Syech Ghazali, Sosok Penting di Belakang Para Pesohor

Produser musik, Syech Ghazali. [Dok. Ist]
Penulis:

Suasana sedikit sepi di malam itu. Tiada satu pun kendaran yang terlihat berlalu-lalang. Tanpa sadar jarum jam sudah berpacu pada angka 23.00 WIB.

Di depan studio Kasga Record yang terletak di Pango Deah, Kecamatan Ulee Kareng itu, seorang lelaki terlihat sedang menyemai dan menyiram bunga-bunga di dalam pot-pot kecil yang terletak di arah sebelah kanan pintu pagar.

Ia mengenakan baju singlet dan kain sarung, lalu berleha di teras studio tempat dirinya menggubah sederet album musik Aceh yang sudah tembus ke berbagai pasar industri di nusantara. Lebih dekat lagi, ia termasuk yang memproduseri album kasidah milik Cut Intan Ibnu Arhas, ‘Kutidhieng’ milik Liza Aulia serta album dari musisi Rafly.

Lelaki paruh baya itu adalah Syech Ghazali. Ia lahir di Lueng Keubeu, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen 17 Agustus 1963 silam. Sejak kecil, Syech Ghazali sudah hobi membaca dan mendengar musik.

Semasa masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Ghazali sudah bercita-cita menjadi penulis. Ia giat membaca novel, pun senang mendengar musik.

Setelah menyelesaikan pendidikan SD, di tahun 1972, Ghazali melanjutkan pendidikan agama, di sebuah dayah (Pesantren) yang tak begitu jauh dari Gampong Leung Keubeu, tempat dirinya mengeja hidup.

Kemudian, Ghazali kecil menuntut ilmu pendidikan agama selama dua tahun di dayah, lalu hijrah ke Banda Aceh. Pada akhirnya, di tahun 1980 ia merantau ke ibu kota Jakarta. Alasannya nekat merantau di usia yang masih remaja, tak lain untuk mencari pengalaman hidup dan pengetahuan. Ghazali memang berjiwa petualang.

Seperti kata pepatah, "ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri". Kiasan itulah yang ingin dirasakan Ghazali waktu itu. Namun, ketika ia sudah meniti hidup di kota metropolitan, pribahasa itu benar adanya.

"Memang benar, ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri," kata Ghazali mengenang masa remajanya di rantau kepada readers.ID, Selasa malam (9/3/2020).

Selama di Jakarta, Ghazali muda tinggal bersama sanak saudara selama tiga bulan. Kemudian ia memilih berkelana, hidup mandiri dan berprofesi sebagai tukang ojek kala itu, di samping membantu temannya berjualan di Pasar Pondok Gede, Jakarta Timur.

Memasuki tahun 1982, Ghazali melanjutkan pendidikan ke salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Meski bersekolah, ia masih melakoni pekerjaan tukang ojek. Pelan-pelan, dengan ketekunanya Ghazali bisa bertahan dalam hiruk pikuk dan kejamnya Jakarta.

Usai menyelesaikan pendidikan di SMP di tahun 1985, putra asal Kota Santri itu hijrah ke Pejompongan, Jakarta Pusat. Di sana, Ghazali melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA).

Saat itu, ia sudah mulai bergaul dengan beragam orang yang hidup di kota metropolitan. Tak hanya pribumi Batavia (Betawi), Ghazali juga berteman dengan banyak perantau dari berbagai daerah di nusantara, seperti Ambon, Papua, Sumatra, Sunda, Madura, dan Jawa.

Suatu malam, kisah Ghazali, dirinya pernah dipermalukan ketika sedang nongkrong di simpang jalan bersama teman-teman di ibu kota. Ghazali muda diminta untuk membawakan sebuah lagu daerah Aceh oleh teman-temannya.

Tak ada pilihan lain, saat itu yang populer di Aceh hanya lagu ‘Bungong Jeumpa’, lalu Ghazali menyanyikan lagu itu.  Ia malah ditertawai oleh teman-temannya. Meski hanya bersenda gurau, Ghazali pun menanggapi olokan itu setengah serius.

