Balada Revisi Qanun Jinayah, Bersambut Gayung di DPRA

Waktu Baca 13 Menit

Balada Revisi Qanun Jinayah, Bersambut Gayung di DPRA
Foto: Roni/readers.ID

Berulang kali kasus pelaku pemerkosaan anak di Aceh dibebaskan oleh hakim di pengadilan. Sehingga bergulir desakan agar Qanun Jinayah direvisi agar tidak ada dualisme hukum di Tanah Rencong.

Vonis bebas terdakwa S (45) oleh Hakim Mahkamah Syar'iyah Aceh atas kasus dugaan pemerkosaan anak kandung per Senin (9/8/2021) menjadi perhatian publik di Serambi Makkah. Pada pengadilan tingkat pertama, dia sempat divonis bersalah, namun dinyatakan bebas setelah melakukan upaya banding.

Ia merupakan satu dari tiga terdakwa pemerkosa anak divonis bebas Mahkamah Syar'iyah di Aceh selama 2021. Semua terdakwa merupakan orang dekat korban, yaitu ayah kandung hingga paman sendiri.

Tak ayal keputusan ini membuat geram publik, salah satu yang getol menolak vonis bebas tersebut adalah Flower Aceh, organisasi masyarakat sipil di Aceh yang selama ini konsen terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati mengatakan, sudah saatnya dualisme antara Qanun Jinayah dan UU Perlindungan Anak terhadap penanganan kasus pemerkosaan anak di Aceh dihentikan.

Menurutnya harus ada satu dasar hukum yang kuat sebagai pijakan penyelesaian hukum kasus pemerkosaan anak di Aceh, terutama menggunakan pendekatan perspektif anak dan pemulihan secara komprehensif.

Dalam hal ini, Qanun Jinayah belum mengakomodir kebutuhan tersebut. Sebelum lebih banyak jatuh korban, kata Direktur Eksekutif Flower Aceh, perlu dilakukan revisi Qanun Jinayah yang tujuannya bukan untuk memperlemah, melainkan memperkuat qanun itu sendiri.

Berdasarkan data terbuka dinaspppa.acehprov.go.id, Kekerasan Terhadap Anak (KTA) pada triwulan satu 2021 ada 137 kasus. Kota Banda Aceh daerah tertinggi mencapai 20 kasus, disusul Bireuen 12 kasus dan tertinggi ketiga Langsa.

Sedangkan bentuk-bentuk KTA selama triwulan satu 2021, totalnya 202 kasus. Kasus pemerkosaan tercatat ada 14 kasus yang yang paling tinggi bentuknya adalah pelecehan seksual terhadap anak.

Sementara itu pada laporan triwulan dua 2021 total KTA mengalami peningkat sebanyak 93 kasus dibandingkan triwulan satu, yaitu totalnya menjadi 230 kasus. Kota Banda Aceh masih berada di peringkat pertama KTA yang terjadi mencapai 29 kasus.

Begitu juga halnya bentuk-bentuk KTA pada triwulan dua 2021 juga mengalami peningkatan, yaitu mencapai 342 bentuk, mengalami kenaikan 140 bentuk kasus. Kasus pemerkosaan sebelumnya hanya tercatat 14 kasus meningkat menjadi 36 kasus, ada penambahan 22 bentuk KTA.

Mengingat angka KTA dalam 2021 saja terus mengalami peningkatan, termasuk bentuk-bentuk kekerasan semakin bertambah, Flower Aceh menilai revisi Qanun Jinayah di Aceh mendesak untuk dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

"Harus kita pastikan revisi Qanun Jinayah ini masuk dalam Prolega (Program Legislasi Aceh) dan dibahas prioritas di DPRA tahun depan," kata Riswati dalam diskusi bertajuk Urgensi Revisi Qanun Jinayah untuk Perlindungan Anak di Aceh di salah satu hotel di Banda Aceh, Kamis (18/10/2021).

Adapun dua pasal dalam Qanun Jinayah yang dimaksud yakni pasal 47 yang berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan.”

Sedangkan pasal 50 berisi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 kali, paling banyak 200 kali atau denda paling sedikit 1.500 gram emas murni, paling banyak 2.000 gram emas murni atau penjara paling singkat 150 bulan, paling lama 200 bulan.”

Kedua pasal yakni pasal 47 dan pasal 50 tentang pemerkosaan terhadap anak dalam Qanun Jinayah dinilai perlu dilakukan penguatan atau revisi, karena dianggap tidak menyentuh substansi yang memberi efek jera kepada pelaku, serta tidak memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap korban.

Hal senada juga disuarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Pihaknya mengungkapkan, Qanun Jinayah lebih lemah dibandingkan UU Perlindungan Anak dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul menyebutkan, salah satu yang disorot dari Qanun Jinayah adalah tidak mengatur terkait pemulihan terhadap korban. Alih-alih pemulihan, lanjutnya, pelaku malah dibebaskan seperti yang terjadi dalam kurun waktu setahun ini di Aceh.

