FJL Ungkap Kejahatan Perburuan dan Kematian Satwa Liar di Aceh

Koordinator FJL, Zulkarnain Masry dalam pemaparannya menyebutkan, banyak temuan mengenai perburuan satwa liar selama tahun 2020-2021. Pelaku kemudian di ringkus oleh pihak kepolisian, bahkan hingga hari ini diantaranya masih ada yang berstatus DPO.

Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh Zulkarnain Masry. (Junaidi/Readers.ID) (Junaidi/Readers.ID)
Penulis:

Banda Aceh - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) mengadakan kegiatan Publikasi Hasil pemantauan penegakan hukum kasus perburuan dan kematian satwa di Aceh selama 2020-2021. Kegiatan ini diikuti oleh sejumlah insan pers, di Ivory Caffe, Seutui, Banda Aceh, pada Kamis (24/2/2022).

Koordinator FJL, Zulkarnain Masry dalam paparanya menyebutkan, banyak temuan mengenai perburuan satwa liar selama tahun 2020-2021. Pelaku kemudian di ringkus oleh pihak kepolisian, tetapi hingga hari ini diantaranya masih ada pelaku yang berstatus DPO.

“Kita berharap, teman-teman disini dapat nantinya melakukan publikasi dan kampanye dan advokasi terhadap isu-isu lingkungan yang ada di Aceh,” kata Zulkarnain.

Menurutnya, isu lingkungan sangat penting untuk terus dipantau oleh manusia karena lingkungan tidak bisa membela diri ketika mereka dizalimi oleh manusia.

Selama dua tahun terakhir, kata dia, FJL fokus mengungkap sebanyak 19 kasus dari 42 pelaku yang telah ditangani oleh penegak hukum terkait kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung di Aceh. Disebutkan, sebanyak 16 orang warga Aceh, 4 warga di luar Aceh dan sisanya (22 orang) tidak diketahui dari mana asalnya.

“Pada umumnya pelaku berperan sebagai agen, kurir dan eksekutor. Sedangkan pelaku diluar Aceh sebagai pembeli dan pengrajin bagian tubuh satwa,” sebut Zul.

FJL adakan Konferensi Pers Publikasi Hasil pemantauan penegakan hukum kasus perburuan dan kematian satwa di Aceh selama 2020-2021. (Junaidi/Readers.ID)

Sebanyak 20 orang divonis dibawah tuntutan 14 orang, sedangkan sisanya sesuai tuntutan. Zul menambahkan, tuntutan tertinggi adalah 4 tahun 6 bulan dan terendah 8 bulan. Sementara vonis tertinggi yaitu pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan vonis terendah penjara selama 6 bulan.

Dalam konferensi pers ini, sebanyak tujuh poin menjadi pandangan FJL dalam memantau dan mengungkap kejahatan yang terjadi terhadap lingkungan dan satwa liar.

Pertama, tahun 2020-2021, aparat hukum di Aceh menangani 19 perkara kasus perburuan dan perdagangan satwa. Namun mafia perdagangan saat ini masih belum tersentuh hukum.

Kedua, FJL menilai aparat hukum masih belum memiliki semangat yang sama dalam penanganan isu perdagangan dan perburuan satwa liar.

Ketiga, ditemukan putusan antara kasus tidak sama, meskipun secara materi barang bukti lebih banyak. Seperti kasus perdagangan 71 paruh rangkong, 28 sisik tringgiling, serta kulit dan tulang harimau dengan pelaku DA (petani) yang kemudian divonis 1 tahun 3 bulan. Sementara penampung akhir masih belum ditemukan.

Keempat, ditinjau dari besaran vonis, putusam paling tinggi 3,6 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Gajah di Aceh Timur. Sementara pembunuhan gajah di Pidie hanya dihukum 6 bulan penjara.

Kelima, rata-rata vonis dibawah tuntutan jaksa. Sedangkan jenis satwa lindung yang kerap diburu dan diperdagangkan diantaranya gajah, orang utan, harimau, siamang, beruang madu, rangkong dan tringgiling.

Keenam, eksekusi barang bukti juga masih perlu dipantau, baik dilepasliarkan ataupun dimusnahkan.

“Ketujuh, FJL berharap media memberikan ruang yang besar untuk pemberitaan konservasi,” jelas Zul.

Seperti diketahui, FJL merupakan forum Jurnalis yang rutin memberitakan tentang lingkungan di Aceh. Sejak berdirinya forum ini, FJL memfokuskan pada empat bidang, pertama isu kelautan dan perikanan, isu perkotaan, isu kawasan satwa dan lingkungan.

“Namun beberapa tahun terakhir, FJL fokus pada isu kawasan satwa dan lingkungan, tetapi untuk isu kelautan dan isu perkotaan kurang disentuh, namun juga akan dilakukan pada tahun 2022 ini,” tambah Zul.

Sementara itu, Ilham staf komunikasi lingkungan alam dan satwa Aceh dari HAKA (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh),  juga memberikan paparan. 

Menurut Ilham, ada beberapa hal yang mengganggu satwa liar sehingga berdampak dan berakibat terhadap masyarakat di Aceh, yakni adanya perburuan, ekspansi kelapa sawit dan penambahan illegal logging.

Yayasan HAKA, kata Ilham sangat mendukung dan terus melakukan kampanye agar kawasan Leuser dapat perhatian maksimal.