CERPEN: Kapok Jadi Joki Skripsi

Awalnya, aku tak mengerti bagaimana bisa Abil jadi begitu royal kepadaku. Setiap kali ia berkunjung ke kamar kos-kosanku untuk meminjam buku sekaligus berbincang-bincang, ia akan membawa makanan lezat yang terhitung mahal bagiku. Padahal, tanpa pemberian semacam itu pun, aku selalu bersedia meminjaminya buku, sebab kutahu, ia adalah peminjam buku yang baik.
Tetapi kemewahan tampaknya telah menjadi gaya hidup baginya. Paling tidak, ia telah pindah ke kamar sebuah kos-kosan yang terhitung mewah untuk ukuran mahasiswa. Ia pun telah menjual motor bututnya dan membeli motor yang baru. Bahkan dengan begitu enteng, ia senantiasa memanjakan kekasihnya, salah seorang gadis cantik seangkatan kami di fakultas hukum.
Tentu saja aku patut penasaran. Pasalnya, Abil adalah anak kampung yang orang tuanya bekerja sebagai petani. Jadi, kupikir-pikir, gaya hidupku seharusnya lebih bergengsi sebagai anak pekerja kantoran berstatus pegawai negeri. Namun setiap kali aku bertanya perihal keuangannya, ia selalu merahasiakannya, sembari mengesankan agar aku tak sungkan menerima pemberiannya.
Akhirnya, aku menduga saja bahwa orang tua Abil adalah petani sukses yang memiliki tanah yang luas, yang sebagian mungkin telah dijual mahal kepada perusahaan besar. Tetapi ketika ia mengutarakan bahwa ia mendapatkan uang dari hasil kerjanya sendiri, aku pun mulai curiga bahwa ia melakoni pekerjaan yang terlarang, semacam menjadi pencuri atau pengedar obat-obat terlarang.
Namun aku harus menggugat perkiraanku sendiri. Itu karena selama ini, Abil tak pernah mengambil kepunyaan orang lain tanpa izin, dan ia jauh dari persoalan barang-barang haram. Sebaliknya, ia malah tampak semakin gemar membaca buku dan menulis apa saja, sampai ia terkenal sebagai orang yang pintar dan memiliki nilai akademik yang baik.
Akhirnya, aku pun sampai pada taksiran yang kuanggap paling tepat. Aku menduga bahwa ia menggunakan kepintaran dan pengetahuannya untuk mendapatkan uang. Barangkali, di luar pengetahuanku, ia menulis untuk media massa dan mendapatkan honorarium. Atau barangkali ia mengikuti lomba penulisan dan mendapatkan banyak hadiah.
Sampai akhirnya, pada satu malam, di kamar indekosku, ketika aku berkeluh-kesah setelah ponsel baruku hilang dan aku enggan untuk meminta ongkos penggganti pada orang tuaku, ia pun menawarkan solusi keuangannya:
“Kalau kau mau uang, itu gampang saja, asal kau mau bekerja sama,” ujarnya, lantas tersenyum santai. “Apalagi, aku tahu, kau pun punya kemampuan. Kau ini orang yang pintar. Kau rajin membaca.”
“Bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku, penasaran.
Dengan tenang, ia pun membongkar rahasianya, “Kebetulan, aku punya dua klien, mahasiswa tingkat akhir. Mereka bodoh, pemalas, tetapi punya uang. Mereka memintaku untuk mengerjakan skripsi mereka dengan bayaran masing-masing empat juta rupiah, sampai selesai. Kalau kau mau, kau boleh urus salah satunya.”
Sontak, aku terkejut. Aku tak menduga bahwa selama ini ia mengerjakan hal semacam itu. “Jadi, selama ini, kau mendapatkan uang dengan menjadi joki skripsi?”
Ia pun tertawa pendek, lantas mengangguk tegas. “Tidak hanya skripsi. Tesis, disertasi, jurnal ilmiah, kajian ilmiah, pendapat hukum, atau bahkan tulisan-tulisan opini di media massa, juga aku kerjakan dengan teman-temanku. Klien kami pun tidak hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, perwakilan pemerintah, hingga para pejabat yang gila gelar. Asal mereka ada duit, beres.”
“Apa kau tidak merasa bersalah?” tanyaku, prihatin atas sikapnya.