Kondisi tersebut membuat korban jadi dobel dirugikan. Pertama karena menjadi korban pelecehan seksual, kedua tidak mendapat pemulihan psikis hingga berpotensi mendapat perundungan di sekolah hingga lingkungan sekitarnya.

Pengabaian hak reparasi korban menjadi penting dibahas, karena menurut Syahrul ini akan mempengaruhi perjalanan kehidupan dan tumbuh kembang si anak di masa yang akan datang.

Selain itu, pihaknya mengungkapkan banyak kasus di-SP3-kan karena tidak ada saksi yang melihat langsung pemerkosaan. Dampaknya, tak sedikit kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di Aceh dihentikan karena keterangan ibu dan anak tidak bisa dijadikan bukti untuk penyidikan.

"Mana mungkin hal itu bisa terjadi (saksi melihat korban diperkosa), mereka berharapnya pemerkosaan itu di depan umum," kata Syahrul.

Anggota Komisi I DPRA, Darwati A Gani menyampaikan, revisi penguatan Qanun Jinayah bakal segera mencapai titik temu. Pihaknya di DPRA sudah menandatangani usulan revisi tersebut dan diwacanakan masuk Prolega Prioritas 2021.

Tinggal menurutnya pengawalan yang baik di tingkat Badan Legislasi (Banleg) dan Badan Musyawarah (Banmus) DPRA dalam menggolkan revisi Qanun Jinayah ini, dengan mencabut dan merevisi kedua pasal yang dianggap lemah itu terhadap perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual terhadap anak.

"Minimal harus ada tujuh dewan yang mengusulkan. Alhamdulillah ada 13 yang tanda tangan dan ini sudah mencukupi syarat untuk dibahas di DPRA," ungkap Darwati.

Pihaknya juga mengingatkan agar masyarakat menggunakan bahasa-bahasa yang lebih arif dalam membahas revisi qanun ini. Mengingat sebagian yang lain mudah tersulut emosi bila yang disuarakan terkesan berupaya mengganti isi qanun dan dianggap melemahkan penerapan hukum syariat.

"Penguatan qanun, bukan revisi qanun. Kadang kita perlu menggunakan bahasa-bahasa yang menyejukkan, agar masyarakat tidak salah paham dan tau substansi yang harus diperjuangkan," kata Darwati.

Selanjutnya Wakil Ketua DPRA Hendra Budian menegaskan, persoalan urgensi atau tidaknya revisi ini sudah selesai. DPRA dan para LSM yang fokus menyuarakan perlindungan terhadap anak di Aceh sudah satu suara untuk dilakukannya penguatan dengan mencabut dua pasal yang dianggap lemah dalam Qanun Jinayah tersebut.

Pertengahan November 2021, pihaknya akan melaksanakan rapat Banleg untuk tahun 2022 dan diwacanakan revisi Qanun Jinayah terkait kekerasan seksual ini masuk Prolega Prioritas.

Wakil Ketua DPRA itu berharap, setelah qanun selesai dapat diparipurnakan dengan segera dan pihaknya mengaku berkomitmen mendorong perbaikan produk hukum terhadap penyelesaian kasus pemerkosaan anak yang terjadi di Aceh selama ini.

Menurutnya, urgensi revisi Qanun Jinayah bukan terletak di-droping dua pasal itu, tetapi lebih kepada pemulihan dan pencegahan terhadap korban yang harus terus didorong ke depan.

"Kekerasan terhadap anak harus jadi isu prioritas. Kalau gak, bukan lagi Aceh meuadab (beradab) sebagaimana rencana RPJM Pemerintah Aceh, ini Aceh pungo (gila) namanya," cetus Hendra.

Sementara, aktivis perempuan yang tergabung dalam Balai Syura menaruh harapan agar dualisme produk hukum ini (Qanun Jinayah dan UU Perlindungan Anak) dapat segera selesai, supaya ke depan tidak ada lagi pelaku pemerkosaan anak yang bebas di Aceh.

Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin mengatakan, pihaknya sudah jenuh dengan kondisi di mana putusan hakim membebaskan pelaku pemerkosaan terhadap anak, karena produk hukum yang digunakan tidak mampu memberikan keadilan dan memperjuangkan hak-hak korban.

"Tinggal seberapa cepat ini diwujudkan. Kita sudah bosan," tegas Khairani.

Selanjutnya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra meminta agar DPRA terus membuka ruang-ruang berdialog dengan masyarakat sipil terkait pemenuhan hak-hak yang selama ini belum diwujudkan, salah satunya hak si anak sebagai korban kekerasan seksual mendapat pemulihan.

Pihaknya juga menyoroti kompetensi hakim yang menjadi pemutus vonis khususnya kasus-kasus yang berkaitan dengan anak. Hendra meminta perlu adanya evaluasi ke depan, terlebih sudah banyak pelaku yang lolos dari jeratan hukum akibat putusan yang dihasilkan tersebut.

"Belum lagi kompetensi hakim tidak layak kinerjanya, MA (Mahkamah Agung) harus evaluasi ini ke depan," pungkasnya. []

Editor: Afifuddin Acl

Statistik KTA

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...