Eksploitasi SDA, Akar Pelanggaran HAM di Aceh
Rentetan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) semasa konflik Aceh tidak hanya dipicu kepentingan politik. Selebihnya, pelanggaran HAM juga dipicu oleh eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) melimpah yang ada di seluruh Aceh.
Sejauh ini, hasil riset Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh di lapangan menemukan kasus pelanggaran HAM yang akarnya bersumber dari SDA. Di antaranya di kawasan Aceh Tamiang dan Aceh Timur.
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra dalam diskusi publik bertema ‘Pelanggaran HAM Berbasis SDA’, Jumat siang (12/3/2021) memaparkan, pola kekerasan di sektor SDA dipicu perampasan lahan.
Dalam rentang waktu tahun 1980-1990, beberapa perusahaan perkebunan mengambil paksa lahan masyarakat. Warga yang menolak untuk menyerahkan tanahnya lalu diintimidasi dan disiksa. Disini lah militer terlibat.
Adapun bentuk-bentuk pelanggarannya, merujuk pada perampasan lahan, pengusiran secara paksa, pembunuhan, penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan bahkan pembunuhan. "Kebanyakan kasus adalah perampasan, pemiliknya disiksa, sementara lahannya diambil paksa," ujar Hendra.
Dia menambahkan, riset tersebut dilakukan dalam tiga metode: riset literatur, kunjungan lapangan, dan mewawancarai narasumber. Pelanggaran itu ditemukan di Aceh Tamiang dengan 9 korban korban, dan di Aceh Timur 16 korban.
Belasan korban ini, sebutnya, hanya sampel dari puluhan bahkan ratusan korban kekerasan berbasis SDA di kawasan itu. Rata-rata merupakan warga yang dulunya tak mau menyerahkan lahannya untuk perusahaan. Perlu riset lanjutan untuk bisa mengungkap ini lebih utuh.
....berikutnya
Dari Jejak Exxon Mobil
Faktor SDA juga penting untuk digali lebih jauh dalam deretan peristiwa konflik Aceh. Hendra sempat mengungkit sepintas soal dugaan keterlibatan perusahaan minyak Amerika Serikat, Exxon Mobil dalam sejumlah pelanggaran HAM di Aceh Utara, melalui tangan aparat negara.
Kasus ini pernah menyentakkan perhatian publik awal 2000-an silam. Tepatnya, ketika pengadilan federal Amerika Serikat mengabulkan gugatan 11 warga Aceh terhadap ExxonMobil yang kala itu beroperasi di Aceh. Gugatan itu menyatakan bahwa ExxonMobil telah membeli perlengkapan militer untuk pasukan keamanan yang bertugas di proyek mereka, dan membayar tentara sewaan untuk memberikan nasihat, latihan, intelijen serta perlengkapan militer di wilayah proyek gas.
Keberhasilan gugatan itu dinilai sebagai terobosan, mengingat sebelumnya berkasnya mangkrak bertahun-tahun di pengadilan.
Melansir Down to Earth, kisah bermula saat Juni 2001 silam. Sebuah organisasi yang berkantor di Washington, International Labor Rights Fund, mengajukan gugatan ke pengadilan federal Amerika Serikat di Washington DC. Lembaga itu mewakili 11 warga gampong di Aceh, yang namanya dirahasiakan demi alasan keamanan. Sebagai tergugat adalah ExxonMobil Corporation, dua afiliasi perusahaannya di AS, Mobil Corporation dan ExxonMobil Oil Corporation, dan anak perusahaan di Indonesia, ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI).
Seperti terungkap dalam laporan studi kasus ini oleh International Center for Transitional Justice (ICTJ), para penggugat mencari keadilan dengan beberapa hukum yang berlaku di AS. Di antaranya Alien Tort Claims Act (ATCA), Torture Victims’ Protection Act (TVPA), dan undang-undang negara bagian untuk ganti kerugian (torts law) akibat tindakan seperti kematian yang diakibatkan kelalaian (wrongful death), penganiayaan, dan penahanan sewenang-wenang.
Sebagai respons terhadap upaya hukum dari Exxon Mobil dan desakan dari Departemen Luar Negeri AS, gugatan ATCA dan TVPA dibatalkan. Namun, pada Agustus 2008, seorang hakim di Pengadilan Distrik memutuskan bahwa gugatan terhadap Exxon telah mencukupi prasyarat untuk diteruskan ke pengadilan.
