Bawadi Sang Penyelamat Petani Kopi

Foto Roni
Penulis:

Tak ada aroma kopi yang menusuk hidung, semua bahan minuman penawar kantuk itu ter-packaging rapi di raknya masing-masing dengan berbagai jenis varian rasa dan campuran, kemasannya warna-warni memancing hasrat siapa pun yang berkunjung ke sana.

"Bang Bawadi ada di dalam," jawab salah seorang karyawan mempersilahkan readers.ID masuk ke toko Bawadi Coffee di Pango Raya, Ulee Kareng, Banda Aceh, Sabtu (23/10/2021).

Sesok pria berkulit putih sedang sibuk mengetik di sebuah meja panjang yang dibuat segi empat saling tersambung. Ia mengenakan kaos hitam dengan gambar sebiji kopi berwarna emas, di bawahnya bertulis Bawadi Coffee.

Dia adalah Teuku Dhahrul Bawadi (32), anak muda asal Teunom, Aceh Jaya yang mengadu nasib ke Banda Aceh dan kini menjadi penyelamat para petani kopi yang tergilas harga pasar.

Diketahui Aceh menjadi salah satu pemilik varian kopi terkenal di dunia, yakni kopi Gayo. Namun tak disangka, menjadi pemilik varian kopi terbaik dunia berbanding terbalik dengan nasib para petaninya, belum menyentuh kesejahteraan.

Hal ini disebabkan oleh harga jual biji kopi mentah (green bean) yang dianggap belum mampu mengangkat para petani untuk naik kelas secara ekonomi. Dengan demikian, harga pun diatur seenaknya oleh pemain lain yang punya industri besar, baik di tataran nasional maupun global.

Alasan itulah yang kemudian membuat Bawadi tergerak bagaimana cara agar ia bisa menjadi sesosok yang ikut mengatur dan menentukan harga pasar. Sehingga bisa membantu para petani dengan membeli harga kopi di atas market. Salah satunya dengan mendirikan usaha atau industri kopi yang kini ia berinama Bawadi Coffee.

Bawadi bekerjasama dengan koperasi-koperasi yang menaungi sekitar 2.100 petani. Ia membeli kopi di kisaran Rp 100-105 ribu dari petani dan itu di atas harga pasaran di Aceh yang sesungguhnya yakni Rp 90 ribu.

"Cita-cita saya mendirikan Bawadi Coffee simpel, kalau saya punya industrinya, harga produk itu saya yang tentukan. Harapannya akan ada nilai tambah ke petani-petani kita khususnya di Aceh," cerita Bawadi sambil sesekali meremas-remas tangannya, suhu ruangan sekitar 17 derajat celcius karena cuaca mendung dan AC dalam posisi menyala.

ASIA Mart Tempat UMKM Titip Produk

Tak puas dengan menaikan harga beli kopi dari petani, Bawadi bersama 14 orang lainnya mendirikan Asosiasi Saudagar Industri Aceh (ASIA) Mart pada Desember 2019 lalu.

Melalui wadah ini diharapkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang tak punya tempat memasarkan produknya bisa menitipkan di ASIA Mart.

Sebelum pandemi, Bawadi bercerita ada 400-an item produk yang dititipkan di ASIA Mart dari 180 UMKM se-Aceh. Namun saat pandemi berkurang drastis menjadi 100-an produk saja mengingat rendahnya daya beli.

"Mau titip banyak (produk) ke sini sayang takutnya expired, mubazir," ungkap Bawadi.

Selain itu, ASIA sebagai organisasi juga digagas untuk meningkatkan kapasitas dan kolaborasi para pelaku UMKM bersama para pebisnis menangah ke atas dalam memasarkan produk, sehingga pihaknya bisa naik kelas dan bersama-sama menembus pasar global.

Meski berada dalam satu tempat dengan ASIA Mart, produk Bawadi Coffee hanya 10-20 persen saja di sana, sisanya produk UMKM baik yang tergabung dalam ASIA maupun yang tidak dalam asosiasi.

Kini Bawadi sedang membidik pasar di tingkat nasional dengan melakukan ekspansi ke Pulau Jawa. Pihaknya pada November 2021 mendatang akan mendirikan ASIA Galeri UMKM atau Aceh Galeri UMKM sebagai tempat distributor produk UMKM Aceh.

Dengan adanya distributor center ini, lanjutnya, apabila ada permintaan produk UMKM Aceh di Pulau Jawa, mereka tidak perlu harus mengirim dari Aceh secara mandiri sebab akan memberatkan biaya pengiriman. Ekspansi ini, harapnya, akan membantu produk para pelaku UMKM di Aceh dari segi pemasaran ke depan.

"Saya yang akan hendel produk teman-teman UMKM ke Jakarta. Kita lagi kejar supaya bisa masuk salah satu ritel besar nasional, mungkin seputaran Pulau Jawa dulu," kata Bawadi.