"Tunggu saja, suatu saat aku akan menjadi produser, supaya kalian tahu bahwa Aceh itu punya banyak lagu," kisah Ghazali.

Selepas menamatkan SMA di tahun 1988, Ghazali kembali ke kampung halamannya pada tahun 1991. Selang dua tahun, ia menikahi seorang gadis asal Lhoksukon, Aceh Utara.

Mengampanyekan Literasi di Aceh Utara dan Lhokseumawe

Setelah menikah, sang istri ditugaskan menjadi guru di SMA Meunasah Ampeh, Blang Jruen, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Lalu, bersama sang istri tercinta ia menetap dan mulai menjalani kehidupan baru di desa tersebut.

Ghazali menyewa sebuah ruko (rumah toko) berukuran 4x4 sebagai tempat tinggal dalam menjalani kehidupan baru. Suatu hari, ia memasukkan semua novel bacaannya ke dalam sebuah tas, lalu berjalan kaki menyapa warga ke rumah-rumah untuk menawarkan bacaan.

Cara Ghazali menggalakkan kesadaran literasi terbilang unik. Ia menyewakan buku kepada para pembaca dengan harga sewa per satu buku Rp300. Syarat sewaannya tak terbatas, setelah si penyewa selesai membaca satu buku, kemudian digantikan dengan buku yang lain.

Hal itu disambut baik oleh warga simpang Cebrek, Lhoksukon, Aceh Utara kala itu. Setiap hari, Ghazali memikul tas ransel berisi buku-buku bacaan, seraya berjalan kaki sejauh lima kilometer hanya untuk mengampanyekan literasi di pedalaman Aceh Utara.

Lambat laun, Ghazali mulai merambah kawasan lainnya, dari Simpang Ceubrek ia mulai menerobos ke Geudong, Bayu dan Cunda di Lhokseumawe.

Awal mulanya, pekerjaan itu dilakukan dengan berjalan kaki, kemudian ia membeli sepeda, lalu sepeda motor, dan akhirnya ketika stok bukunya sudah banyak ia mulai menggunakan mobil untuk kelancaran pekerjaannya. Ketika itu, Ghazali membeli buku-buku di toko buku Aron Post.

Profesi ini terlibang lama dijalaninya. Di tahun 1994 Ghazali bersama sang istri pindah ke Simpang Ceubrek. Di sana ia mulai mendirikan Taman Baca Kasga (Kamoe Sajan Gata). Sistemnya antar jemput.

Semakin hari, semakin banyak stok buku yang ia sediakan saat itu. Kesadaran masyarakat terhadap dunia baca mulai meningkat. Memasuki tahun 1996, Ghazali pindah ke Cunda, Lhokseumawe. "Saat itu saya bercita-cita mendirikan sebuah perpustakaan bertaraf internasional di Aceh," ujar Ghazali.

Ghazali juga menyarankan para pembaca untuk selalu tuntas dalam membaca buku, walaupun cerita dalam buku tidak begitu menarik. Sementara itu, ia juga menjadi penjual TTS (buku teka-teki silang), dan akhirnya ia menjadi distributor TTS pertama di Aceh sampai pada tahun 2020.

Terjun ke Industri Musik

Sebelumnya, ketika masih aktif sebagai distributor TTS di tahun 1996, Ghazali mulai menyukai dunia musik. Saat itu kehidupannya pun sudah mulai memadai. Industri musik tanah rencong kala itu dipegang Ibnu Arhas, penyanyi ternama yang populer dengan tembang berjudul ‘Paroh Tuloe’ dan ‘Nostalgia Aceh’.

...berikutnya

Ghazali pergi ke Banda Aceh untuk mencari Ibnu Arhas untuk belajar seputar dunia industri musik. Di pengujung tahun 1998, ia baru bertemu dengan Ibnu Arhas di Medan, Sumatra Utara. Ketika itu Ibnu Arhas sudah jadi anggota dewan.

