Sumang Gayo, Budaya di Aceh Tengah Mengatur Adab Pria dan Wanita

Elicia Eprianda, Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Penulis:

Indonesia adalah negara kepulauan yang terhampar luas dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai macam suku bangsa, budaya serta agama yang tersebar di seluruh Tanah Air seperti suku Aceh, Gayo, Jawa, Ambon, Sunda, Betawi dan masih banyak lagi.

Masing-masing keanekaragaman suku bangsa tersebut mempunyai budaya lokal yang berbeda, serta keunikan tertentu baik dalam adat istiadat, bahasa daerah, kebiasaan dan juga berbagai hal lain yang memperkaya negari ini.

Manusia di manapun berada sangat berhubungan erat dengan adat dan budayanya. Manusia memanifestasikan budaya, lalu budaya itu juga yang membentuk kepribadian manusia itu sendiri.

Kebudayaan menduduki posisi sentral dalam seluruh tatanan kehidupan manusia. Seluruh sarana hidup manusia dan masyarakat berjalan di atas landasan kebudayaan tersebut.

Salah satu daerah yang memegang kuat adat istiadat dan budaya itu ialah terdapat di Provinsi Aceh tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya. Penduduk di wilayah Aceh Tengah ini ialah masyarakat yang bersuku Gayo. Masyarakat Gayo merupakan suatu suku yang terletak di wilayah Sumatera, khususnya Aceh di bagian tengah.

Masyarakat Aceh Tengah terkenal dengan ketaatannya dalam agama dan sangat menjunjung tinggi budaya serta adat-istiadatnya. Sebelum Islam memasuki Aceh, dominasi Hindu dan Budha sudah menyatu kuat dalam tradisi maupun kepercayaan masyarakat.

Sehingga, meskipun Islam sudah maju di Aceh, tetap terdapat bermacam budaya dan juga kepercayaan tradasional yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa nilai syariat menjadi penegak atau pedoman utama yang terus dikembangkan. Keragaman etnik dan juga suku di Aceh menciptakan pluralitas adat yang berlaku di daerah tersebut.

Terlepas dari pluralitas, kebudayaan, serta adat istiadat yang berbeda-beda di setiap daerah, Aceh tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Kesepadanan antara adat serta budaya Islami tumbuh dalam bermacam aspek kehidupan, khusunya bagi masyarakat Gayo di Aceh Tengah.

Kebudayaan dilestarikan secara turun-temurun kepada anak cucu atau generasi berikutnya supaya kebudayaan itu tidak punah serta bisa terus berkembang. Sama halnya dalam masyarakat Gayo terdapat pantangan atau larangan yang biasanya disebut sebagai sumang.

Sumang dalam masyarakat Gayo bertujuan untuk mendidik dan menuntun generasi penerus bangsa agar menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Sumang menjadi pusat kontrol prilaku bagi masyarakat dalam menjalin ikatan antar sesama dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial, menjadi kontrol kelompok atau orang dalam membentuk serta membina manusia yang beradab, dari mulai masyarakat bangun dari tidurnya sampai tidur kembali.

Budaya menjadi kontrol prilaku di dalam keluarga, bagaimana anak bersikap baik terhadap orang tua, yang kecil kepada yang besar atau kebalikannya, serta sikap terhadap satu keluarga kepada keluarga yang lainnya.

Sumang adalah salah satu jalur untuk menjaga lingkungan sosial masyarakat menjadi masyarakat yang beradab dan bernilai Islami serta tidak terlekang dari ajaran-ajaran agama.

Sumang menurut adat dan budaya Gayo dalam hubungan sosial paling utama antara orang yang berbeda jenis kelaminnya dan juga untuk orang yang ucapannya lebih tinggi. Terdapat 4 (empat) jenis sumang, yaitu Sumang Kenunulen, Sumang Percerakan, Sumang Pelangkahan dan Sumang Penengonen.

Sumang kenunulen (Sumang saat sedang duduk) ialah seorang yang berperilaku tidak etis saat duduk. Contohnya seperti orang-orang dewasa yang berbeda jenis kelamin dan bukan muhrim tetapi duduk berdua ataupun bertamu tanpa ditemani muhrimnya.

Kemudian bisa juga orang yang bukan muhrim duduk di tempat yang jauh dari keramaian atau tempat yang sepi dan perbuatan sembari duduk lainnya yang mungkin menjurus kepada hal terjadinya maksiat.

Sumang Percerakan (Sumang dan prosedur isi pembicaraan) ialah prosedur atau tempat maupun isi pembicaraan yang nakal atau porno, seperti misalnya orang dewasa berbicara sesuatu yang tidak wajar kepada orang tua/mertuanya ataupun kepada orang yang lebih tua umurnya.

