OPINI: Budaya Masyarakat Aceh Kaya dengan Kenduri
Oleh: Assauti Wahid S.Hum*
Aceh merupakan wilayah yang sangat istimewa di Republik Indonesia di antara provinsi lainnya. Wilayah ini diberikan hak khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh.
Terletak di ujung Pulau Sumatra, Provinsi Aceh memiliki sumber daya alam melimpah dan juga kaya dengan budaya, adat istiadat, bahasa, kenduri-kenduri serta kuliner khas setiap-setiap kabupaten/kota-nya. Beragam budaya kenduri yang dimiliknya itu juga menyemat filosofi tersendiri.
Lihat saja dari 12 bulan dalam setahun, hampir tidak ada bulan yang tidak ada kenduri di tengah masyarakat Aceh. Nama-nama bulan Islam dalam kalender tahun Hijriah diganti nama dalam Bahasa Aceh. Penamaan setiap bulan itu juga ditandai dengan acara kenduri.
Misalnya, Bulan Muharram (bulan Asyura) yang juga disebut oleh orang Aceh Buleun Hasan-Husen (Asan-Usen, untuk mengenang peristiwa syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW dalam Perang Karbala pada 10 Muharram). Untuk memperingatinya dibuat lah kenduri bubur (ie bu kanji) di meunasah-meunasah gampong. Disini, bubur dibuat oleh kaum ibu menjelang siang, lalu dibagikan kepada penduduk setempat.
Kemudian Bulan Safar yang dikenal sebagai bulan kenduri laut (laot), atau lebih disebut dengan istilah Rabu Abeh. Di momen ini, masyarakat Aceh menyambutnya sebagai bulan kemalangan atau bulan sial. Tak sedikit juga yang menyebutnya bulan kekerasan yang mudah menyulut emosional manusia.
Karena itu, bila tak terlalu urgen, orang Aceh lazim tak menggelar hajatan apa pun di Bulan Safar.
Pada Rabu Abeh pula, biasanya ramai-ramai orang-orang mandi ke laut atau pun sungai. Tradisi ini dinamai manoe rabu habeh.
Demikian pula di Bulan Rabiul Awal (beuleun molet), Rabiul Akhir (beuleun molet teungeh) dan Jumadil Awal (beuleun molet keuneulheuh). Berturut-turun di tiga bulan ini, masyarakat Aceh kerap mengadakan kenduri besar-besaran, yaitu kenduri Maulid Nabi Muhammad SAW.
Karena kecintaan yang begitu besar kepada sosok Nabi Muhammad SAW, maka kenduri jarang diadakan ala kadar, namun harus semarak. Tentunya disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat di suatu gampong.
Misalnya di daerah yang baru saja panen hasil pertanian, begitu tiba Rabiul Awal, maka masyarakatnya pun merayakan Maulid Nabi bertepatan di paru awal bulan tersebut. Ada juga yang melaksanakan maulid di tengah bulan setelah panen, dan puncak maulid yang meriah dan besar sering diadakan pada Bulan Jumadil Awal. Masyarakat meyakini bulan tersebut pertanda kemakmuran dengan perolehan hasil panen mereka seperti sawit, coklat dan sebagainya.
Untuk Bulan Jumadil Akhir, orang Aceh menyebutnya dengan buleun kenduri boh kayee/bungong kayee . Di Aceh Selatan pada tahun 2019 silam, masyarakat menggelar kenduri bersama unsur Muspika dan masyarakat di 15 gampong secara serentak di Kecamatan Labuhan Haji.
Demikian seterusnya, saat tiba di Bulan Rajab, yang dinamai beuleun kenduri apam atau beuleun mereut (Isra' Mi'raj). Di bulan ini, masyarakat mengadakan doa dan membaca Yasin di meunasah maupun mesjid. Setelah itu, acara ditutup dengan makan kue apam (semacam kue serabi) bersama-sama.
Berikutnya, Bulan Sya’ban atau yang juga dinamai dengan buleun kanduri bu. Dalam bulan itu juga, masyarakat Aceh mengadakan kenduri untuk para arwah keluarganya. Mereka lazim menyebutnya kenduri thon.
Tiba bulan puasa (Ramadhan) bisa berlangsung beberapa kenduri. Pada paruh pertama ada kenduri dalam rangka memperingati Nuzulul Quran (17 Ramadhan) atau turunnya kitab suci Al-Quran, serta terakhir kenduri Khatam Al-Quran di paruh terakhir bulan tersebut.
Untuk kenduri di meunasah atau di masjid, warga setempat membawa hidangan untuk dimakan bersama-sama saat berbuka puasa.
Lalu masuk lah di Bulan Syawal. Umat Islam di seluruh belahan dunia merayakan Hari Raya Idul Fitri. Di bulan ini masyarakat Aceh saling bersilaturahmi dan berkunjung satu sama lain. Namun, interaksi tersebut tentu tak lepas dari acara makan-makan. Setiap tamu yang datang ke rumah warga, akan dipersilakan makan nasi atau lontong walaupun hanya sedikit.
Bulan Zulqaidah, dinamai dengan beuleun meurapet (diapit). Dalam artian, bulan tersebut diapit oleh tanggal 10 Zulhijjah yang merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah haji sekaligus Hari Raya Idul Adha.
Kenduri yang diadakan bulan tersebut sebagai rasa syukur atas segala nikmat rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Jadi lengkap lah dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dari 12 bulan dalam setahun, hampir tidak ada yang tanpa kenduri.
Itu belum termasuk kenduri-kenduri lainnya. Seperti kenduri tren u blang (pesta turun sawah) yang disebut oleh orang Aceh sebagai Kenduri Nabi Adam. Kenduri ini pertanada harapan agar hasil pertanian warga jauh dari segala hama penyakit, sehingga menghasilkan panen sebagaimana yang diharapkan.
Begitu pula juga dengan kenduri-kenduri kelahiran dan kematian. Dalam tradisi masyarakat Aceh, momen itu disertai kenduri sampai tujuh hari berturut-turut. Setelah itu juga ada lagi kenduri ke -0 hari kematian, kenduri 40 hari sampai kenduri 100 hari. Tradisi ini masih dilaksanakan sampai sekarang di daerah barat selatan Aceh, misalnya Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan lainnya.
Sekalipun ada perbedaan pendapat atau istilah (dalam bahasa agama 'khilafiyah') soal kenduri tersebut, tapi tulisan ini tidak masuk dalam wilayah itu. Tentu saja, tradisi-tradisi ini sudah mengakar rumput di lapisan masyarakat Aceh ini, dan juga diadopsi dari nilai-nilai yang terkandung dalam acara agama Islam.[]
*) Penulis merupakan peneliti di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies/ICAIOS, alumnus Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Ar-Raniry, dan juga alumnus sekolah jurnalistik Muharram Journalism College (MJC) angkatan 14.