Persoalan Limbah Medis Selama Pandemi

Petugas kesehatan memakai APD mengumpulkan limbah medis di ruang perawatan pasien COVID-19 di RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/6/2021). (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc)
Penulis:

Masyarakat Indonesia umumnya belum memiliki kesadaran untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya. Sampah biasanya dikumpulkan dalam kantong plastik, lalu dibuang di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau tempat pembuangan publik yang disediakan oleh pemerintah.

Syukur-syukur masyarakat membuang sampah di tempat yang telah disediakan dan ini sudah tergolong bagus. Karena tak sedikit juga ada yang membuat sampah di selokan, sungai atau tempat lain yang bukan tempat sampah.

Kebiasaan membuang sampah sesuai dengan jenisnya, belum menjadi tradisi di masyarakat Indonesia. Padahal di ruang publik kerap ditemukan perbedaan warna tempat sampah. Seperti hijau (organik), kuning (bisa didaur ulang), dan merah (non hijau dan kuning), namun belum menjadi kebiasaan masyarakat untuk memilah berdasarkan jenis sampah.

Kebiasaan buruk ini semakin diperparah selama pandemi Covid-19 melanda dunia hingga Indonesia. Kala pergerakan masyarakat dibatasi, semua diminta tetap berada di rumah dan bahkan ada yang bekerja dari rumah untuk menghindari terpapar virus corona.

Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada April-Mei 2020 menunjukkan, volume sampah plastik justru mengalami peningkatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah pembungkus plastik dari transaksi belanja daring.

"Transaksi belanja daring naik menjadi 1-10 kali per bulan. Transaksi berbentuk paket meningkat 62 persen, sedangkan layanan antar makanan naik 47 persen,” papar Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ujang Solihin Sidik dikutip dari Tirto.id.

Belum lagi rampung mengurus sampah umum dan domestik, terutama plastik selama pagebluk Covid-19.  Kondisi sampah semakin memburuk dengan penambahan limbah medis atau limbah B3 medis selama pandemi. Bila tidak dikelola dengan baik, ini menjadi ancaman bencana baru yang berakibat fatal terhadap kesehatan masyarakat.

Berdasarkan data Menteri LHK bahwa limbah medis Covid-19 hingga tanggal 27 Juli 2021 mencapai total 18.460 ton, yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit darurat, wisma tempat isolasi dan karantina mandiri, uji deteksi, maupun vaksinasi.

Limbah medis tersebut terdiri atas infus bekas, masker, vial vaksin, jarum suntik, face shield, perban, hazmat, APD, pakaian medis, sarung tangan, alat PCR Antigen, hingga alkohol pembersih swab.

Deputi Bidang Ilmu Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono menjelaskan bahwa limbah medis merupakan jenis limbah infeksius yang perlu penanganan khusus untuk mengurangi resiko penularan penyakit dan pencemaran lingkungan.

“Selain dari APD harian, limbah infeksius juga dapat berasal dari rumah tangga yang terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP). Perlu pengelolaan dengan standar tertentu agar tidak menimbulkan permasalahan baru,” ujar Agus.

Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI, Ajeng Arum Sari mengungkapkan limbah infekius fasillitas pelayanan kesehatan harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari setelah dihasilkan.

“Limbah ini setelah disimpan harus dimusnahkan dengan fasilitas insinerator dengan suhu pembakaran 800 derajat celcius. Selain itu, limbah infeksius juga dapat dimusnahkan dengan cara diautoklaf yang dilengkapi dengan pencacah” ujar Ajeng.

Sampah medis, terutama limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis Covid-19

 lazimnya bersumber dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Namun selama pagebluk Covid-19, rumah tangga pun menghasilkan limbah medis. Seperti masker sekali pakai hingga sarung tangan medis atau lateks serta hazmat.

Alasan masyarakat memilih masker medis atau bedah sekali pakai, berdasarkan studi efektivitas untuk menyaring partikel bisa mencapai 90 persen, sementara masker kain tiga lapis 70 persen.