Bertemu Ibnu Arhas merupakan pintu masuk pertama putra kelahiran Leung Keubeu itu ke industri musik. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mendukung penuh keinginan Ghazali untuk menjadi produser musik tanah rencong.

"Bang, aku ingin sekali merilis lagu-lagu Aceh, bagaimana saya bisa jadi produser, sekalian meminta kesedian abang untuk bersedia menjadi penyanyi," kisah Ghazali saat bertemu dengan Ibnu Arhas.

Keinginan Ghazali waktu itu disambut baik oleh sang legendaris. Ibnu Arhas setuju dengan apa yang ditawarkannya. Beranjak dari hal itu, di tahun 1999, Ghazali mulai menggarap album perdana ‘Kasidah Aceh Cut Intan Ibnu Arhas’ diproduksi langsung oleh Kasga Record.

Album itu dinyanyikan oleh almarhum Cut Intan, putri Ibnu Arhas. Menariknya, lirik-lirik lagu tersebut adalah gubahan Ibnu Arhas sendiri. Akhirnya, album perdana itu berhasil tembus pasar industri musik Aceh.

Single perdana Cut Intan digarap di Medan, Sumatera Utara. Awalnya album itu dirilis dalam bentuk kaset tape (kaset pita).

Ketika sudah terjun di industri musik tanah rencong, profesi semula sebagai distributor juga masih dijalankannya. Ghazali cuma perlu membagi waktu untuk pekerjaannya tersebut.

Di tahun 2001, Ghazali pindah ke Banda Aceh. Di sana ia mulai bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak jadi maestro musik Aceh, Rafly Kande.

Semangat Ghazali memuncak saat mendengar suara emas Rafly. Menurutnya, Rafly tak hanya sekadar memiliki karakter yang kuat, namun vokalnya begitu unik. Namun sayangnya, kata dia, Rafly sering ditolak oleh beberapa produser musik.

"Ini akan menembus pasar dunia," gumam Ghazali waktu itu.

Ghazali amat yakin dengan vokal dan suara khas yang dimiliki Rafly, hal itu sesuai dengan keinginannya di awal-awal terjun ke industri musik.

Beriring waktu, mereka pun bekerja sama. Ghazali mulai menggarap album perdana Rafly usai menyepakati kerja sama. Keyakinannya itu membuahkan hasil yang baik, setelah album perdana ‘Hasan Husen’ meluncur ke pasar dan disambut baik oleh para penikmat musik tanah rencong. Ghazali merasa bahagia.

"Saya merasa sukses menunjukkan kepada teman-teman di Jakarta bahwa Aceh punya banyak lagu," imbuh Ghazali.

Setelah menguasai industri musik Aceh, Ghazali terus menggarap album Rafly selanjutnya, seperti Kande, Kande II, Ainul Mardhiah, Saleum Aneuk Nanggroe, dan album-album lainnya. Saat itu, Kasga Record berada di peringkat atas pasar musik tanah rencong.

Ketika memproduksi album kande, kata Ghazali, semua kawan-kawan begitu bersemangat. Mereka menargetkan album tersebut tembus ke pasar dunia. Di situlah awal mula grup Kande mulai tur musik ke seluruh daerah di Jakarta.

Gelombang Tsunami melanda Aceh pada Desember 2004. Perjalanan hidup Ghazali kembali pada titik awal. Ia mulai patah arang. Segenap harta benda, semangat, dan energinya dibawa badai bencana. Hingga ia berencana untuk menjual rumahnya, dan itu satu-satunya yang tersisa pasca 2004.

...berikutnya

Tak hanya menjadi produser Cut Intan dan Rafly Kande, Kasga Record juga memproduksi Album Kutidhieng dan Rihon Meulambong pada tahun 2007 yang dinyanyikan Liza Aulia.

