Bahasa Aceh dalam Cermin: Sang Pewaris Menjadi Pelaku atau Korban?

Penulis:

Oleh Yana Febriana

Lagi dan lagi bahasa Aceh menjadi perdebatan penting yang harus dibahas saat ini. Mengapa? Tidak hanya sekilas melainkan nyata bahwa bahasa Aceh menjadi bahan refleksi untuk kita. Bahasa Aceh tidak lagi menjadi kebanggaan kita, bahkan mulai ditinggalkan, terutama oleh kita, generasi mudanya. Dalam kenyataan ini, pertanyaan tiba-tiba munculdi kepala: kita ini sebagai pewaris bahasa Aceh sebenarnya siapa? Apakah menjadi pelaku yang membiarkan bahasa Aceh itu hilang? Atau jangan-jangan menjadi korban dari tuntutan modernisasi?

Saat ini generasi muda di Aceh tidak lagi fasih berbahasa Aceh. Mereka lebih dominan memilih berbicara bahasa Indonesia dan bahasa asing demi mengikuti perkembangan zaman yang menganggap bahasa asing sebagai bahasa yang lebih keren. Beberapa pihak dalam masyarakat menganggap berbicara bahasa Aceh sangat kuno, kampungan, tertinggal,dan sangat tradisional. Beberapa orrang sering memberiguyonan klasiknya, “Apa sih, Aceh kali ke”.  

Revolusi industri ternyata sudah menjadi pedang bagi pola berkomunikasi generasi muda di Aceh. Tanpa disadari juga, kemajuan teknologi ini sudah membentuk stigma dalam masyarakat bahwa bahasa nasional dan internasional menjadi satu-satunya pemenang. Oleh karena itu, tidak heran mengapa bahasa Aceh ini bisa kehilangan tempat istimewa dalampewarisnya.

Peran orang tua yang terlupa menjadi salah satu faktor utama. Ketika orang tua tidak lagi menggunakan bahasa Aceh di rumahnya berarti mereka telah memberi contoh yang dianggap sudah lebih keren tersebut. Secara tidak langsung gengsi orang tua telah membunuh kesempatan anaknya untuk mempelajari dan merasakan kedekatan dengan bahasa daerah mereka. 

Memang benar beberapa alasan orang tua mungkin dengan berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing akan memberikan peluang yang lebih baik dalam dunia pendidikan dan pekerjaan nantinya. Namun, alangkah baiknya jangan sampai mengorbankan bahasa daerah mereka karenahal itu penting dalam membangun karakter dan identitas mereka sebagai masyarakat Aceh.

Dalam dunia pendidikan, program revitalisasi bahasa Aceh juga sudah diupayakan di sekolah-sekolah negeri. Di banda aceh mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah “Seudati: Sehari Berbudaya Aceh Pasti”. Program ini dibuat di sekolah sebagai bentuk implementasi dari kurikulum merdeka belajar yang memberi ruang untuk mengadopsi kearifan lokal di Banda Aceh.

Hal ini menjadi bukti bahwa pelestarian bahasa Aceh menjadi hal penting karena anak-anak di sekolah secara tidak langsung juga akan belajar budaya Aceh. Namun, ada hal yang kurang menjadi perhatian, yaitu pembelajaran bahasa Aceh di sekolah seakan kelihatan tidak serius karena sumber daya gurunya yang belum terpenuhi. Akibatnya, bahasa Aceh tidak benar-benar tumbuh dalam diri anak. Jika situasi ini terus berlanjut, maka tidak hanya bahasa Aceh saja yang akan sulit terwariskan, tetapi juga ikatan batin dengan warisan budaya Aceh lainnya.

Salah satu mahasiswa magister pendidikan bahasa Indonesia, USK, mengatakan, “Saya sangat sedih dan miris melihat anak-anak sekarang kurang peduli dengan bahasa Aceh, padahal ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Besar harapan saya untuk setiap sekolah harus sering membuat program lomba yang berbaur Aceh karena dari situlah anak-anak kita mulai mengenal dan mau belajar bahasa Aceh dengan serius”.

Generasi muda yang hidup dalam kedilemaan ini sedikit bertanya-tanya dalam dirinya. Sebenarnya siapa yang salah? Generasi muda tidak hanya tidak mendapat dukungan di dalam rumah, melainkan juga di luar rumah. Sehingga mereka tumbuh dengan pengalaman hidup yang mengajarkan betapa pentingnya melestarikan bahasa Aceh.

Upaya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) juga sudah mendorong generasi muda dengan menciptakan konsep kebijakan bahasa yang dikenal dengan Trigatra Bangun Bahasa, yaitu “Utamakan bahasa Indonesia, Lestarikan bahasa daerah, dan Pelajari bahasa asing”. 

Pelestarian bahasa Aceh dapat dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu dalam rumah bersama keluarga. Mengapa demikian? Karena proses pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah, makanya yang dibutuhkan pertama adalah dukungan keluarga. 

Selanjutnya, di luar rumah, yaitu lingkungan sekitar. Harus membangun kesadaran untuk tidak malu berkomunikasi bahasa Aceh dan tidak mengejek orang lain yang mencoba untuk belajar bahasa Aceh karena ituhanya akan melukai bahasa Aceh itu sendiri. Kita harus menormalisasikan orang lain yang menggunakan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-harinya.  Kita harus bangga dan bahagia melihat fenomena tersebut karena itu adalah bentuk kepedulian kita terhadap bahasa Aceh.

Di era digital ini, justru bahasa Aceh dapat dijadikan peluang besar bagi generasi muda. Bahasa Aceh akan berkembang jika dijembatani oleh pemanfatan digital yang sesuai dengan tren saat ini. Pemanfaatan media sosial dan konten digital seperti video edukatif, siniar atau podcast, dan aplikasi belajar bahasa Aceh dapat menjadi sarana penting untuk menjangkau anak muda secara kreatif dan relevan. Lewat konten-konten berbahasa Aceh tersebut akan membuat generasi penerus kita semakin tertarik dengan bahasa Aceh dan bahasa Aceh tetap eksis dalam hati masyarakatnya. 

Mari kita jadikan bahasa Aceh sebagai bagian dari diri kita, ajak generasi muda, terutama anak-anak kita tidak malu berbicara dalam bahasa Aceh, bangga terhadap bahasa Aceh, dan bahagia melihat kelestarian bahasa Aceh dalam setiap kegiatan yang ada di masyarakat. 

Jangan biarkan bahasa Aceh hanya menjadi cerita di buku sejarah saja, biarlah ia hidup dalam tutur kita, tumbuh dalam cinta kita, dan abadi dalam setiap generasi. Karena mencintai bahasa sendiri berarti mencintai diri dan tanah asal kita dengan sepenuh hati.

*Yana Febriana, S.Pd. Merupakan Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Syiah Kuala