OPINI: Kursi Pj Bupati Aceh Tengah Dihantui Kepentingan Elit Politik

Amrieza, Ketua Ikatan Pemuda Mahasiswa Gayo Bandung
Penulis:

Oleh Amrieza*

Kekosongan jabatan Kepala Daerah merupakan salah satu akibat dari pelaksanaan proyek negara dengan nama “pemilu serentak”.  Terdapat 101 Kepala Daerah yang akan berakhir masa jabatanya pada tahun 2022. Terdiri dari 7 Kepala Daerah tingkat Provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur), 76 Kepala Daerah tingkat Kabupaten (Bupati/Wakil Bupati), dan 18 Kepala Daerah tingkat Kota (Walikota/Wakil Walikota). 

Kekosongan jabatan tersebut kemudian menyebabkan diaktifkannya kembali sistem pengangkatan penjabat (Pj) Kepala Daerah melalui sistem penunjukan langsung oleh pemerintah pusat, dalam hal ini melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Salah satu kepala daerah dari 76 kepala daerah di tingkat kabupaten yang akan habis masa jabatan pada tahun 2022 ini adalah Kabupaten Aceh Tengah, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Shabela dan Firdaus akan mengakhiri masa jabatan meraka pada tanggal 27 Desember 2022 mendatang.

Menuju pada berakhirnya masa jabatan pasangan bupati wakil bupati Aceh Tengah tersebut, pemerintah pusat melalui kementerian dalam negeri memberikan petunjuk-arahan kepada lembaga dewan perwakilan rakyat kabupaten (DPRK) untuk menyiapkan nama-nama individu guna menjadi pengganti atau menjadi penjabat (Pj) kepala daerah tersebut.

Mekanisme penentuan penjabat kepala daerah yang sejak awal tidak dilaksanakan secara terbuka, demokratis, dan akuntabel tersebut, kemudian diperparah oleh latahnya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyikapi surat yang dikirim oleh lembaga kementerian dalam negeri.

Sejak awal kita lihat bahwa telah terjadi suatu kelatahan di tubuh lembaga dewan kita, ketika peluang membuat rekomendasi diberikan, mereka malah terpecah belah, saling sikut, dan berdebat tentang kepentingan politik semata, tidak ada yang membicarakan masalah perbaikan dan kepentingan Aceh Tengah selama 2 tahun kepemimpinan penjabat ke depan.

DPRK Aceh Tengah, dengan sadar, gagah dan berbangga hati menunjukan perpecahan dan fiksi-fiksi dalam gedung terhormat tersebut kepada rakyat, menunjukan sikap keserakahan dan kepentingan politik masing-masing, kemudian mengajukan nama-nama individu yang dianggap dapat menjadi rekan berbisnis politik yang baik, bukan berdasarkan pada kompetensi dan rekam jejak individu yang dicalonkan.

Satu kelompok Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) mengusulkan 3 nama, disusul kelompok lainnya yang masih merupakan anggota DPRK juga, mengusulkan 1 nama diluar nama yang diusulkan kelompok pertama. Tentu didalam keputusan tersebut tidak terdapat unsur kepentingan dan kemaslahatan masyarakat sama sekali.

Kita sedang dipaksa menonton pertarungan politik kepentingan para elit politik lokal, semua sedang berbondong-bondong mengusulkan jagoan masing, masing, dalam perjalananya, kita tidak melihat ada perspektif kepentingan rakyat yang melatarbelakangi pengusulan tersebut.

Penentuan penjabat (Pj) kepala daerah Aceh Tengah pada faktanya telah menunjukan sisi buruk dari penentuan pejabat tanpa pemilihan langsung, muatan kepentingan yang dipertontonkan semakin jelas jika dilihat dari orientasi dinamika politik hari ini, yang terjadi bukan didasari pada kepentingan rakyat, tapi dikusai oleh hasrat kekuasaan politik individu dan kelompok. Maka tidak heran jika dalam proses pergantian kekuasaan melalui Pj akan muncul politik transaksi di kalangan elit itu sendiri.