Kemudian berbicara di antara orang yang berlainan jenis kelamin atau isi pembicaraan yang tidak baik, maupun berbicara di tempat yang tertutup ataupun semacam cara berbisik dan terang-terangan.

Sumang Pelangkahan (Sumang perjalanan) ialah pergi untuk melaksanakan suatu hal, yang mana mendekati perbuatan maksiat, seperti mengarah ke tempat maksiat atau laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, ataupun bukan muhrimnya pergi bersama-sama ketempat terbuka atau ramai, apa lagi jika ke tempat yang sepi.

Sumang Penengonen (Sumang penglihatan) ialah cara atau arah melihat yang tidak baik atau tidak pada tempatnya, contohnya seperti orang dewasa melihat dengan cara sinis (mujoreng) kepada orang tua atau yang lebih tua umurnya.

Kemudian contoh lain, laki-laki memandang aurat perempuan dengan sengaja ataupun sebaliknya perempuan yang memandang aurat laki-laki dan juga laki-laki secara nakal seperti megedip mata atau isyarat-isyarat lainnya untuk merayu perempuan untuk melakukan maksiat.

Dalam hal ini syariat dijadikan sebagai dimensi tentang prinsip-prinsip normatif, metodologi pengambilan hukum, hingga hukum positif yang bernilai suci, ideal dan tidak bisa diutak-atik (Zuhairi Misrawi, 2010). Dan dalam hal inilah Syariat dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kaum muslim yang berada di daerah penegak syariat Islam.

Syariat Islam yang diterapkan oleh masyarakat Gayo Aceh Tengah masih sangat kental dengan adat. Adat berasal dari bahasa Arab yang berarti melakukan berbagai kebiasaan-kebiasaan.

Menjelmanya adat disebabkan manusia hidup berkelompok lalu membuat berbagai keputusan yang biasa disebut peraturan untuk mengatasi segala kepentingan dan adat dipandang sebagai undang-undang bersifat tidak tertulis (Hakim Pinan, 1998).

Adat Gayo bernilai spiritual serta berorientasi kepada akhlak al-karimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Adat Gayo menunjang agama yang mana untuk mengendalikan interaksi antar sesama manusia.

Sebagaimana bahasa adat yang berbunyi “Edet mengenal  hukum mubeza (adat mengetahui dan hukum Islam membedakan antara hak dan batil), kuet edet muperala agama, renggang edet benasa agama (bila kuat adat terpeliharalah agama renggang adat rusaklah nama).

Edet mu nukum musifet ujud, ukum mu nukum musifet kalam (adat menetapkan hukuman berdasarkan bukti yang jelas, syariat ditetapkan berdasar firman Allah) maksudnya adat mewujudkan pelaksanaan syari’at yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17).

Kebiasaan manusia yang dimaksudkan adalah makan, minum, berpakaian, berjalan, berbicara, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan tersebut barulah terlarang jika ada dalil tegas, dalil umum, atau adanya qiyas yang shahih.

Dan sesuai firman Allah SWT yang artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS. Al Baqarah: 29). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan bagi kita segala sesuatu dan itu halal untuk dimanfaatkan dengan cara pemanfaatan apa pun.

Jadi, keterpaduan antara adat dan syariat Islam sangatlah erat dan saling menunjang. Adat dijadikan sebagai pelaksanaan ajaran agama Islam merupakan prinsip kehidupan masyarakat Gayo karena tanpa nilai-nilai Islami maka nilai adat atau budaya tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan (Syukri, 2006). Adat yang dilakukan dalam keseharian tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.

Budaya sumang ialah salah satu budaya yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Gayo, dan sudah semestinya dijadikan kearifan lokal untuk menegakkan karakter masyarakat.

Menjadikan budaya sumang sebagai kearifan lokal di harapkan mampu untuk mengurangi dampak globalisasi dengan menanamkan nilai-nilai positif kepada yang didasarkan pada nilai, norma serta adat istiadat yang dimiliki masyarakat Gayo.

Kearifan lokal sangat dibutuhkan pada saat ini, apalagi di zaman globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang terus berkembang pesat ditakutkan dapat membuat kecintaan yang berlebih terhadap budaya lokal perlahan-lahan tergerus seiring perkembangan zaman.

Maka dari itu perlu ditanamakan rasa cinta kepada kebudayaan lokal khususnya daerah, kepada kaum muda atau remaja yang ada di wilayah Aceh Tengah.[]

Penulis: Elicia Eprianda, Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta