undangan penerima awards Kemendiktisaintek 2024. 

Kalau terkait nilam, meski saya yang biasanya tampil di depan, tapi sesungguhnya ini merupakan hasil kerjasama tim yang luar biasa. Bukan yang muncul serta-merta secara instan. Tapi perjuangan bersama berbilang tahun. 

Mengkombinasikan kecerdasan, kerja keras tim serta keyakinan akan tujuan perjuangan. Meramu komitmen dan konsistensi multi-layers di ARC USK. Mulai dari pimpinan tertinggi di USK, hingga pembersih ruangan di ruang ARC yang sunyi.  Menguji ketahanan mental dan fisik. Untuk terus bekerja memberi kebaikan meski fisik letih. Untuk terus tersenyum meski hati sedih.

Perjuangan Sejati

Perjuangan sejatinya adalah kombinasi ikhtiar, doa dan restu dari Yang Maha Kuasa. Pedang dan uang lazimnya adalah penggerak utama untuk menggerakkan orang-orang bekerja memperoleh apa yang diinginkan.

Punya kekuasaan, ciptakan ketakutan maka kepatuhan akan diperoleh.
 
Banyak peradaban besar dihasilkan dengan cara ini. Kita mengenal banyak monumen sejarah yang spektakuler, bahkan dianggap sebagai keajaiban dunia, diperoleh dengan kelihaian penguasa menyebar "virus ketakutan" pada otak reptil manusia.

Atau punya uang, sebar ke banyak orang, untuk melakukan apa yang kita inginkan. Dimana-mana kerja perlu uang. Minta para cerdik pandai, tenaga skil, bahkan hingga buruh kasar bekerja, bayar upah mereka dan kepatuhan serta hasil kerjanya akan menjadi milik kita.

Kekuasaan dan uang, keduanya tidak kami miliki secara memadai saat memperjuangkan nilam Aceh. Tapi kenapa banyak capaian bisa diperoleh, berbagai mile stone hasil kerja tim yang mengagumkan hadir dengan apresiasi berbagai pihak, lokal, nasional bahkan internasional? 

Jawabannya, karena ada satu lagi faktor yang bisa menggerakkan orang, yaitu nilai. Nilai yang diyakini kebenarannya. Nilai yang menjadi cita-cita bersama. Nilai yang menyentuh sumber intrinsik insani, terhunjam dalam pada pusat kesadaran relegiusitas sehingga menjadi ideologi dalam berjuang.

Nilai menggerakkan secara lebih alamiah, berangkat waktu lama, melewati batas-batas materi, mengkonvergensikan energi gerak dari hati, otak dan nafsu manusia.

Implementasi praksis dari sebuah nilai yang menjadi ideologi perjuangan, akan bergantung pada relasi pemimpin dan orang yang dipimpin. 

Belajar dari Ali bin Abi Thalib

Pernah suatu kali, Ali bin Abi Thalib digugat orang. Kenapa masa kepemimpinan Ali, banyak terjadi huru-hara, perang dan kekacauan sesama muslim, tidak seperti zaman Khalifah lainnya Abu Bakar, Umar dan Usman. 

Ali langsung menjawab, "Dulu, Abu Bakar, Umar dan Usman memimpin orang-orang seperti aku. Dan sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu."

Saya (tengah) bersama kerabat dari USK yang juga menerima anugerah Kemendiktisaintek 2024

Relasi pemimpin dan yang dipimpin memang harus dihandle dengan cermat dan hati-hati. Apalagi untuk organisasi tanpa kekuasaan dan uang. Masing-masing harus menjaga energi geraknya. 

Dalam banyak kesempatan pemimpin mungkin harus lebih banyak berkorban. Terutama korban perasaan. Memberi arah, strategi pelaksanaan, hingga mengawal hingga tujuan dan target bisa dicapai. Sebuah proses yang rentan dengan pengabaian dari orang yang dipimpin kepada pemimpinnya.

Pengabaian sesungguhnya menciptakan demoralisasi, menjatuhkan semangat, kekecewaan yang mendalam, burn out, dan yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya kemarahan terhadap situasi yang ada, karena akan berdampak pada pengabaian berikutnya. 

Tapi kali ini justru pemimpin yang mengabaikan orang yang dipimpin, sekaligus akan berdampak pada efektivitas dan efisiensi dari pekerjaan dan visi perjuangan. 

Perbaikan tentu harus dari kedua belah pihak, pemimpin dan orang yang dipimpin. Kalau ditanya ke saya, maka saya cenderung concern dengan pemimpinnya. Pemimpin harus lebih banyak berkorban, selama itu berdampak pada kepentingan pencapaian cita-cita bersama tadi. 

Pemimpin perlu meluaskan ruang toleransi untuk lebih sanggup menerima kekecewaan. Pemimpin harus lebih terampil berbicara dengan 'bahasa kaumnya' agar bisa menyentuh hati dan otak orang yang dipimpinnya. 

Pemimpin harus lebih mengembangkan strategi dan menyiapkan second plan ketika ada situasi yang mengancam pencapaian tujuan. Termasuk disini bekerja lebih keras dari yang seharusnya,  karena ada take over pekerjaan yang gagal dilaksanakan oleh anggota timnya. 

Namun meski harus bekerja lebih keras, tetap tidak boleh merasa telah bekerja berlebihan. Karena ini akan menimbulkan perasaan lonely, merasa ditinggalkan dan kemudian kecewa berat terhadap keadaan. Inilah tantangan terberat memimpin dalam ekosistem voluntarism yang kental.

Lalu bagaimana kondisi manusiawi pemimpin harus diakomodir?

Bahwa marah, kecewa, burn out, hopeless dan lain-lain adalah sesuatu yang halal dalam memimpin. Kenisbian manusia sebagai makhluk dengan segala keterbatasannya, hanya ada satu tempat untuk menyelesaikannya. Tapi jangan kepada makhluk lainnya. Karena yang nisbi tidak bisa bergantung pada yang nisbi.

Nisbi harus bergantung pada yang mutlak. 

Datangi Dia, dengarkan setiap panggilan-Nya. Tumpahkan semua beban, keluh kesah, luka, kesedihan, kepedihan, semuanya. Kepada Yang Maha Mutlak. Kepada yang tidak pernah tidur dan lalai. Kepada yang tidak pernah menolak ketika didatangi.

Tidak pernah luput memberikan pengawasan dan pertolongan. Kepada yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. Ya hayyu ya qaiyum laa ilaahailla anta subhanaka ini quntum minazzhalimin. Datangi dia di penghujung malam dalam sujud pendek maupun panjang. 

Cara ini akan memungkinkan kita kembali menjadi manusia. Seorang hamba paripurna dengan karakter lengkap kemanusiaan tapi tetap menanjak menuju kesempurnaan, serta sukses tanpa membenci. Insya Allah.

Boarding GA 140 pun dimulai. Saya akan kembali ke Aceh membawa pulang prestasi ARC-USK.[]

Penulis, Kepala Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (USK)

Editor: Hendra Syahputra