“Salahnya di mana?” tanyanya, dengan nada menantang. “Apa salahnya membantu orang lain dan mendapatkan bayaran?”
“Ya, jelas salah. Itu kan perbuatan terlarang. Ada ancaman pidananya. Apa kau tidak takut masuk bui?” balasku, tak habis pikir atas pandangannya.
Ia malah tertawa lepas. “Ini bisnis yang aman. Sudah menjadi rahasia umum di kampus-kampus. Mahasiswa dan dosen pun sama-sama tahu sebagai sama-sama pelaku. Jadi, perkaranya tidak akan sampai pada persoalan hukum. Memangnya kau pernah mendengar ada dosen atau mahasiswa yang masuk penjara karena persoalan begitu?”
Aku pun menggeleng-geleng. Merasa kesal atas kebengalannya. “Biarpun aman dan sudah menjadi rahasia umum, bukan berarti bahwa itu benar dan pantas untuk dilakukan,” tanggapku, tegas, lantas menuturkan kekecewaanku kepadanya, “Aku sungguh tak menyangka kau terlibat dalam perkara seperti itu.”
“Memangnya kenapa kalau dengan aku?” tanyanya, dengan sikap santai.
“Masalahnya, kau orang yang cerdas. Kau aktivis yang kritis. Dengan perbuatan seperti itu, kau telah mencoreng kredibilitas ilmiah dan prinsip intelektualitasmu hanya karena persoalan uang.”
“Terus, apa salahnya? Toh, secara pribadi, aku mengerjakan pesanan klien dengan kaidah penulisan yang baik dan benar. Aku bukan joki abal-abal yang dengan mudahnya mengopi dan mencampuradukkan karya orang lain tanpa analisis. Aku bukan seorang penjiplak. Aku selalu menggunakan daya pikirku untuk menuliskan pendapat-pendapat sebaik mungkin."
“Masalahnya, kau merelakan buah pikiranmu menjadi milik dan atas nama orang lain,” timpalku, menentang. “Jika Pramoedya Ananta Toer mengandaikan karya-karyanya seumpana anak-anaknya, apa kau mau anak-anakmu menjadi milik orang lain dan tak mengenalmu sebagai orang tua kandung?”
Ia malah mengangguk-angguk dengan raut mengolok. “Tak mengapa bagiku. Biarlah anak-anakku itu bebas bertualang dan menjadi milik siapa saja, asalkan mereka berguna untuk orang lain. Toh, kalau aku mengurung mereka atas nama diriku, mereka tidak akan berkembang, dan tidak akan memberikan banyak manfaat untuk khalayak,” tuturnya, kemudian tertawa pendek, lantas menandaskan, “Apalah arti sebuah nama.”
Aku akhirnya menyerah untuk mendebatnya.
Kami lantas saling mendiamkan. Sama-sama bergelut dengan isi pikiran masing-masing.
Selang beberapa saat, ia pun meminta penegasanku dengan sikap meremehkan, “Jadi bagamana, apa kau mau mengesampingkan idealisme kosongmu itu dan berkerja sama denganku?”
Aku lekas menggeleng. “Tidak, dan tidak akan pernah.”
Akhirnya, setelah perdebatan itu, hubungan kami pun sedikit mendingin. Kami kukuh pada pendapat masih-masing perihal nilai sebuah karya tulis. Ia tetap larut dalam kerja-kerja penulisan komersialnya, dan aku tetap berusaha menjaga kesucian ilmu pengetahuan. Tetapi perlahan-lahan, hubungan kami kembali menghangat, sebagaimana dahulu, kecuali bahwa aku selalu menolak pemberiannya dalam bentuk apa pun jika ia mendapatkannya dari hasil kerjanya sebagai penulis bayangan, dan ia selalu jujur padaku soal itu.
Pada hari-hari kemudian, demi cita-citaku sendiri untuk membangun nama baikku sebagai penulis, aku pun terus berusaha untuk menuliskan pendapatku. Sudah sering aku menuliskan keresahanku dalam bentuk opini atau esai, lantas mengirimkannya ke media massa. Namun akhirnya, sesering itu pula aku harus bersabar, sebab tulisan-tulisanku selalu saja tertolak.