Sehingga dianggap masker bedah lebih efektif dalam menangkal virus di tengah pagebluk. Dampaknya limbah medis selama ini berasal dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Selama pndemi limbah ini juga berasal dari rumah tangga. Terlebih saat ini pemerintah mewajibkan penggunaan masker saat berada di ruang publik.

Sementara itu Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung, mengatakan bahwa selain berdampak kepada lingkungan, limbah medis berbahan plastik yang belum didisinfeksi berisiko membantu penyebaran infeksi.

"Justru malah ketika dibuang jadi malah meningkatkan risiko dia menularkan penyakit, jadi medium, karena di plastik virusnya lebih lama bertahan,” tutur Sawung dikutip dari dw.com/id.

Senada dengan Sawung, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum juga mengungkapkan bahwa virus SARS-CoV-2 dapat bertahan dalam waktu yang lama pada permukaan benda. Lamanya virus bertahan hidup tergantung kepada jenis material permukaan benda.

"Masker bedah di bagian dalam itu ternyata (bertahan) tujuh hari dan di bagian luarnya ternyata lebih dari tujuh hari stabilitas virusnya. Setelah tujuh hari dia masih aktif,” ungkap Ratih.

"Sementara kalau stabilitas alat pelindung diri itu ternyata jauh lebih tinggi. Masker N95 bisa sampai 21 hari,” lanjutnya.

Virus SARS-CoV-2 yang menempel pada masker dan APD yang lain, menurut Ratih, bisa diinaktivasi melalui beberapa proses sederhana, antara lain memanaskan masker atau APD pada suhu 70 derajat Celsius selama lima menit atau merendamnya dalam larutan disinfektan selama lima menit.

Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk memberikan perhatian kepada pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis Covid-19 secara sistematis. Presiden juga meminta agar dana yang tersedia diintensifkan untuk membuat sarana pengolahan limbah medis yang jumlahnya meningkat selama pandemi Covid-19.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam keterangan pers secara virtual usai mengikuti rapat terbatas tentang pengelolaan limbah B3 medis Covid-19 yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo melalui konferensi video pada Rabu, 28 Juli 2021.

“Dana yang diproyeksikan untuk diolah sebesar Rp1,3 triliun, yang diminta Presiden untuk di-exercise untuk membuat sarana-sarana insinerator dan sebagainya,” ujar Menteri LHK.

Berdasarkan data yang masuk, Menteri LHK menjabarkan bahwa limbah medis Covid-19 hingga tanggal 27 Juli 2021 mencapai total 18.460 ton, yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit darurat, wisma tempat isolasi dan karantina mandiri, uji deteksi, maupun vaksinasi.

Limbah medis tersebut terdiri atas infus bekas, masker, vial vaksin, jarum suntik, face shield, perban, hazmat, APD, pakaian medis, sarung tangan, alat PCR Antigen, hingga alkohol pembersih swab.

Menurut Menteri LHK, data jumlah limbah tersebut belum menggambarkan jumlah limbah medis B3 yang sesungguhnya. Perkiraan asosiasi rumah sakit, limbah medis mencapai 383 ton per hari. Adapun kapasitas fasilitas pengolah limbah B3 medis itu sebesar 493 ton per hari. Meskipun di atas kertas mencukupi, tetapi sebaran tempat pengolah limbah tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa.

“Jadi arahan Bapak Presiden tadi, supaya semua instrumen pengelolaan limbah medis untuk menghancurkan limbah medis yang infeksius harus kita selesaikan,” jelas Menteri LHK.

Jumlah limbah medis B3 selama pandemi Covid-19 sendiri mengalami peningkatan cukup signifikan. Menteri LHK mencatat, peningkatan terjadi di beberapa provinsi selama periode 9 Maret 2020 hingga tanggal 27 Juli 2021.

