Fenomena Baru Angin Geureutee Berdampak Buruk pada Kehidupan Manusia
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Aceh bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala (USK) menemukan fenomena baru Angin Geureutee yang dapat berdampak buruk terhadap kehidupan manusia dan juga tanaman.
Fenomena Angin Geureutee diamati pertama sekali oleh forecaster Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda. Diamati bahwa pada rentang bulan Juli-Agustus terdapat suatu fenomena angin foehn di wilayah pegunungan Geurute, Kabupaten Aceh Besar.
Dr. Yopi Ilhamsyah, peneliti USK mengungkapkan, fenomena ini mirip dengan fenomena angin Bahorok di Sumatera Utara; Angin Barudu di Sulawesi; Angin Gending di Probolinggo; Angin Kumbang di Cirebon; Angin Brubu di Makassar; dan Angin Wabraw di Biak.
“Penamaan Angin Geurutee sendiri didasarkan pada nama lokasi tempat fenomena tersebut terjadi,” kata Yopi, Rabu (28/7/2021) melalui siaran tertulis.
Berdasarkan data dua puluh tahun terakhir, kata Yopi, fenomena ini berdampak sangat signifikan terhadap kekeringan dan kerusakan tanaman di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh.
Massa udara basah juga dapat menyebabkan banjir di wilayah Aceh Jaya. Karena itu BMKG berkoordinasi dengan para ilmuan di FMIPA USK melakukan pengamatan lebih detail terhadap fenomena ini.
Lanjutnya, setelah melewati pengamatan dan analisis data yang tersedia, kedua institusi sepakat untuk mendeklarasikan fenomena ini. Sehingga publik dapat memahami dengan baik tentang fenomena ini serta dampaknya, khususnya masyarakat yang berdomisili di lokasi terdampak yakni Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya.
Budi Hutasoit, prakirawan BMKG menyebutkan, berdasarkan pengamatan pada beberapa kasus di Aceh Besar dan Pidie, hembusan kencang angin ini juga dapat merobohkan pepohonan beserta akarnya serta merebahkan tanaman padi. Dampak lain, timbul dehidrasi, hama tanaman serta penyakit seperti batuk, diare, muntaber dan kulit kusam.
“Kasus penyakit epidemik seperti malaria dan demam berdarah meningkat seiring memanasnya suhu di permukaan. Oleh karena itu, masa tanam padi, jagung dan sebagainya harus disesuaikan dengan fenomena alam ini, sehingga menghasilkan hasil panen yang lebih baik,” ungkap Budi.[acl]