Praktis, terjadi tolak-tarik yang cukup kencang dalam penanganan kasus ini di AS. Mengutip laman Business-Human Right, pengadilan distrik di AS sempat menghentikan gugatan itu. Hakim pengadilan setempat sepakat pada mosi Exxon, bahwa para penggugatnya tak punya landasan untuk membawa kasus ini ke pengadilan AS.
Namun keputusan ini berbalik pada Juli 2011 di tahap banding. Pengadilan banding di AS dalam putusannya menegaskan, bahwa sebuah perusahaan tak akan kebal dari tanggung jawabnya berdasarkan ATCA atau klaim tuntutan asing.
Kendati putusan ini kembali dibalas mosi dari Exxon, pada September 2014, pengadilan federal AS memastikan bahwa para penggugat yang merupakan warga asal Aceh itu dalam melanjutkan tuntutan mereka terhadap Exxon. Dalam putusannya di tahun 2015, pihaknya mengatakan klaim penggugat cukup ‘menyentuh dan memprihatinkan’, karena itu dapat diproses selanjutnya.
“Hingga kini kasus tersebut masih berproses,” sela Hendra kepada para peserta diskusi.
Kasus ini pula yang membuka tabir kekerasan di sektor sumber daya alam di masa konflik Aceh, yang polanya ternyata persis terjadi di banyak wilayah lainnya di Aceh. Hendra menandaskan, kebanyakan peristiwa konflik dikaitkan dengan pelanggaran Hak Sipil dan Politik. Namun, riset ini membuktikan bahwa elemen ekonomi, sosial dan budaya telah mendompleng situasi konflik Aceh.
"Hal itu berdampak besar bagi keberlangsungan hidup rakyat Aceh," imbuh Hendra.
Untuk wilayah penelitiannya, Hendra mengungkapkan pelanggaran HAM yang terjadi salah satunya mencakup penangkapan sewenang-wenang. Ada beberapa warga diambil ke rumahnya, sebagian dipulangkan, dan sebagian lagi tidak. Bahkan juga terjadi pembunuhan.
"Dalam peristiwa tersebut adalah tiga orang yang dibunuh di Aceh Timur, karena tidak memberikan lahannya. Pembunuhan ini tak bisa dipandang sebagai hal biasa, sebab yang dibunuh merupakan tokoh masyarakat," jelas Hendra.
Biasanya, pembunuhan terhadap tokoh ditargetkan untuk meredam perlawanan masyarakat. Tapi menariknya, tambah Hendra, kendati tokoh masyarakat yang dibunuh, warga tak menyerah untuk mempertahankan lahannya.
Tak hanya itu, selain pembunuhan, ada juga pengusiran secara paksa tanpa ganti rugi lahan. Di Aceh Tamiang, warga disingkirkan dengan cara diracun sumurnya. “Pelaku melumpuhkan sumber penghidupan mereka, dari air.”
Ada beberapa dampak dari kekerasan tersebut. Ada tiga sisi, pertama dampak ekonomi. Hilangnya lahan perkebunan korban, yang sebelumnya menggantung hidupnya sebagai petani untuk kebutuhan keluarganya sehari-hari. Kedua, dampak dari sisi fisik dan psikis, dimana korban mengalami trauma dan sakit-sakitan. Bahkan ada yang terganggu kejiwaannya.
“Dan ketiga adalah dampak sosial. Korban tidak akan berani lagi berhadapan dengan perusahaan. Terlebih tidak percaya lagi kepada aparat keamanan dan perusahaan. Bahkan aparat yang menjadi tameng perusahaan tersebut,” ujarnya.
Hendra menjelaskan, warga gentar melawan perusahaan yang merampas lahan mereka lantaran stigma yang dilekatkan aparat kala itu. Siapa yang akan melawan akan dituduh sebagai PKI, ada juga yang dicap GPK (gerakan pengacau keamanan).
...berikutnya
Aparat Tameng Perusahaan
Penelitian KontraS sekaligus mengungkap peran aparat yang mengamankan perusahaan perampas lahan masyarakat, saat konflik di Aceh. Di beberapa perusahaan yang ada di Aceh, rata-rata memakai aparat, baik TNI dan Polri sebagai tameng. Padahal, perusahaan-perusahan tersebut tidak menjadi objek vital nasional.
KontraS menilai, sejauh ini satu hal yang belum bisa dicatut dalam pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam, yaitu bisnis militer. Ada beberapa perusahaan baik HGU atau lainnya yang dikawal langsung oleh tentara.
