Dia yang Tak Percaya Covid-19
M Reza Pahlevi (21) terasa lemas kala mendengar hasil usap antigen Covid-19 di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Aceh di Banda Aceh medio September 2021 lalu.
Ia masih tak percaya demam tinggi dua hari sebelumnya itu adalah gejalah Covid-19. Sesaat kemudian, Reza yang masih terpaku diam di ruang Labkesda kembali disadarkan setelah disapa Tenaga Kesehatan (nakes).
"Silakan pilih isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit," ucap Reza menirukan nakes yang menyampaikan hasil usap saat ditemui di Banda Aceh, Selasa (26/10/2021).
Selama terinfeksi Covid-19, tulang dan persendiannya terasa nyeri, bernafas terasa perih, penciumannya hilang sama sekali, rindu keluarga pun jadi tak terelakan lagi.
Dahulu, pria berambut panjang ini adalah salah satu yang kekeh tak percaya Covid-19, tapi itu tempo dulu sebelum ia dirawat dan menjalani isolasi mandiri karena terinfeksi virus corona.
Mirisnya lagi, ia termasuk yang abai bahkan ikut menentang anjuran 3M dan vaksinasi sebagaimana yang dikampanyekan pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Usai dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19, Reza masih kelimpungan diliputi gunda gulana. Ia punya ibu dan seorang abang di rumah. Memutuskan untuk pulang sama halnya menyebar penyakit ke orang-orang yang paling ia cintai. Ia pun tak memilih opsi itu.
Di tengah kebingungannya, pria berambut panjang ini berupaya meminta solusi kepada beberapa teman terkait bagaimana proses isoman yang harus ia jalani selama lebih dari sepekan ke depan.
Syukur-syukur dapat kabar dari salah seorang kerabatnya bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Kesehatan setempat menyediakan tempat isolasi mandiri di salah satu hotel di ibukota Provinsi Aceh itu, namanya Hotel Hijrah Inn.
Semua kebutuhan mulai dari makan, tempat tidur hingga perawatan atau check up kesehatan setiap pagi dan petang, semua diberikan secara cuma-cuma alias gratis dari Pemko Banda Aceh di hotel tersebut.
Selama delapan hari menjalani isoman di sana, Reza mulai merenungi apa yang dipikirkannya selama ini tentang Covid-19 ternyata salah besar, bahkan sesat.
Covid-29 benar-benar ada dan siap menyerang siapa saja. Reza bercerita, jangankan yang abai prokes, yang taat pun kadang jadi korban.
Dan kalau sudah terinfeksi, semua serba tidak enak. Harus terkungkung untuk menghindari penularan terhadap orang-orang yang dicintainya dan berusaha menahan rasa sakit yang ditimbulkan dari serangan virus tersebut di tubuhnya.
"Sangat tidak enak dalam kondisi positif Covid-19. Hidung terasa sakit kalau lagi tarik napas, tidak enak di tulang. Seperti nyeri penyakit rematik, rapuh sekali tulang-tulang rasanya," jelas Reza menceritakan kondisinya selama isoman.
Ia juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemko Banda Aceh yang telah memfasilitasi isomannya mulai dari makan, tempat tidur hingga perawatan yang intensif selama delapan hari tanpa pungutan biaya apapun di sana.
Fasilitas isoman gratis di Hotel Hijrah Inn menjadi pemecah kebuntuan bagi Reza mengingat bila isolasi di rumah sendiri, ia punya orang tua yang sepertinya akan sangat rentan dan berbahaya bila tertular Covid-19.
"Saya gak tahu mau ke mana lagi kalau Pemko tak siapkan tempat isoman. Terima kasih banyak Pemko Banda Aceh," ungkap Reza menarik napas lega.
Reza yang kini menjadi penyintas Covid-19 bercerita, masa-masa isolasi memang sangat mengganggu dari sisi psikologis.
Ia sendiri mengaku di awal-awal, setiap harinya harus kuat berhadapan dengan pikiran-pikiran negatif, seperti apakah ia akan sembuh dari penyakit ini, bagaimana kalau Covid-19 yang dirasakannya semakin parah menyerang tubuhnya, hingga ia pun mulai terpikir akan ancaman kematian seperti yang membayang-bayangi pasien lain.