Tetapi kurasa, tidak dimuatnya tulisanku di media mana pun, bukan berarti bahwa buah pikiranku tidak berkualitas. Alasannya lebih karena aku tidak punya titel dan identitas yang menjual. Paling tidak, begitulah hasil pencermatanku selama ini. Buktinya, pihak media sering memuat tulisan yang buruk hanya karena penulisnya punya nama dan pengaruh untuk mendulang perhatian publik.
Sampai akhirnya, pada satu hari, aku menemukan satu tulisan opini di koran, yang ditulis oleh seorang dosenku yang bergelar doktor. Pada awalnya, aku terkagum-kagum atas tulisannya yang kritis dan enak dibaca. Tetapi kemudian, aku harus meralat kekagumanku setelah Abil memberitahukanku bahwa opini tersebut adalah hasil karyanya untuk sang dosen.
Perkara serupa juga kutemukan dalam penulisan ilmiah. Setelah sekian lama mendalami literatur dan berdiskusi dengan para ahli, aku dan dua orang temanku kemudian menuliskan hasil kajian kami, tetapi karya kami itu tak juga dimuat di jurnal ilmiah. Hingga akhirnya, Abil menginformasikan kepadaku bahwa karya pribadinya dimuat di sebuah jurnal setelah menyertakan seorang dosenku yang bergelar profesor sebagai ketua peneliti.
Puncak kekalutanku atas perkara penulisan, terjadi pada beberapa hari kemudian. Saat aku tengah asyik mengerjakan ketikan skripsi di kamar indekosku, Abil tiba-tiba datang dan memerhatikan sebuah buku yang kujadikan rujukan. Ia lantas tertawa dan menerangkan bahwa buku atas nama seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri itu adalah alih wahana dari disertasi yang dikerjakan oleh seorang teman sejokinya.
Atas semua kenyataan tersebut, aku akhirnya sulit memercayai kualitas pribadi di balik deretan gelar-gelar ilmiah. Karya-karya atas nama ilmu pengetahuan, senantiasa kucurigai sebagai omong kosong yang berjubah penelitian ilmiah. Paling tidak, aku akan meragukan intelektualitas seseorang sebelum aku menyaksikan sendiri bahwa ucapan dan tindakannya bersesuaian dengan apa yang tertulis atas namanya.
Namun idealismeku demi ilmu pengetahuan, kemudian menjebakku dalam kesadaran yang dilematis. Kupikir-pikir lagi, pernyataan Abil memang benar, bahwa karya tulisku yang atas nama diriku sendiri, tidaklah lebih banyak memberi manfaat kepada khalayak ketimbang karya tulisnya yang atas nama orang lain. Pasalnya, buah pikiranku yang selama ini kuanggap bernas dan suci, nyatanya memang lebih banyak mendekam di dalam kamar atau laptopku. Sebaliknya, buah pikiran Abil yang kuanggap rendahan dan murahan, telah tersebar di mana-mana.
Tetapi kenyataan itu, tidak mampu juga mengubah sikapku. Paling tidak, aku yakin bahwa tindakan yang benar akan menuai berkahnya, dan tindakan yang salah akan menuai tulahnya. Aku yakin bahwa suatu saat aku akan mendapatkan kehormatan atas kekukuhanku menjaga kesucian buah pikiranku, sedangkan Abil akan merasakan penyesalan sebab telah mengadopsikan buah pikirannya kepada orang lain.
Sampai akhirnya, masa kutukan benar-benar datang. Abil perlahan menuai akibat atas tindakannya selama ini. Awalnya, seseorang kepala dinas pertanian di kampung halamannya ditangkap pihak kepolisian setelah mengorupsi dana bantuan pertanian, termasuk untuk petani di desa tempat tinggal kedua orang tuanya, sedang ia tahu bahwa kepala dinas tersebut pernah menjadi klien teman sejokinya untuk mendapatkan gelar magister.
Menyusul kemudian, seorang dosen hukum di kampus lain telah menjadi saksi ahli bagi pihak perusahaan tambang untuk mementahkan perlawanan hukum para petani di desanya yang menolak aktivitas tambang karena akan merusak lingkungan, sedang ia tahu bahwa dosen tersebut memperoleh gelar doktornya dengan disertasi yang diselesaikan oleh seorang senior di klub perjokiannya.
Belum lagi, telah bertebaran di dunia maya beragam pendapat politisi yang mengutip-ngutip hasil pemikirannya dan teman-teman sejokinya untuk membungkam kehendak rakyat, entah melalui forum pendapat umum, atau melalui penyusunan peraturan perundang-undangan. Padahal, ia adalah mahasiswa yang getol berdemonstrasi dan menentang kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat.
