Eks Napi Laporkan Kekerasan di Lapas Narkotika Yogya ke Ombudsman

Waktu Baca 7 Menit

Eks Napi Laporkan Kekerasan di Lapas Narkotika Yogya ke Ombudsman
Ilustrasi. (Foto: iStockphoto/Motortion)

Sejumlah mantan narapidana (napi) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II A Yogyakarta mengadukan dugaan tindak kekerasan ke Kantor Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Istimewa Yogyakarta (DIY).

Mereka mengaku mendapatkan kekerasan dan perlakuan tak manusiawi dari para petugas lapas selama mereka berada di tempat pemasyarakatan tersebut.

Pengakuan itu diutarakan oleh Vincentius Titih Gita (35) warga Yogyakarta, seorang mantan napi yang telah bebas Oktober 2021 lalu.

Diceritakannya, banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penyiksaan yang terjadi di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.

"Banyak pelanggaran HAM di lapas, berupa penyiksaan. Jadi begitu kita masuk tanpa kesalahan apapun kita langsung dipukuli pakai selang, diinjak, (dihajar pakai) kabel juga, dipukul pakai penis sapi (yang dikeringakan)," kata Vincen, pada Senin (1/11/2021) dilansir dari Detik.com

Ia mengatakan, aksi kekerasan oknum petugas itu kerap dilakukan kepada napi yang baru masuk ke lapas narkotika. Termasuk dirinya yang dipindahkan dari rutan bersama 12 orang lainnya pada April 2021 ke lapas tersebut.

Setibanya di lapas narkotika itu, mantan napi ini mengaku disiksa selama tiga hari dan dimasukkan ke sel kering selama hampir lima bulan.

"Alasannya mereka, kita residivis. Padahal saat saya dikirim bareng 12 orang itu ada yang tidak residivis tapi mereka juga mengalami penyiksaan. Dan itu selama tiga hari itu kita disiksa dari siang sampai hampir subuh," katanya.

"Saya tanpa alasan yang jelas dimasukkan ke sel kering, jadi sel kering itu tidak bisa dibuka selama hampir 5 bulan. Saya tidak bisa menghubungi keluarga, saya di dalam sel. Saya mau mengurus cuti bersyarat juga kesulitan," tuturnya.

Dikatakan Vinsen, aksi kekerasan di dalam lapas hampir setiap hari dilakukan. Mulai dari pemukulan, berguling-guling hingga muntah, meminum air kencing hingga kekerasan seksual yakni diminta masturbasi dengan timun.

"Pemukulan itu hampir setiap hari dilakukan, dan sel napi jarang dibuka bahkan untuk kegiatan rohani sekalipun. Jadi paling parah ya penyiksaan di dalam lapas itu," ucapnya.

"Saya lihat sendiri (ada napi) tidak pakai kaos kemudian disuruh guling-guling (sampai) muntah dan muntahannya itu disuruh memakan lagi. Bahkan ada yang suruh minum air kencing petugas, dan ada timun isinya dibuang lalu diisi sambal dan diminta onani dan timunnya dimakan," tambahnya.

Bahkan ada yang sampai meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

"Ada yang meninggal, memang ada penyakit bawaan tapi (dari lapas) kesehatannya tidak diperhatikan sama petugas. Dia ada penyakit paru, tidak pernah dikeluarkan dari sel untuk berjemur dan obatnya telat. Cuma di RS (rumah sakit) beberapa hari dan balik ke ke lapas dua hari meninggal," katanya.

Vincen juga menunjukkan bekas luka penyiksaan yang dialaminya di bagian lengan, dada dan punggung. Selama enam bulan bekas penyiksaan itu masih belum hilang dari tubuhnya.

"Pelakunya oknum petugas (sipir), hampir semua. Ada dari KPLP (Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan) juga," ucapnya.

Tidak hanya Vinsen, mantan napi lainnya bernama Yunan juga menceritakan penyiksaan yang dialaminya. Bahkan, ia disiksa hingga lumpuh. Selama dua bulan ia tidak bisa berjalan.

Selain mendapat penyiksaan, ia ditempatkan di sel sempit selama waktu yang lama tanpa sekalipun keluar sel. Bahkan jatah makan napi juga dikurangi.

"Saya lama lumpuhnya lama itu. Kalau dua bulan ada itu, saya tidak bisa jalan. Kalau mukuli pada ngawur itu. Tapi kalau saya rasa kelamaan di sel, kurang gerak. Ruangannya kecil kapasitas lima orang itu pernah diisi 17 orang. Tidur miring-miring," kata Yunan.

Pelaku kekerasan itu, menurut Yunan, bukan hanya dilakukan oleh satu orang. Korbannya pun juga puluhan.

"Jadi setiap ada kiriman (napi) datang dipukuli. Setiap ganti regu (pengamanan) dipukuli," ucapnya.

Yunan yang sudah berada di lapas narkotika sejak 2017 dan bebas 2021 itu mengaku mendapat kekerasan pada pertengahan tahun 2020.

"(Penyiksaan itu) Semenjak pergantian KPLP itu, itu sekitar pertengahan 2020," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi DIY, Budhi Masturi mengatakan, pihaknya akan segera melakukan langkah-langkah klarifikasi ke pihak lapas narkotika.

"Apa yang disampaikan nanti akan diklarifikasi oleh tim. Tapi yang pasti secara kejadian mereka mengeluhkan berbagai perlakukan yang mereka rasa sebagai tindakan kekerasan selama interaksi pelayanan publik di lapas," kata Budhi.

Dari laporan yang diterima Kantor Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi DIY, jumlah korban kekerasan di lapas sekitar 10 orang lebih. Jumlah itu diperkirakan masih bisa bertambah.

"(Korban kekerasan di lapas)10-an ada. Tapi menurut mereka masih banyak," sebutnya.[mu]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...