Potret Suram Indeks Demokrasi Aceh

Penulis:

Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala (USK) dinyatakan bebas setelah mendapatkan pengampunan dari Presiden Joko Widodo dan dinyatakan bebas pada Rabu (13/10/2021).

Dia dibui karena terjerat kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah mengkritik hasil tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018, untuk dosen Fakultas Teknik (FT) USK.

Kritikan itu disampaikannya dalam grup WhatsApp, ‘Unsyiah KITA’ yang beranggotakan akademisi di kampus berjulukan Jantong Hatee Rakyat Aceh tersebut, pada Maret 2019.

Tidak terima dengan apa yang disampaikan oleh dosen Jurusan Statistika FMIPA dalam tulisan itu, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah saat itu, Taufik Saidi, kemudian melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh kemudian memvonis bersalah Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta pada April 2021 lalu. Merasa tidak bersalah atas tindakannya tersebut, dosen USK itu lalu mengajukan banding hingga Mahkamah Agung, namun hasilnya tetap sama.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Dr. Herlambang P. Wiratraman menyebutkan, kritikan yang dilakukan Saiful Mahdi merupakan hak konstitusional. Dengan perspektif human rights based constitutionalism, maka jelas bahwa upaya menyampaikan gagasan, pendapat, dan respon melalui kritik merupakan bentuk kebebasan yang dilindungi dalam konstitusi, atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Saksi ahli dalam kasus Saiful Mahdi ini juga menyebutkan, kritik merupakan bagian tak terpisahkan dengan sejumlah kebebasan, tidak terkecuali kebebasan ekspresi maupun kebebasan pendapat. 

Secara hukum, kritik sebagai kebebasan tentu tidaklah tak terbatas. Batasan kritik dalam kerangka hukum diatur dalam kerangka hukum hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan konsep pembatasan hak/kebebasan (derogable/derogation rights).

Saiful Mahdi saat ini sudah bisa menghirup udara bebas, setelah mendapat pengampunan dari presiden. Namun ini merupakan salah satu potret suram demokratisasi dan kebebasan perpendapat di Aceh.

Padahal sebelumnya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Aceh sejak 2013 mengalami peningkatan, kendati mengalami pasang surut. Tetapi sudah menunjukkan angka yang baik. 

Namun pada 2020 IDI Provinsi Aceh turun menjadi 73.93 dalam skala indeks 0 sampai 100, dibandingkan dengan 2019 yang capaiannya sebesar 78,00. Meskipun mengalami penurunan, tingkat demokrasi Provinsi Aceh  masih termasuk dalam kategori “sedang”. 

Kepala BPS Aceh, Ihsanurijal menjelaskan dalam laporan IDI Provinsi Aceh, fluktuasi angka IDI adalah cerminan situasi dinamika demokrasi di Provinsi Aceh. IDI sebagai sebuah alat ukur perkembangan demokrasi yang khas memang dirancang untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi. 

"IDI disusun secara cermat berdasarkan kejadian (evidence-based) sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi realitas yang terjadi," tulisnya di laporan tersebut.

Pada 2020 semua aspek angka IDI mengalami penurunan dibandingkan 2019. Nilai indeks dari aspek kebebasan sipil merupakan yang tertinggi dibanding dua aspek lainnya. Sedangkan aspek hak-hak politik merupakan aspek yang nilai indeksnya rendah.

Pada tiga aspek demokrasi yang diukur pada tahun 2020, indeks aspek Kebebasan Sipil mengalami penurunan sebesar 8,79 poin dibandingkan tahun 2019. Sementara itu, nilai indeks aspek Hak-Hak Politik turun 0,28 poin dan Lembaga Demokrasi turun sebesar 4,17 poin.

Serupa dengan tahun 2019, pada tahun 2020 tidak ada lagi indeks aspek yang berkategori “buruk”. Indeks aspek Hak-Hak Politik dan Lembaga Demokrasi tetap pada kategori “sedang”, sementara aspek Kebebasan Sipil tetap berada pada kategori “baik”.

Bila ditinjau berdasarkan variabel IDI Aceh selama dua tahun terakhir, yaitu 2019-2020 mayoritas mengalami penurunan indeks demokrasi di Serambi Mekkah.

Kebebasan kebebasan berpendapat misalnya, pada 2019 berada pada angka 89.59 turun menjadi 59.00 pada 2020, mengalami penurunan 30.59 poin. Begitu juga kebebasan berkeyakinan juga mengalami penurunan sebelumnya pada 2019 90.49 turun menjadi 81.38, turun 9.11 poin. 

Kendati demikian, Kepala BPS Aceh dalam laporan tersebut  menjelaskan capaian kinerja demokrasi Provinsi Aceh masih berada pada kategori sedang. Klasifikasi tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60 – 80), dan “buruk” (indeks < 60).

Perubahan angka IDI Provinsi Aceh dari 2019-2020 dipengaruhi oleh tiga aspek demokrasi yakni (1) Kebebasan Sipil yang turun 8,79 poin (dari 93,28 menjadi 84,49), (2) Hak-Hak Politik turun 0,28 poin (dari 65,22 menjadi 64,94), dan (3) Lembaga Demokrasi yang turun 4,17 poin (dari 79,08 menjadi 74,91).[acl]