Perusahaan Sawit NYB di Aceh Mulai Masuk ke KEL Abaikan Moratorium
Sebuah tim investigasi lapangan Rainforest Action Network (RAN) menemukan aktivitas penebangan hutan masih terus terjadi dalam konsesi di Provinsi Aceh.
PT. Nia Yulided Bersaudara (PT. NYB) mulai merambah hutan ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Timur dan telah mengabaikan instruksi moratorium sawit pemerintah.
Data satelit dan investigasi lapangan RAN yang terdokumentasikan pada Desember 2020 hingga Februari 2021 menunjukkan bahwa perusahaan ini masih terus melakukan aktivitas penebangan.
Ini menjadikan PT.NYB sebagai salah satu perusahaan kelapa sawit paling kontroversial di Aceh, karena telah merusak setidaknya 595 hektar hutan di dalam areal konsesinya sejak April 2016, ketika moratorium dideklarasikan bersama oleh Menteri KLHK dengan Gubernur Aceh.
Juru bicara RAN, Gemma Tillack, dalam rilisnya menyatakan, Pemerintah Aceh dan perusahaan pembeli minyak sawit perlu melakukan intervensi agar moratorium atas pembukaan hutan untuk kelapa sawit bisa efektif menghentikan penebangan dan pembukaan jalan oleh semua konsesi yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dimulai dengan PT. Nia Yulided Bersaudara.
“Selama 5 tahun PT. Nia Yulided Bersaudara mengabaikan instruksi untuk menghentikan perusakan hutan," kata Gemma dikutip dari SariAgri.ID, Kamis (18/3/2021).
Ketidakpatuhan terhadap moratorium, sebutnya, harus ditindaklanjuti dengan penyelidikan menyeluruh atas praktiknya, termasuk adanya potensi konflik kepentingan seputar penerbitan izin oleh mantan Penjabat Gubernur Aceh Tarmizi Abdul Karim sebagai bagian dari review izin atas konsesi kelapa sawit yang saat ini sedang berlangsung di Aceh Timur.
Dari data perseroan terbatas PT. Nia Yulided Bersaudara menyatakan Dedy Sartika, menantu mantan Pj. Gubernur Aceh Tarmizi Abdul Karim, selaku Direktur Utama.
Pada tahun 2012, saat Tarmizi diangkat sebagai Pj. Gubernur Aceh, PT. NYB mengirimkan surat permohonan izin usaha perkebunan kepada BPKEL (Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser).
Namun, BPKEL menolak memberikan izin tersebut karena lokasi perkebunan berada di Kawasan Ekosistem Leuser. BPKEL kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Aceh pada bulan Oktober 2012 sehingga izin diberikan kemudian, pertama oleh Tarmizi Abdul Karim, disusul oleh Zaini Abdullah.
Persetujuan atas izin yang kontroversial oleh penjabat gubernur untuk kepentingan anggota keluarganya menimbulkan potensi konflik kepentingan yang kuat dan menimbulkan kecurigaan akan adanya korupsi, yang menurut RAN perlu diselidiki lebih lanjut.
Gubernur Zaini Abdullah, memperkuat keputusan izin Tarmizi Karim kepada PT. NYB pada tahun 2014 dengan menerbitkan izin usaha perkebunan budidaya.
Sejak itu PT. NYB telah menebang, membuka jalan dan mendorong kerusakan hutan di dalam konsesinya. Ini menjadikan habitat gajah Sumatera yang terancam punah semakin terdesak menuju kepunahan dan mengabaikan fungsi Kawasan Ekosistem Leuser yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional oleh Peraturan Pemerintah.
Bisa jadi PT. NYB merupakan salah satu contoh dari sekian banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit kontroversial yang rawan korupsi.
Bahkan studi yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan korupsi dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit kerap melibatkan kepala daerah.
Lebih lanjut, Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan potensi kerugian keuangan negara akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan dan Aceh dapat menelan biaya sebesar Rp 177 miliar.
Menurut Rainforest Action Network (RAN), kasus PT. NYB menjadi dorongan kuat agar izin perusahaan ditinjau dan dicabut, tindakan ini tidak hanya akan menghentikan perusakan Kawasan Ekosistem Leuser, tetapi juga menjadi salah satu langkah transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan kelapa sawit di Aceh, dan sekitarnya.
Bahkan hal ini harus dilakukan sebagai usaha agar sektor kelapa sawit terhindar dari korupsi dan konflik kepentingan yang memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu, dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas yang terus mengalami dampak bencana akibat deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan minyak sawit kontroversial.
RAN juga akan terus menyerukan kepada perusahaan merek-merek besar dunia yang terpapar suplai minyak sawit bermasalah dari produsen yang menghancurkan hutan hujan di Kawasan Ekosistem Leuser seperti Ferrero, Mars dan Mondelēz agar secara efektif memantau dan menanggapi deforestasi di seluruh kawasan ini.
Dan mengambil tindakan untuk memastikan agar pemasok minyak sawit yang ada saat ini maupun potensial di masa depan tidak menebang atau menghentikan pembukaan hutan hujan untuk pembangunan perkebunan baru.[]