Peran Distorsi Kognitif dalam Keputusan Bunuh Diri

Ilustrasi bunuh diri. (Foto: Dok. Halodoc)
Penulis:

Oleh : Sharshara Atiya Yury*

Dalam April 2025 ini, terdapat dua kasus kejadian perempuan melakukan bunuh diri di Banda Aceh, yaitu pada Sabtu, 11 April dan Minggu, 12 April 2025. 

Kasus dugaan bunuh diri yang pertama terjadi di Darussalam, Kota Banda Aceh yaitu ISJ (19) seorang mahasiswi asal Aceh Barat Daya atau Abdya. Sementara MSS (26) merupakan warga gampong di Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh.  

Dari kedua kasus tersebut, banyak pihak bertanya-tanya, apa yang sebenarnya bisa mendorong seseorang untuk sampai pada keputusan tragis? Salah satu jawaban yang dapat dilihat dari kacamata psikologi ialah individu mengalami tekanan psikologis sering kali memiliki distorsi kognitif. 

Distorsi kognitif ialah pola pikir yang salah atau tidak nyata, namun pikiran tersebut terasa nyata bagi orang yang mengalaminya. Misalnya, seseorang yang merasa bahwa dirinya tidak berharga, gagal, tidak ada harapan, atau menjadi beban bagi orang lain, padahal kenyataan dari hal tersebut belum tentu begitu.  

Pola pikir seperti ini kemudian dapat memperkuat perasaan putus asa dan meningkatkan resiko bunuh diri. Pada kasus dugaan bunuh diri yang terjadi pada ISJ (19) dan MSS (26) di atas, tentu kita tidak mengetahui pasti apa isi pikiran terakhir mereka.  

Namun berdasarkan kasus–kasus yang terjadi sebelumnya baik di Aceh maupun di luar Aceh, pola umum yang biasanya di temukan dalam kasus serupa seperti ini, distorsi kognitif kemungkinan besar memainkan peran dalam keputusan mereka. 

Beberapa jenis distorsi kognitif yang sangat umum di temukan pada kasus bunuh diri biasanya individu mengambil kesimpulan umum dari satu kejadian buruk, misalnya “aku gagal dalam ujian ini, pasti aku bakal gagal lagi”.  

Selanjutnya ada inidividu yang selalu membayangkan hasil terburuk dari suatu situasi, misalnya “kalau aku cerita, pasti mereka bakal omongin”.  

Lalu ada juga individu yang menyaring hal negatif, yang dimana individu hanya fokus pada hal negatif dan mengabaikan hal positif, misalnya ketika ia berhasil mengerjakan soal quiz namun ia malah berpikir “semua orang juga bisa ngerjain, biasa aja”.  

Hal – hal tersebut lah yang membuat individu berpikir ia tidak pantas untuk hidup lalu akhirnya membuat keputusan untuk bunuh diri.   

Distorsi kognitif bukan hanya “pikiran buruk biasa” jika terus dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Pikiran ini akan menciptakan kenyataan yang palsu dalam pikiran seseorang. Jika tidak ditangani maka hal tersebut akan berkembang menjadi ide untuk mengakhiri hidup. 

Distorsi kognitif bukan hanya muncul sesekali namun berkali – kali dan bisa menjadi pola pikir yang terus-menerus menghantui seseorang setiap hari. Misalnya, seseorang yang awalnya hanya merasa gagal karena satu kejadian, lama-lama bisa mulai melihat seluruh hidupnya sebagai kegagalan.  

Lama-kelamaan, cara pandang ini menutupi kenyataan yang sebenarnya lebih luas dan lebih kompleks. Ia mulai percaya bahwa dirinya tidak ada gunanya, bahwa ia menjadi beban, atau bahwa kehadirannya justru menyulitkan orang lain. Di titik ini, distorsi kognitif tidak hanya memengaruhi cara berpikir, tapi juga perasaan dan akhirnya perilaku. 

Dalam hal ini langkah awal untuk mencegah ide untuk mengakhiri hidup di mulai dari diri sendiri, yang dimana harus memiliki kesadaran diri terhadap pola pikir diri sendiri dan membuang pikiran negatif.  

Belajar untuk membedakan pikiran negatif dan fakta, “hidup ku tidak berharga” itu bukan fakta namun itu adalah pikiran yang bisa di kaji ulang. Jika distorsi kognitif dalam bepikiran negatif terus terjadi segeralah untuk meminta bantuan profesional seperti psikolog, psikiater, dan konselor.  

Mencari bantuan profesional bukan tanda kelemahan, melaikan tanda akan mencintai diri sendiri untuk keluar dari jeratan pikiran negatif yang melukai jiwa. Selain bantuan dari profesional, peran orang-orang sekitar juga sangat penting dalam membantu seseorang yang sedang terjebak dalam cara pikir negatif. 

 Tidak semua orang mampu menyadari bahwa pikirannya sedang keliru. Dalam kondisi seperti itu, dukungan dari orang terdekat bisa menjadi penyelamat yang tidak disadari. 

Kita bisa mulai dengan hal sederhana, seperti hadir dan mendengarkan tanpa menghakimi. Kalimat-kalimat seperti “kamu terlalu sensitif” atau “ah, itu cuma di pikiranmu aja” bisa membuat seseorang merasa makin buruk.  

Sebaliknya, ucapan seperti “aku di sini kalau kamu butuh teman cerita” atau “nggak apa-apa kalau kamu merasa lelah” bisa memberikan rasa aman dan dukungan emosional yang besar.  

Selain itu, bantu mereka melihat kembali hal-hal positif yang pernah mereka capai. Saat seseorang tenggelam dalam distorsi kognitif, mereka cenderung lupa pada semua hal baik yang pernah mereka lakukan.  

Kita bisa mengingatkan mereka secara perlahan, misalnya, “Ingat waktu kamu berhasil bantu temanmu? Itu bukti kamu berharga.” Kalimat seperti ini membantu mereka membentuk kembali cara pandangnya terhadap diri sendiri. Mengajak mereka melakukan aktivitas sederhana yang mereka sukai juga bisa membantu.  

Aktivitas ringan seperti jalan-jalan, menonton film, atau sekadar ngobrol santai bisa menjadi jalan keluar sementara dari beban pikiran yang berat. Yang terpenting adalah memberi mereka ruang untuk merasa diterima, tidak sendiri, dan tetap punya harapan. 

Distorsi kognitif adalah musuh dalam pikiran yang sering kali tidak terlihat, tapi dampaknya sangat nyata. Ia bisa mengubah cara seseorang melihat dunia, orang lain, dan dirinya sendiri.

Ketika dibiarkan, distorsi ini bisa menuntun seseorang pada keputusan yang tragis. Tapi dengan kesadaran diri, bantuan profesional, dan dukungan dari lingkungan sekitar, pikiran-pikiran keliru ini bisa dilawan dan perlahan dipulihkan.  

Mencari bantuan bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa kita peduli pada diri sendiri. Dan membantu orang lain keluar dari jerat pikiran negatif adalah salah satu bentuk kasih sayang yang paling nyata.

Kita tidak perlu menjadi ahli untuk menolong—cukup hadir, mendengarkan, dan memberi ruang yang aman bisa menjadi langkah awal yang menyelamatkan. 

*Penulis merupakan Mahasiswi Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Editor: Herman Muhammad