Dalam kondisi seperti ini, kata Reza, ketenangan dan meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah menjadi kunci melewati masa-masa sulit selama isoman. Seiring berjalannya waktu, ia mulai meyakini bahwa penyakit ini pasti akan sembuh, virus ini akan segera hilang dan ia pun akan bertemu kembali dengan keluarganya.
"Kepada temen-temen atau siapapun yang mungkin sedang menjalani isoman atau dirawat karena Covid, tetap semangat dan yakinlah bahwa kita akan tetap sembuh. Dari semangat itu menimbulkan hal-hal positif yang berdampak baik bagi kesehatan kita juga," ungkap Reza.
Ia melanjutkan, bagi para pasien yang sedang menjalani isoman, menjaga kesehatan adalah yang paling utama. Hal ini seperti mengatur pola makan yang baik, mengonsumsi obat dan vitamin yang diberikan dokter secara tepat waktu, serta mengusahakan untuk selalu berolahraga ringan agar keluar keringat yang berguna untuk meningkatkan imun tubuh.
"Ikuti semua yang dianjurkan nakes dan tetap tenang, insya Allah cepat sembuhnya seperti saya," kata Reza yang hanya menjalani isoman selama delapan hari.
Covid-19 Itu Nyata
Sudah 30 menit berlalu, mulutnya masih belum berhenti bercerita. Sesekali ia tepis rambut panjang yang kadang menutupi jidatnya. Malam itu ia begitu bersemangat menyampaikan pesan edukasi kesehatan, terutama untuk anak-anak muda agar menjaga diri dari penularan Covid-19.
"Percayalah Covid-19 itu nyata. Dia tidak menyerang kita, tapi menyerang lingkungan dan orang-orang yang kita cintai," kalimat itu yang selalu ia ulang-ulang untuk meyakinkan teman-teman di lingkungannya.
Ia bercerita, selama isolasi beberapa kali melihat pemandangan lansia yang tak boleh terpisah dengan tabung oksigen. Reza mensyukuri apa yang terjadi pada dirinya, tak perlu harus terikat atau ketergantungan oksigen dari pihak medis saat menjalani isoman.
Namun ia kerap terbayang kalau itu terjadi pada ibu dan orang-orang yang ia cintai, Reza seolah tak sanggup melihat itu dan kini lebih memilih apapun asal orang tua dan keluarganya tak tertular Covid-19.
Pasca-isoman, Reza mengaku kini minimal ke mana-mana tak lagi melepas masker, berupaya untuk selalu menjaga jarak dan menghindari kontak langsung dengan orang-orang.
"Kita anak muda ini aman, kena Covid paling demam dan hilang penciuman, kalau orang tua kita? Bisa-bisa hilang nyawa, soalnya mereka punya komorbid atau penyakit penyerta lainnya yang membantu memperparah Covid," ungkap Reza.
Beberapa orang masih saja keras kepala saat diingatkan Covid-19 karena tak percaya. Bahkan Reza mengaku, itu terjadi di lingkungannya sendiri.
Namun ia tak bosan-bosan mengingatkan bahaya virus ini karena dapat berdampak besar dan berakhir pada penyesalan bila yang jadi korban adalah orang-orang tersayang mereka yang memasuki usia senja.
"Saya suka bilang begini kalau ada yang protes keras saat diingatkan prokes. Bro, kalian belum pernah kena Covid ga akan tahu gimana rasanya diisolasi, sakit semua badan, bernapas tak enak dan harus terpisah dengan keluarga. Cukup saya saja yang sudah rasakan, kalian tolonglah prokes," ucap Reza menirukan dirinya saat mengingatkan teman-teman yang tak percaya Covid.
Bahkan hingga kini, anak bungsu dari dua bersaudara itu selalu menjauh dan berusaha tak menyentuh ibunya bila pulang dari luar rumah atau tempat main bersama teman-teman tongkrongannya.
Dari tak percaya virus corona, kini Reza berbalik menjadi orang yang sangat selektif dalam berinteraksi dan menjaga ketat prokes, minimal 3M sebagaimana anjuran pemerintah.
Dalam senyap, ia seolah jadi 'Duta Covid' di lingkungannya. Diam-diam berusaha meyakinkan orang di sekitarnya, "Kalian kuat, ibu kalian belum tentu tahan terhadap Covid," tutupnya. []