"Boleh jika TNI dan Polri menjadi pengawal perkebunan sawit, batu bara, dan perusahaan lainnya, bila itu sudah ditetapkan sebagai sektor objek vital nasional, dan unit satuannya sendiri, dan itu pun punya persyaratan yang ketat," ungkap Hendra.
Tak sampai di situ, ia juga membuka wacana untuk penelitian lanjutan terkait pembangunan pos militer di wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, ketika masa konflik silam. Namun penelitian ini perlu melibatkan pegiat lingkungan.
“Kita masih menduga ada korelasi pendirian beberapa pos militer di masa konflik yang berdekatan dengan akses sumber daya alam, namun perlu penelitian lebih lanjut,” duganya.
Tak Kunjung Selesai
Sementara itu, Wakil ketua Komisi Kekerasan dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Evi Narti Zain mengatakan bahwa situasi faktual yang terjadi hari ini merupakan pangkal dari peristiwa di masa lalu.
"Ketika yang di masa lalu tak diselesaikan, maka akan terbuka ruang impunitas terhadap pelaku dam kekerasan serupa akan terus berulang di masa mendatang,” kata Evi.
...berikutnya
Banyak kasus kekerasan masa lalu yang secara langsung atau tidak, ternyata berkaitan dengan sumber daya alam. Karena itu menurut Evi perlu metode yang lebih jelas untuk memetakan motifnya.
Ia mencontohkan peristiwa yang pernah dialami oleh masyarakat Lhong, Aceh Besar saat konflik dulu. Korbannya merupakan penebang kayu yang kala itu terpaksa memberikan setoran kepada pihak GAM. Namun di lain pihak kayunya malah dirampas TNI.
"Jadi, kondisi itu sedikit membingungkan karena semua pihak bermain dan yang jadi korban adalah masyarakat biasa," sahutnya.
Menanggapi riset KontraS Aceh, Evi mengatakan ini bisa menjadi pengantar awal untuk pengembangan riset lebih lanjut. “Dalam beberapa tahun kerja KKR Aceh, kekerasan yang kita data mencakup penghilangan paksa, penyiksaan dan sebagainya. Namun, untuk sektor SDA belum dilakukan secara khusus. Saya rasa ini perlu lebih spesifik lagi ke depannya,” sahut Evi.
Ia mengakui pengungkapan kebenaran di sektor SDA menjadi tantangan tersendiri bagi KKR Aceh. Bahkan, jika menarik lebih jauh sejumlah peristiwa konflik Aceh, banyak juga yang dipicu oleh keberadaan perusahaan yang menguras sumber daya alam dan berdampak pada ketidakadilan bagi masyarakat, sehingga ketika mereka melawan, militer menindaknya dengan kekerasan.
“Ini karakter yang banyak ditemukan dalam beberapa peristiwa dalam konflik Aceh, hanya saja, perlu ada metode yang lebih komprehensif untuk mencari keterkaitan antara keberadaan perkebunan itu dengan kekerasan yang terjadi, ini menarik. Saya berharap submisi serupa bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya yang fokus di isu sumber daya alam,” ujar Evi.
Masih Terjadi Saat Ini
Pada kesempatan yang sama, Divisi Advokasi lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, ke depan pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam akan terus terjadi di Aceh.
“Polanya yang masih dipraktikkan sampai hari ini, ada terjadi pengusiran masyarakat, apakah kehilangan lahan kelolanya atau pemukimannya yang hilang,” kata Nasir.
Nasir menjelaskan contoh kasus yang selama ini ditemukan, seperti di Kuala Seumayam, yang sampai sekarang masyarakatnya kehilangan tempat tinggal. Di beberapa tempat juga, luasan HGU ribuan hektar terbit begitu saja tanpa diketahui penduduk setempat.
"Faktor penyebab di lapangan yang Walhi dapatkan, terbatasnya akses data informasi bagi masyarakat," kata Nasir.
Menurutnya, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kontroversial, justru membuka potensi pelanggaran HAM ke depan. Dengan kemudahan perizinan yang menerabas standar-standar kelayakan lingkungan dan partisipasi masyarakat, potensi kekerasan hanya tinggal menunggu waktu.
“Terabaikannya hak atas air, udara bersih dan lahan produksi masyarakat tentu akan menjadi imbas,” tandasnya.
Editor: Fuadi Mardhatillah