Deporestasi Aceh dalam Lima Tahun Terakhir
FJL bersama Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) serta Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengadakan kegiatan di Grand Arabia Hotel, Banda Aceh, Selasa (1/3/2022).

BANDA ACEH- Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) kembali mengadakan konferensi pers terkait Laju Deporestasi Aceh dalam Lima Tahun Terakhir dan Analisis Anggaran di Hutan Aceh.
Pada pertemuan tersebut, masing-masing narasumber brasal dari HAKA dan MaTA dengan analisis dari masing-masing lembaga. HAKA mengungkap ulasan deporestasi Aceh selama lima tahun terakhir, sementara MaTA mengupas dan menganalisis persoalan anggaran yang dimanfaatkan dalam pengawasan perhutanan di Aceh.
Luqmanul Hakim, narasumber dari HAkA dalam analisisnya memaparkan bahwa pembalakan hutan di Aceh selama lima tahun terakhir itu dinilai telah menurun dari tahun ke tahun atau berkurang berdasarkan metode tertentu.

“Untuk tahun 2015-2016, angka deporestasi di Aceh ini masih 21 ribuan hektar. Kemudian menurun 2018 mencapai 15 ribu hektar, tahun 2020 sebanyak 14 ribu hektar,” kata Lukmanul Hakim yang mereka kutip dari beragam sumber.
Tidak hanya itu, HAkA juga mengupas secara rinci kerusakan hutan alam yang terjadi di lima wilayah kabupaten di Aceh. Luqman menyebutkan seperti Aceh Tengah mencapai 3343 hektare, kedua Aceh Timur sebanyak 1910 hektarem kemudian Aceh Utara, Aceh Barat dan Gayo Lues peringkat lima.
Sementara itu Afrijal dari lembaga MaTA dalam kesimpulan akhirnya memberikan gambaran bahwa pemerintah Aceh dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) Aceh 2012-2032 mengurangi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA), termasuk penambangan ilegal dan konversi hutan. Hal ini terjadi akibat realisasi belanja publik, ketersediaan sarana dan prasana, serta sumber daya yang belum optimal.
“Selanjutnya, laju deporestasi di Aceh mencapai 19.443 hektare periode 2020 sampai Juni 2021 menunjukkan bahwa Aceh memiliki masalah dalam pengelolaan kehutanan,” ujar Afrijal.

Tidak hanya itu, berdasarkan pemaparan dan analisis yang dipaparka, sehingga menyimpulkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Aceh maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Pertama, Pemerintah Aceh dan DPRA diminta untuk meninjau kembali perubahan kewenangan DLHK sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang kaitannya dengan pagu anggaran.
“Perubahan kewenangan ini seharusnya diikuti oleh penambahan alokasi anggaran yang proporsional, mengingat sejumlah kewenangan sebelumnya berada dilingkup Kabupaten/Kota kini menjadi tanggung jawab provinsi,” ucapnya.
Kedua, Pemerintah Aceh wajib mengevaluasi menyeluruh terhadap kinerja pamnut, dan alokasi anggaran untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan yang menjadi tanggung jawab DLHK. Harus ditambah guna memaksimalkan peran pamnut dalam pelaksanaan pengamanan dan perlindungan hutan. Secara perinsip keberadaan pamnut menjadi penting.
Akan tetapi dari kondisi yang terjadi selama ini, pamnut belum menjadi andalan dan pengamanan dan perlindungan hutan disebabkan keterbatasan biaya operasional. Sehingga pamnut belum menjadi harapan publik. Evaluasi menjadi salah satu perbaikan efektifitas kinerja pamnut kedepan dalam menjaga hutan Aceh.
Sebelumnya koordinator FJL Zulkarnain Masry dalam laporannya juga menyampaikan data-data kerusakan hutan alam Aceh.
Masry menyebut, pemerintah Aceh dalam RPJP Aceh 2012-2032, sumber kerentanan bencana banjir berasal dari pembalakan liar di kawasan daerah aliran sungai, pendangkalan sungai, saluran drainase rusak, perubahan fungsin lahan tanpa sistem tatakelola yang baik.
“Artinya pemerintah Aceh sudah tau penyakitnya dan tentunya pemerintah sudah tau mengobati penyakit ini,” pungkasnya.
Dalam kegiatan ini, turut hadir anggota DPRA komisi II, Irfan Husen, Koordinator MaTA, kemudian dari dinas terkait dan juga insan pers.[]
Komentar