Bertahan Saat Pandemi

CEO Bawadi Coffee itu bercerita, pandemi merupakan mimpi buruk baginya dan para petani kopi yang ia naungi selama ini. Bayangkan saja, bila sebelumnya Bawadi memproduksi 5-10 ton kopi per bulan, saat pandemi ia hanya mampu memproduksi 500 kilogram hingga 1 ton kopi saja.

Ia becerita, dulu sebelum pandemi pihaknya aktif melakukan ekspor kopi para petani dari Aceh ke pasar global. Paling sedikit mencapai 80-100 ton per tahun. Selama pandemi, aktivitas ekspor untuk kopi, kata Bawadi, tutup 100 persen karena kedai kopi tak dibuka di semua negara akibat pembatasan sosial.

Kontrak kerja sama ekspor senilai Rp 1,2 miliar pun yang rencana akan dimulai April 2021 harus ia tangguhkan karena karena pandemi. Pertimbangannya karena kebanyakan kedai kopi tutup di luar negeri. Bila dilanjutkan ekspor, kata Bawadi akan berdampak besar terhadap pihaknya dan pengimpor.

"Setelah kita pelajari lagi, akhirnya kita tangguhkan dulu," ungkap Bawadi.

Tak cukup sampai di situ, Bawadi pun akhirnya membatasi produksi yang berdampak kepada petani kopi di Aceh. Meski demikian, ia tetap membeli kopi dari para petani di atas harga pasar, hanya saja jumlahnya dikurangi. Tak sebanyak saat sebelum pandemi.

Di tengah kondisi yang menjepit UMKM seperti Bawadi, ia pun tak putus arang mencari solusi. Pelariannya adalah masuk ke pasar online atau maketplace dan mendigitalisasi bisnisnya selama pandemi.

Syukur-syukur, kata Bawadi, pandemi malah mengajarkannya satu ilmu yang tidak didapatnya selama ini, yakni berinovasi sekaligus beradaptasi dengan melakukan berbagai optimasi di dunia digital marketing.

Selama ini pihaknya berfokus pada pasar luar negeri. Selama pandemi dan aktivitas ekspor dihentikan, ia mengaku ternyata pasar lokal dan nasional pun sangat menjanjikan bila terus belajar dan beradaptasi, terutama dengan mulai merawat marketplace tempatnya berjualan online.

"Saya masuk marketplace seperti Tokopedia dan lain-lain. Mulai fokus di online, alhamdulillah pendapatan dari sana mencapai 30-40 persen, yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya," ungkap Bawadi saat bercerita mengenai omsetnya usai digitalisasi.

Hal ini yang kemudian diamini oleh data Bank Indonesia. Lembaga penelitian kebijakan dan analisis strategis politik, ekonomi, dan keamanan (CSIS Indonesia) memaparkan, selama pandemi tahun 2020 BI mencatat terjadi nominal transaksi sebesar Rp 266,3 triliun melalui e-commerce. Sedangkan tahun 2021, BI memprediksi nilai transaksi e-commerce menjadi Rp 395 triliun (tumbuh 48,3 persen).

Saat ini, lanjut Bawadi, masih banyak para pelaku UMKM utamanya di daerah yang belum tersentuh marketplace. Padahal ini kesempatan memasarkan produk dengan cara mudah, murah dan efisien, bahkan tanpa perlu menyetok barang terlebih dahulu sebelum ada yang memesan.

"Ini (marketplace) bisa menghemat modal kerja," katanya.

Bawadi berujar, pengalaman selama masuk marketplace sangat membantunya dalam hal pemasaran dengan jangkauan yang lebih luas dan mampu menekan berbagai biaya yang ditimbulkan bila tak masuk pasar digital itu sendiri.

Bawadi bercerita, dalam proses beradaptasi pihaknya menghadapi beberapa permasalahan seperti optimasi bagaimana cara menjual di marketplace. Tetapi dengan adanya pandemi, ia belajar bahwa adaptasi dengan marketplace ini perlu dan sudah seyogyanya dilakukan oleh para pelaku UMKM dalam memasarkan produknya.

Kelebihan lain ketika masuk marketplace, lanjut Bawadi adalah pembelian langsung secara tunai. Ia menjelaskan, biasanya setelah 3-4 hari produk tiba ke konsumen, uang langsung masuk ke rekeningnya.

"Sedangkan sebelum pandemi (sebelum merawat marketplace), kita jual barang di Aceh misal harus menitip ke toko-toko, kadang 1-2 bulan belum tentu ada pembayaran dari sana," ungkapnya.

CEO Bawadi Coffee yang juga Presiden ASIA itu berujar, upaya mengajak para pelaku UMKM untuk masuk ke pasar online atau digitalisasi UMKM, ia lakukan dengan menyempatkan membuat forum diskusi tatkala turun ke daereh-daerah semisal Lhokseumawe, Takengon, Langsa dan beberapa kabupaten/kota lainnya di Aceh.

