Ratoh Jaroe di Panggung Dunia, Terlupakan di Rumah Sendiri

Asyraful Anam, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. (Foto: Dok Asyraful Anam)
Penulis:

Oleh: Asyraful Anam*

Baru–baru ini, publik dibuat kagum dan takjub dengan sebuah video berdurasi pendek bertajuk Ratoh Jaroe, yang di tampilkan dalam kampanye global “Shot On Iphone” oleh Apple. Karya ini disutradarai oleh Agung Pambudi (@agungpambudi_), dengan musik oleh Kasimyn (@kasimyn), koreografi oleh Bang Dek Gam (@king_of_ratoh_jaroe), serta fotografi oleh Mas Gatut (@toet_barra). 

Melalui visual sinematik yang elegan dan gerak kompak para penari perempuan, video ini menampilkan keindahan budaya Aceh dalam balutan teknologi Mutakhir. Ini bukan sekedar konten promosi, melainkan bentuk pengakuan internasional terhadap kekayaan budaya lokal yang selama ini tumbuh di tanah Aceh, tanah serambi mekkah. Video ini menjadi bagian dari kampanye global “Shot on iPhone” oleh Apple mengangkat budaya Aceh ke panggung dunia melalui medium digital kelas atas. 

Video tersebut menimbulkan kebanggaan tersendiri yang muncul dalam masyarakat Aceh dan membuat Aceh dilirik oleh berbagai netizen dunia. Seperti komentar salah satu akun Instagram yang menyatakan, “Begitu mendunia tari Ratoh Jaroe Aceh. Terima kasih Apple”, hal ini memunculkan perasaan bangga dari berbagai kalangan masyarakat Aceh. Namun, di balik gemerlap tampilan visual tersebut, menimbulkan pertanyaan yang membuat masyarakat Aceh dan pemerintahan Aceh bertanya bagaimana nasib ratoh jaroe di daerah asalnya? 

Bedasarkan observasi di lapangan jauh dari realitas, mayoritas di daerah Aceh sendiri, seni seperti Ratoh Jaroe justru mengalami kemunduran dan bahkan tidak sedikit gampong yang tidak memiliki tempat latihan seni.

Banyak sekolah tidak lagi mengajarkan tari tradisional sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kebudayaan yang dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam proses kemajuan kebudayaan yang ada di Aceh seiring dengan perkembangan teknologi. 

Perkembangan teknologi yang sangat pesat dapat membuat anak-anak muda Aceh lupa dengan identitas aslinya dan bahkan lebih akrab dengan joget budaya barat TikTok daripada gerak disiplin Ratoh Jaroe yang memiliki sarat makna religius dan kolektifitas. Hal ini sangat merugikan masyarakat Aceh. 

Ini bukan semata masalah minat generasi muda. Ini soal absennya kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah. Pemerintah Aceh seolah hanya ikut bangga ketika budaya lokal dipuja-puji oleh dunia luar, tetapi tak pernah benar-benar hadir dalam proses pembinaan dan pelestariannya. 

Bayangkan, sebuah perusahaan teknologi multinasional seperti Apple bisa menampilkan Ratoh Jaroe dengan penuh penghormatan dan estetika, sementara pemerintah Aceh justru gagal menyediakan panggung yang layak untuk budaya itu tumbuh di rumah sendiri. 

Tak ada program inkubasi seni di desa-desa, tak ada anggaran rutin untuk pelatihan tari tradisi, bahkan tak ada roadmap jangka panjang untuk pelestarian budaya berbasis komunitas yang membuat kemungkinan masyarakat Aceh akan lupa tentang identitas budaya aslinya. 

Jangan sampai masyarakat Aceh hanya menjadi penonton dalam proses kemajuan budaya kita sendiri yang telah ditampilkan oleh orang asing, tetapi tak lagi dimiliki oleh masyrakat pribumi yang lahir dan besar bersama budaya.

Ratoh Jaroe, harus memiliki penerus dari masyarakat asli Aceh yang membuat Ratoh Jaroe tidak kehilangan ciri khas dan keunikkan tarian tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnya Pemerintah Aceh bangun, dan tidak hanya diam dan menumpang bangga pada video-video viral yang diunggah oleh akun Instagram asing.

Pemerintah Aceh tidak boleh menutup mata terkait hal ini dan harus menyadari serta mengakui bahwa tarian Ratoh Jaroe adalah warisan budaya yang tidak boleh hilang dari masyarakat Aceh. 

Selama ini, pemerintah Aceh hanya menjadikan budaya yang ada di Aceh sebagai simbol kebanggaan seremonial belaka, tanpa menyiapkan pewaris kebudayaan.

Contohnya Ratoh Jaroe, yang mana warisan budaya tarian ini hanya dijadikan suatu alat promosi belaka tanpa memiliki kebijakan yang pasti dan tetap.

Pemerintah Aceh harus membuat kebijakan nyata yang dapat membangun serta meningkatkan literasi kebudayaan dan membuat ruang-ruang latihan di tiap kecamatan. Menghidupkan kembali ekstrakurikuler budaya yang telah lama mati di dunia pendidikan, memberikan insentif bagi komunitas yang masih setia melestarikan kesenian tradisional Aceh dengan penuh dedikasi, serta memberikan ruang pertunjukan secara berkala yang menjadi ruang ekspresi para penari Rato Jaroe di Aceh. 

Bahkan dengan kebijakan tersebut pemerintah Aceh dapat membanggakan narasi, “Aceh kaya budaya” di panggung internasional. Hal ini tidak hanya menarik perhatian turis yang sedang berwisata di Aceh namun akan membuat kebanggaan tersendiri jika masyarakat lokal Aceh mengetahui makna yang tersirat dalam kebudayaan tersebut.

Jika Tari Ratoh Jaroe dibiarkan hilang atau bahkan hanya menjadi sebuah tarian festival atau lomba antar sekolah tanpa mengetahui makna filosofi yang tersirat, maka budaya ini akan kehilangan jati dirinya.

Bahkan, tak menutup kemungkinan generasi mendatang hanya mengenalnya sebagai arsip digital indah untuk dinikmati, tapi hampa karena tak lagi hidup di dalam hati masyarakat Aceh.[]

* Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: @asyrafulanam016@gmail.com)

Editor: Herman Muhammad