Bahaya Kebocoran Data dan Penantian UU PDP

Internetworldstats mempublikasikan, data pengguna internet Indonesia per Maret 2021 mencapai 212,35 juta jiwa dan menempatkan negeri ini di urutan ketiga dengan pengguna internet terbanyak di Asia.
Tingginya pengguna internet di Indonesia tak hanya menjadi berkah, namun memunculkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya masalah kebocoran data pengguna yang berasal dari platform pihak swasta atau pemerintah dan disalahgunakan oleh pihak ketiga.
Data-data tersebut diperjualbelikan atau digunakan untuk kepentingan bisnis lainnya. Beberapa data yang kerap mengalami kebocoran seperti data diri lengkap hingga data bank, nomor kontak dan alamat rumah.
CEO & Chief Digital Forensic, Ruby Alamsyah mengatakan, kondisi ini dipandang sebagai sesuatu yang urgen mengingat kebocoran data akan sangat berdampak merenggut hak privasi dan merugikan masyarakat, utamanya pengguna platform digital di dunia virtual.
Pihaknya mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) agar masyarakat yang menjadi korban, tahu ke mana akan mengadu dan punya payung hukum yang jelas menyelesaikan kasus ini.
"Pengamatan kami selama ini kalau ada masyarakat yang bocor datanya, gak tahu mau komplain ke mana, karena kita belum punya aturan yang jelas terkait hal ini," kata Ruby saat mengisi webinar 'Dilema Seputar Hak Digital di Indonesia: Kebebasan Berekspresi dan Privasi Data' yang diselenggarakan AJI bekerjasama Uni Eropa dan Yayasan TIFA, Selasa (16/11/2021).
Ia mencontohkan, kebocoran data pengguna yang terjadi selama ini seperti kasus Bukalapak (2019), Tokopedia (2020) dan BPJS Kesehatan (2021) menjadi pembelajaran betapa data pengguna bisa diretas dan dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan lain.
Lebih lanjut, CEO & Chief Digital Forensic itu juga mengkritisi penyedia platform di Indonesia baik itu dari swasta maupun pemerintah. Alih-alih segera menginformasikan kepada pengguna terkait kebocoran data, malah pihak-pihak dimaksud berusaha menutupi kasus tersebut.
"Padahal pemberitahuan secara cepat terkait kebocoran data ini, misal melalui SMS, e-mail dan notifikasi apapun kepada pengguna, supaya kita pengguna tahu dan bisa proteksi lebih cepat. Yang terjadi Indonesia, boro-boro kasih tahu, malah mereka gak mengakui data pengguna bocor dari platform mereka," ungkap Ruby.
Sementara Peneliti dari Yayasan TIFA, Sherly Haristya menyampaikan, inovasi di bidang teknologi informasi untuk pertumbuhan ekonomi dan perlindungan data pribadi harus ada titik temu atau berjalan seimbang tanpa ada harus yang dikorbankan.
Pihaknya tak menafikan, kemudahan akses internet membantu meningkat perekonomian masyarakat baik itu melalui jual beli virtual (e-commerce) maupun aktivitas lainnya yang dapat dipangkas seefisien mungkin.
"Hanya saja, kasus kebocoran data ini perlu menjadi perhatian. Hak privasi dan keamanan publik juga menjadi sesuatu yang penting seiring pertumbuhan ekonomi digital," kata Sherly.
Peneliti dari Yayasan TIFA itu juga menyoroti RUU PDP yang akan digodok di DPR agar tidak senasib dengan UU ITE yang malah memakan banyak korban salah sasaran dan tidak tepat secara fundamental.
"Makanya semua pihak perlu duduk bersama terkait pengesahan RUU PDP ini. Jangan sampai UU PDP senasib dengan UU ITE yang nantinya berdampak negatif bagi masyarakat di masa depan," pungkasnya.
Komentar