Hasil Rekomendasi Tim Inventarisasi dan Dokumentasi ODCB Makam Kuno di Bendungan Keureuto

Author

Waktu Baca 9 Menit

Hasil Rekomendasi Tim Inventarisasi dan Dokumentasi ODCB Makam Kuno di Bendungan Keureuto
Hasil Rekomendasi Makam Kuno Bendungan Keureuto, Aceh Utara. (Tangkapan Layar surat rekomendasi)

BANDA ACEH, READERS – Tim Inventariasi dan Dokumentasi ODCB Makam Kuno Terdampak Bendungan Keureuto di Aceh Utara dan Bener Meriah kini berakhir dan telah mengeluarkan hasil dalam bentuk rekomendasi.

Pihak tim Inventarisasi dan Dokumentasi pun mengeluarkan sejumlah hasil rekomendasi di Banda Aceh pada Senin (23/10/2023) lalu untuk ditindaklanjuti oleh Perusahaan dalam proses pembangunan Bendungan Keureuto tersebut. 

Koordinator Tim Inventarisasi dan Dokumentasi, Yudi Andika, S.S menyampaikan, bahwa setidaknya terdapat 7 rekomendasi dari hasil lapangan sejak 21-29 September 2023 lalu di Aceh Utara dan Bener Meriah.

“Terdapat sejumlah rekomendasi yang kita keluarkan dari Tim Inventarisasi dan Dokumentasi usai kegiatan dari lapangan, Aceh Utara,” kata Yudi di ruang kerjanya, Kamis (26/10/2023). 

Yudi berharap, rekomendasi yang rencana disampaikan dalam FGD di Lhokseumawe pada 19 Oktober 2023 lalu tersebut dapat membantu permasalahan yang saat ini terjadi yaitu temuan makam kuno di Bendungan Keureuto.

“Kita berharap dari rekomendasi yang telah kita keluarkan baik pelaksana Bendungan Keureuto maupun unsur masyarakat yang awalnya terjadi penolakan kita harapkan lebih mengerti terhadap hasil rekomendasi tersebut," ujar Yudi.

Cagar Budaya

Sebelumnya Yudi menyampaikan apresiasi kepada masyarakat Bener Meriah telah peduli terhadap Cagar Budaya. Namun kepedulian masyarakat terhadap cagar budaya tersebut mesti juga sesuai aturan berlaku atau Undang-Undang.

“Untuk masyarakat di Bener Meriah, kita mengapresiasi kepedulian mereka terhadap Cagar Budaya baik itu makam nenek moyang, makam pahlawan ataupun makam orang-orang yang pernah berjasa bagi bangsa kita, baik secara khusus dan secara umum,” ajak Yudi.

Ia menambahkan, bahwa ada langkah-langkah yang harus dilakukan jika kita menemukan adanya temuan Objek Diduga Cagar Budaya atau Cagar Budaya yang tekena dampak dari sebuah pekerjaan ataupun dari sebuah situasi maupun keadaan saat ini (Waduk Keureuto).

“Langkah-langkah tersebut selalu melihat dan mengacu pada undang-undang yang dibuat untuk mengatur regulasi terhadap cagar budaya yaitu UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,” ujarnya.

Dari pengamatan kita di lapangan, sambung Yudi, ada hal-hal pokok yang penting dan diutamakan melihat kepada urgensi-nya.

“Pelestarian cagar budaya meliputi banyak hal, perlindungan, penelitian. Cagar Budaya yang ada di tanah kita apabila terancam, sepatutnya dilakukan perlakuan yang diatur Undang-Undang,” jelasnya.

Sebutan “Pang”

Dalam kesempatan yang sama, selain mengupas soal Cagar Budaya, Yudi juga mengupas soal nama “Pang”. Menurut literatur dan referensi yang dia diketahui, bahwa nama “Pang” atau sebutan sebutan pang itu dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai singkatan dari Panglima. 