Sebagai pebisnis yang malang melintang hampir 1-2 kali sebulan membangun kerjasama bisnis dan mencari biji kopi dari petani ke daerah, waktu-waktu luang bersama para pelaku UMKM ini digunakan Bawadi untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan tentang promosi serta pemasaran, salah satunya melalui marketplace.

Menurutnya, bila UMKM sudah terdigitalisasi dengan baik, maka kemampuan untuk bertahan bahkan meningkatkan taraf hidup bukanlah hal mustahil. Melalui digitalisasi, penjualan tak lagi terbentur oleh jarak dan waktu. Efisiensi pembiayaan produksi juga bisa ditekan semaksimal mungkin.

"Bagi teman-teman yang selama ini ada kendala dari segi promosi dan pemasaran, boleh datang kemari. Kita sama-sama belajar dan cari jalan keluar. Bagi yang tidak mengerti, saya akan bantu berbagi ilmu dan kita sama-sama belajar terkait digitalisasi untuk masuk pasar online ini," katanya.

Butuh Industri Packaging di Aceh

Bawadi mengungkapkan, selama ini UMKM khususnya usaha produk kopi terkendala di pengemasan (packaging). Hal ini yang kemudian membuat sebagian pelaku UMKM sulit naik kelas dan bersaing dengan pasar nasional, apalagi global.

Penyebabnya, di Aceh belum ada industri packaging. Sehingga para pelaku UMKM di Aceh harus memesan kemasan produk mereka ke Pulau Jawa seperti Bandung dan Surabaya.

Biaya yang dikeluarkan untuk kemasan ini tak sedikit, Bawadi Coffee misalnya harus mengeluarkan sekitar Rp 50 juta per bulan hanya untuk urusan packaging. Namun saat pandemi, biaya untuk kemasan yang dikeluarkannya berkisar antara Rp 3-5 juta saja seiring penurunan permintaan produk kopi.

CEO yang juga Presiden ASIA itu berujar, bila industri packaging dibangun di Aceh, hal ini akan membantu memangkas biaya yang dikeluarkan UMKM dalam hal produksi, paling sedikit mencapai 20 persen.

"Bayangkan kalau ada UMKM yang biasanya punya omset Rp 10 juta per bulan, dengan adanya industri packaging di Aceh, dia bisa omset Rp 12 juta. Ini sangat membantu kita para pelaku UMKM, semakin banyak lapangan kerja yang bisa dibuka," ungkap Bawadi menaruh harap.

Pembangunan industri packaging ini, lanjut Bawadi, hanya berkisar sekitar Rp 2 miliar. Hal ini bukan tidak mungkin mengingat Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) untuk tahun 2021 saja mencapai total mencapai Rp 16,9 triliun.

Ia bahkan mengaku pernah menyampaikan perihal ini kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sadiaga Uno di beberapa kesempatan. "Harusnya Aceh sudah punya industri ini dengan anggarannya yang besar Rp 16,9 triliun," kata Bawadi menirukan Menparekraf.

Permasalahan industri packaging ini penting didorong, karena menurutnya dengan adanya pabrik kemasan yang terstandarisasi di Aceh, UMKM semakin mudah mendapatkan izin BPOM dan SNI yang selama ini dinilai sulit diraih para pelaku UMKM di Aceh karena tempat produksi yang dianggap belum layak.

CEO Bawadi Coffee ini sudah mendorong terkait pembangunan industri packaging di Aceh sejak 2016 lalu. Namun demikian, hingga kini belum mendapat jawaban dari Pemerintah Aceh, terutama instansi terkait yang membidangi hal tersebut.

Kalau kemasan bagus, lanjutnya, ada tempat produksi, ada legalitas, baru kemudian memikirkan bagaimana cara pemasaran produk para UMKM bahkan menembus market global melalui aktivitas ekspor.

"Nyatanya sebagian di mulut saja. Dukung UMKM, dukung UMKM, kadang produk UMKM pun gak pernah mereka beli. Cuma bilang cinta dan bangganya saja, beli gak pernah, apalagi pakai. Kalau pakai pun itu yang dikasih gratis, bagaimana kita bisa bercita-cita menaikan kelas UMKM," pungkas.

Sekelumit permasalahan UMKM, Bawadi hadir menjadi sosok lain minimal menyelamatkan satu sektor yakni jadi pahlawan para petani kopi di Aceh dengan membeli di atas harga pasar.

Seperti slogannya, Ingat Kopi Ingat Bawadi, ia sudah menjadi sosok yang mengisi cerita dalam lembaran baru UMKM dan melekat di ingatan mereka tentang anak muda yang bermimpi akan perubahan, menyelamatkan para petani kopi dan UMKM di Aceh.[acl]

Reporter: Sara Masroni