Pemerintah Tolak Resolusi R2P, Ancaman Masa Depan HAM di Indonesia?
Pemerintah Indonesia dikabarkan menolak agenda pembahasan untuk mengadopsi rancangan Resolusi Responsibility to Protect and the The Prevention of Genocide, War Crimes, Ethnic Cleansing, and Crimes Against Humanity (R2P Resolution) pada Rapat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (18/5/2021) lalu.
Pemerintah RI tak sendiri mengambil keputusan tersebut. Sedikitnya 14 negara lain bersikap serupa, termasuk di antaranya Korea Utara, Rusia, China, Suriah, Kuba, Venezuela, dan Eritrea.
Sontak sikap itu ditentang banyak kalangan masyarakat sipil di Indonesia. Menanggapinya, delegasi pemerintah berkilah penolakan itu berkaitan dengan mandat pembahasan yang sebelumnya telah tertulis di dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/1 perihal World Summit Outcome 2005. Sehingga menurutnya tidak perlu lagi agenda baru yang secara khusus membahas R2P Resolution di dalam Rapat Sidang Umum PBB.
Namun, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai langkah pemerintah itu kontradiksi yang memalukan, mengingat RI pada saat yang sama juga merupakan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2020-2022.
Argumentasi soal penolakan itu, menurut ELSAM, juga mengenyampingkan fakta bahwa Resolusi 60/1 juga memberikan tanggungjawab kepada setiap negara anggota untuk mendukung PBB dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
“Termasuk menentukan langkah tindak lanjut untuk mewujudkan kapasitas peringatan dini (early warning capability) dalam melindungi dan mencegah individu dari tindakan kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” terang Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar dalam siaran pers yang diterima media, Sabtu (22/5/2021).
Kado Pahit 23 Tahun Reformasi
Lebih lanjut, Wahyudi menjelaskan, keputusan Pemerintah Indonesia juga menjadi sinyalemen buruk bagi masa depan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Ia juga menagih komitmen pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, untuk mencegah terulangnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa mendatang, serta memutus rangkaian impunitas.
Catatan ELSAM, sejak 1965-2019 terdapat setidaknya 15 kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat, yang hingga hari ini belum diselesaikan secara efektif dan menyeluruh. Di antara kasus-kasus tersebut, baru tiga kasus yang dibawa ke pengadilan (Tanjung Priok, Timor-Timur, dan Abepura). Penanganannya pun, kata Wahyudi, hasilnya mengecewakan.
“Hampir semua terdakwanya dibebaskan. Sementara itu, penyintas dan keluarganya masih terus mengalami stigma dan berbagai rentetan pelanggaran terhadap hak-hak dasar akibat peristiwa pelanggaran HAM berat yang mereka alami,” keluhnya.
Pemerintah pun dinilai keliru dengan menolak agenda pembahasan untuk mengadopsi R2P Resolution.
Menurut Wahyudi, hal ini justru menjadikan Indonesia sebagai contoh buruk, di tengah meningkatnya perhatian komunitas internasional untuk mendorong negara-negaranya dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Apalagi, saat ini Indonesia tengah berada di momen rangkaian peringatan 23 tahun peristiwa Mei 1998. Momen ini sekaligus peringatan bahwa pemerintah masih memiliki rangkaian hutang sejarah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu.
“Keputusan pemerintah seperti memberi penegasan situasi yang regresif dalam hal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia setelah 23 tahun reformasi,” tegasnya.
Berikut penekanan ELSAM kepada Pemerintah Indonesia:
- Mempertimbangkan secara seksama setiap pilihan keputusan dalam berbagai forum dan organisasi internasional maupun regional, untuk memastikan konsistensinya dengan berbagai agenda penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di dalam negeri, termasuk upaya pencegahan keberulangan, sebagai esensi penting dari komitmen terhadap kewajiban untuk melindungi (resposibility to protect).
- Mempertimbangkan kewajiban internasional (peremptory norms—jus cogens), terkait dengan upaya pencegahan kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam pembentukan legislasi di tingkat nasional, maupun pilihan kebijakan dan tindakan yang diambil, terutama yang terkait dengan penyelesaian konflik.
- Segera mengagendakan pengesahan terhadap Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa, dan pengesahan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, sebagai rangkaian dari pelaksanaan responsibility to protect dan upaya mencegah keberulangan.
- Mengambil langkah-langkah proaktif, tepat, dan strategis dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat, dengan berbagai mekanisme, termasuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
- Segera menindaklanjuti proses pengungkapan kebenaran mengenai peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu, dan mengambil langkah-langkah tindak lanjut untuk memenuhi hak korban dan keluarganya atas pemulihan yang menyeluruh.[]