"Liza Aulia dengan album Kutidhieng-nya saat itu sempat lama mengisi kekosongan pasar industri musik Aceh dari tahun 2007 sampai 2009," kata Ghazali.

Pasca Tsunami, Ghazali mulai kembali di dunia musik, hal itu didukung dengan kehadiran Liza Aulia yang juga mampu menembus pasar industri tanah rencong.

Di tangan Ghazali, banyak musisi Aceh yang berhasil malang-melintang ke luar daerah dan luar negeri untuk menghadiri festival-festival musik.

Di lain sisi, Rafly Kande dan kawan-kawan selalu memberikan dukungan kepada Ghazali. Terakhir, ketika Rafly sudah menjadi DPD RI dari Aceh di tahun 2017, ia menghibahkan satu album lagunya untuk Ghazali, sang pemilik Kasga Record.

Dari situlah, Ghazali bangkit kembali, dan mulai memproduksi album Gisa Bak Punca, ciptaan Rafly. Album itu digarap beriringan dengan Rafly maju sebagai calon anggota DPD RI, kala itu. Itulah kali terakhir Kasga memproduksi album Rafly Kande.

Memasuki tahun 2018, dunia mulai berkembang, teknologi digital mulai merambah ke pelosok-pelosok negeri. Perlahan, para pelaku industri musik dunia, dan Aceh tentunya beralih kepada Youtube, dan mulai meninggalkan VCD player.

Perkembangan Musik Aceh di Era Milenial

Menurut Syech Ghazali, sejak 2017 hingga 2021 blantika musik Aceh mulai ramai dengan kehadiran para musisi muda, seperti Apache 13, Liza Aulia, yang sama-sama memiliki ruh tersendiri dalam membawakan akar budaya yang mereka padukan dengan perkembangan zaman.

"Industri Musik Aceh sempat lama menuai kekosongan, namun dengan hadirnya Apache 13, Liza Aulia, Rial Doni, dan Zoel Pasee, dunia musik tanah rencong kembali menemukan warna baru," kata Ghazali.

...berikutnya

Ghazali mendukung dan menyukai semua anak muda yang produktif. Namun, ia berpesan kepada generasi masa depan untuk tetap membawa akar budaya dalam setiap karyanya. Sebab, budaya adalah ruh utama dalam berkarya.

Menurut Ghazali, musisi yang akan bertahan dan menjadi legenda adalah ia yang memiliki kekuatan ruh dengan budayanya.

"Cara untuk membuat lirik lagu itu butuh membaca, supaya lirik dan irama selaras. Dan kosa kata yang dipilih mengikat dan kuat," paparnya.

Tak Begitu Suka Karya Saduran

Di era milenial, Ghazali selalu mengamati perkembangan para pendatang baru di Aceh. Ia mengaku mendukung dan menyukai produktivitas anak muda hari ini.

Namun, Ghazali tipikal orang yang menyukai produk atau karya orisinil, ia tak begitu suka pada karya saduran dan pelaku plagiasi. Apalagi yang menjadi penyanyi coveran yang tak meminta izin mengcover lagu orang lain. Walaupun, mungkin mereka tidak menyadari hal itu.

Ia berharap, para musisi muda Aceh memiliki keinginan besar untuk belajar musik dengan sungguh-sungguh bila kelak ingin jadi terkenal.

Ghazali juga berharap, generasi hari ini harus membangun relasi dan koneksi dengan para musisi senior di Aceh, dan belajar dari pengalaman mereka. "Terutama sekali, anak-anak muda sekarang harus giat belajar dalam pembuat lirik. Sebab itu bukan hal yang mudah bila tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh," jelasnya.

Terlepas dari itu semua, Ghazali menyebutkan bahwa dirinya tetap mendukung generasi hari ini untuk selalu berkarya. Sebab, yang akan menjadi legenda nantinya adalah mereka yang memiliki berbagai kekuatan: kekuatan lirik, karakter, dan vokal. Seperti Rafly. []

Editor: Fuadi Mardhatillah