Politik transaksional itu terjadi karena ada proses politik akomodasi untuk memenuhi kepetingan segelintir orang, lobi-lobi dan konsulidasi semakin kuat untuk mengamankan selembar pengesahan untuk menjadi (Pj). Dalam proses penunjukan tersebut, pertarungan antar elit begitu alot dengan cara membayar mahar di pos-pos tertentu untuk mendapatkan kursi (Pj). Padahal mekanisme yang digunakan adalah penunjukan melalui rekomendasi dari pihak atau lembaga tertentu, akan tetapi momentum (Pj) ini malah digunakan sebagai ruang jual-beli jabatan.

Tentu saja, sangat memungkinkan terjadi perilaku politik transaksional dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah, ini perlu diawasi secara Bersama, terutama oleh para aparat penegak hukum, jangan sampai dalam proses politik yang tertutup tersebut ada perbuatan-perbuatan politik haram.

Penegak hukum atau lembaga yang berwenang dalam menertibkan proses (Pj) tersebut, perlu diawasi secara ketat untuk menghindari dari praktek-praktek yang melanggar perbuatan hukum, masyarakat juga turut berperan dalam mengawal proses penunjukan (Pj), karena akan berdampak serius bagi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan nantinya.

Sebagai mahasiswa penulis menyampaikan harapan kepada siapapun nanti yang dilantik menjadi penjabat (Pj) Bupati Aceh Tengah pada tanggal 27 Desember mendatang, agar dapat menghadirkan beberapa perbaikan dan pembangunan dalam beberapa bidang penting yang sampai hari ini masih stagnan dan cenderung buruk di Aceh Tengah.

Kita kemudian berharap pada siapapun nanti yang menjadi PJ Bupati, mampu melakukan dan menghadirkan perbaikan pada beberapa aspek penting seperti pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas Pendidikan di Aceh Tengah, dan tentu saja pengentasan kemiskinan.

Kemudian kita berharap Penjabat (PJ) yang terpilih nantinya mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) sebagai wujud legitimasi dari sistem demokrasi yang sekarang kita jalankan. Perwujudan pemerintahan yang hadir untuk kesejahteraan masyarakat terkhusus dalam hal ini adalah masyarakat Gayo kabupaten Aceh Tengah.

Efektifitas dan penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka, baik dalam segi anggaran maupun kebijakan kebijakan yang akan dikeluarkan nantinya diharapkan melibatkan keikutsertaan seluruh elemen terkait termasuk didalamnya masyarakat.

Satu hal yang saat ini cukup urgent yaitu pelayanan publik yang dirasa belum maksimal, dalam konsep clean government tentu perwujudan azaz kesetaraan dan kesamaan dalam perlakuan harus terwujud terhadap seluruh rakyat kabupaten Aceh Tengah.

“Pelayanan publik kita kedepan di tangan Pj Bupati yang terpilih nantinya, diharapkan mengalami peningkatan kualitas menuju cita-cita bersama yaitu terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik, salah satunya mungkin adalah pelayanan publik oleh pemerintah yang tidak pandang bulu dan bebas perbebedaan, masyarakat Aceh Tengah harus memiliki kesempatan, pelayanan dan hak yang sama dalam segala urusan di ruang-ruang publik, seperti rumah sakit untuk pelayanan kesehatan, dinas kependudukan dalam urusan pencatatan sipil, dan di ranah-ranah pelayanan publik lainnya.

Terakhir sebagai penutup tulisan ini, besar harapan IPMGB bahwa pemerintahan Aceh Tengah dibawah Pj nantinya, mampu mewujudkan pemerintahan yang transfaran dan jauh dari tindak laku politik yang buruk, seperti praktik-praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). 

Yang tak kalah penting adalah, semoga pemerintahan Aceh Tengah dibawah kepemimpinan Pj nantinya mampu mewujudkan konsep Good and Clear Government, jauh dari perilaku KKN, transparan dan tentu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyat.

Penulis merupakan mahasiswa di UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Mahasiswa Gayo-Bandung