Di Jawa Barat, dalam rentang waktu tersebut limbah B3 medis meningkat dari 74,03 ton pada 9 Maret 2020, menjadi 836,975 ton pada 27 Juli 2021. Di Jawa Tengah, dari 122,82 ton meningkat menjadi 502,401 ton.

Di Jawa Timur, dari 509,16 ton menjadi 629,497 ton. Di Banten, dari 228,06 ton menjadi 591,79 ton. Sementara di DKI Jakarta, dari 7.496,56 ton menjadi 10.939,053 ton.

“Harapannya, pemerintah daerah jangan lengah soal limbah medis ini. Ikuti perkembangan di lapangannya, sarana-sarananya,” ujar Menteri LHK.

Menteri LHK juga menjelaskan bahwa pihaknya telah bersurat kepada pemerintah daerah yang isinya menegaskan bahwa limbah medis Covid-19 tidak boleh dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Jika hal itu terjadi, lanjut Menteri LHK, maka pemerintah daerah bisa mendapat sanksi.

“Oleh karena itu, kami minta pemerintah daerah untuk berhati-hati dan menaati soal ini,” tandasnya.

Penambahan jumlah dan volume limbah khususnya limbah medis yang semakin meningkat belum diimbangi dengan kapasitas pengolahan limbah yang memadai. Untuk itu, pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya untuk memanfaatkan teknologi pengolah limbah dan teknologi daur ulang untuk memenuhi peningkatan kebutuhan pengolahan limbah tersebut.

“Ada beberapa teknologi yang sudah proven yang dikembangkan oleh teman-teman kita untuk membantu peningkatan jumlah kapasitas pengolahan limbah ini secara signifikan. Khususnya adalah teknologi yang bisa dipakai untuk pengolahan limbah di skala yang lebih kecil dan sifatnya mobile,” kata Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko.

Menurut Kepala BRIN, penggunaan teknologi tersebut diharapkan bisa menjangkau daerah-daerah yang memiliki penduduk relatif sedikit dengan skala limbah yang juga tidak banyak. Selain itu, teknologi itu juga diyakini lebih hemat dibandingkan membuat insinerator terpusat dalam skala besar.

“Kalau kita harus membangun insinerator besar itu tentu akan jauh lebih mahal dan juga menimbulkan masalah terkait dengan pengumpulan, karena pengumpulan dari limbah ke insinerator yang terpusat juga menimbulkan biaya tersendiri,” imbuhnya.

Selain itu, Kepala BRIN juga mengusulkan teknologi daur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah secara ekonomi. Cara ini diyakini akan meningkatkan kepatuhan fasilitas kesehatan yang menghasilkan limbah karena ada insentif finansial dari bisnis daur ulang tersebut. Selain itu, juga berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah secara keseluruhan.

“Tadi kami menyampaikan contoh itu adalah alat penghancur jarum suntik yang bisa menghasilkan residu berupa stainless steel murni, dan juga daur ulang untuk APD (alat pelindung diri) dan masker yang bahannya adalah polypropylene, sehingga kita bisa peroleh propylene murni (PP), jenis plastik propylene murni yang nilai ekonominya juga cukup tinggi,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Kepala BRIN juga mengungkapkan bahwa saat ini sarana pengelolaan limbah medis tidak sebanding dengan penambahan volume limbah medis yang semakin meningkat. Misalnya, saat ini baru 4,1 persen dari seluruh rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas insinerator yang berizin.

“Kemudian juga di seluruh indonesia baru ada 20 pelaku usaha pengelolaan limbah dan yang terpenting adalah—seperti yang disampaikan Ibu Menteri LHK—hampir semuanya masih terpusat di Pulau Jawa. Jadi distribusinya belum merata,” jelasnya.

Kepala BRIN berharap inovasi teknologi ini dapat meningkatkan motivasi untuk mengumpulkan dan mengolah limbah, meningkatkan kepatuhan, dan menciptakan potensi bisnis baru bagi para pelaku usaha skala kecil.[acl]