Sampai akhirnya, pada satu hari, ia pun datang ke kamar indekosku dengan raut wajah yang kuyu.
“Ada apa denganmu? Hari ini kau tampak kehilangan semangat. Apa kau kehabisan proyek?” singgungku, setengah bercanda.
Tanpa menjawab dengan kata-kata, ia lantas menyodorkan sebuah buku tentang hukum pelecehan seksual dengan nama dosen kami sebagai penulisnya, meski aku tahu bahwa penulis sesungguhnya adalah Abil, sebab sebelumnya, ia telah menceritakan soal itu kepadaku. Beserta buku tersebut, ia pun menyisipkan potongan cetakan berita tentang seorang dosen yang telah melecehkan seorang mahasiswinya, sebagaimana terbaca jelas di bagian judulnya.
“Ini untuk apa?” tanyaku, bingung.
Ia pun mendengkus lemah. “Baca saja.”
Aku lalu memerhatikan buku dan cetakan berita itu. Aku mencermatinya baik-baik. Sampai akhirnya, aku mengetahui bahwa sang dosen kami adalah pelaku pelecehan seksual seperti tertulis di dalam berita tersebut. Tetapi itu tidak cukup membuat perasaanku tersentak, hingga akhirnya aku membaca bahwa korban pelecehan memiliki ciri-ciri identitas dan inisial nama yang menggambarkan sosok kekasih Abil.
“Apakah ini Ratih?” tanyaku, menyebut nama panggilan pujaan hatinya itu.
Ia pun mengangguk lesu.
Sejak saat itu, aku melihat Abil mulai menginsafi perbuatannya. Tak lama kemudian, ia pun benar-benar berhenti untuk berurusan dengan aktivitas perjokian. Ia seolah telah menuai karma yang membuatnya jera atas pengkhianatannya terhadap prinsip-prinsip intelektual. Ia seperti telah menyadari bahwa pemikiran tak bisa dilepaskan dari kebijaksanaan pemikirnya, sehingga ia telah salah memberikan buah pikirannya kepada orang lain yang sekaligus mengalihkan tanggung jawabnya terhadap apa yang ia tulis.
Pada hari-hari berikutnya, kami pun mulai fokus untuk menyelesaikan kuliah di akhir tahun kelima kami berstatus sebagai mahasiswa. Kami senantiasa berjibaku dengan buku-buku dan saling berdiskusi untuk merampungkan tugas akhir kami masing-masing. Kami seperti punya semangat yang sama untuk menyempurnakan dan memuliakan skripsi kami sebagai karya agung untuk dunia akedemis.
Akhirnya, pada akhir tahun keenam masa kuliah, kami pun berhasil menyelesaikan semua tanggung jawab formal kami sebagai mahasiswa. Kami hanya perlu merampungkan dan mengumpulkan berkas-berkas, sembari menunggu prosesi wisuda. Hingga pada satu hari, kami pun bertandang ke perpustakaan untuk menyerahkan skripsi kami sebagai arsip yang akan berguna bagi mahasiswa lain sebagai bahan bacaan atau rujukan tulisan.
Tetapi akhirnya, kami pun terkejut setelah sampai di perpustakaan kampus. Lemari-lemari yang sebelumnya berisi jejeran skripsi, tesis, dan disertasi, terlihat kosong melompong.
“Skripsi-skripsi di sini, di mana, Bu?” tanyaku kepada seorang pegawai perpustakaan.
“Sudah dibawa ke gudang,” jawab sang pegawai.
Aku pun jadi penasaran. “Memangnya, skripsi-skripsi itu mau diapakan, Bu?”
“Kabarnya sih, mau ditimbang dan dijual ke pengepul barang bekas,” terang sang pegawai.
Aku sontak terkejut hebat.
“Kok, skripsi-skripsi diloakkan begitu, Bu?” sergah Abil, seolah tak habis pikir.
“Ya, mau bagaimana lagi. Ruang perpustakaan sudah terlalu sempit untuk menampung skripsi-skripsi itu,” tutur sang pegawai. “Lagi pula, sudah sangat jarang mahasiswa yang mau membaca skripsi-skripsi itu.”
Aku pun terenyuh.
Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).
Komentar