“Sehingga Pang adalah nama atau gelar bagi seseorang. Kapan gelar itu disematkan ke nama seseorang. Yaitu ketika seseorang tersebut mempunyai kemampuan khusus ataupun menjadi pemimpin dari pasukan-pasukan pada saat perang,”

Pasukan yang dipimpin oleh Pang ini jumlahnya mulai dari 5 orang sampai kepada 20 orang dan dibatasi jumlahnya. 

“Ketika jumlah pasukannya lebih besar lagi atau lebih dari 20 orang tidak dipanggil pang lagi melainkan Panglima,” sebutnya.

Gelar pang ini, katanya lagi, yang kita dapati sumber sejarahnya adalah bahwa awal “Pang” dipakai itu diperkirakan hadir ketika perang Belanda di Aceh pada 1873.

“Maka nama Pang dimulai baru dimulai sekitar 1880. 7 tahun perang Aceh berlangsung maka pang itu kemudian digunakan. Dan semua literatur nama pang digunakan hanya di Aceh Utara sementara di daerah lain sangat kurang. Baru kemudian pada setelah kemerdekaan, ‘Pang’ kemudian digunakan di berbagai daerah di Aceh seperti di Gayo, Alas dan wilayah lainnya,” ujarnya.

Berdasarkan literatur-literatur yang digali, pada 1888, pemberian nama pang tidak dikenal oleh masyarakat Aceh. Yudi kemudian melihat dari sisi Kamus Aceh-Belanda yang disusun Hussen Jayadiningrat (lahir 8 Desember 1886-12 November 1960).

Namun umumya nama "Pang" adalah untuk pawang hanya saja pawang kadang berubah dengan sebutan menjadi Pang.

Hasil Rekomendasi

Adapun hasil atau isi dari sejumlah rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pemindahan makam kuno dari lokasi rendaman ke lokasi Relokasi (lokasi inspeksi III) sudah diinventaris dan akan diusulkan sebagai Situs Cagar Budaya peringkat kabupaten ke Bupati Aceh Utara yang nantinya dapat ditingkatkan peringkatnya menjadi Situs Cagar Budaya peringkat Provinsi dan seterusnya.

2. Lokasi relokasi (lokasi inspeksi III) makam harus dilaksanakan penataan dan revitalisasi agar sesuai dengan etika pelestarian cagar budaya dan mudah diakses untuk peziarah dan kunjungan Iainnya.

3. Untuk makam kuno yang belum dipindahkan harus ditetapkan dulu sebagai Situs Cagar Budaya dengan tata cara:

(1) Makam kuno yang terdapat di Alue Tualang telah diinventaris dan dapat diusulkan menjadi Situs Cagar Budaya peringkat Kabupaten ke Bupati Aceh Utara; (2) Makam kuno yang terdapat di Alue Serdang telah diinventaris dan dapat diusulkan menjadi Situs Cagar Budaya peringkat Kabupaten ke Bupati Bener Meriah.

4. Pemindahan makam kuno yang belum dipindahkan dari lokasi rendaman dapat dilaksanakan pada 3 tempat yaitu: (1) Lokasi relokasi sesuai dengan lokasi makam yang telah dipindahkan atau; (2) Lokasi yang lebih tinggi pada wilayah yang sama dengan makam asal jika Pemerintah yang berwenang atas lokasi tersebut menyetujui dan menyanggupinya.

5. Pembuatan market sebanyak 2 (dua) buah sebagai usaha untuk menjaga dan memahami kesejarahan daerah tersebut sebelum menjadi bendungan dan setelahnya.

6. Pembuatan galeri/museum mini di lokasi basecamp sekarang yang menyimpan dan mendisplay pekerjaan bendungan beserta temuan makam kuno,

7. Penulisan Sejarah mengenai daerah yang menjadi genangan pada Bendungan Keureutoe.

Tim Inventarisasi dan Dokumentasi ini diketuai oleh Evi Mayasari A.K.S.,M.Si, kemudian dikoordinatori oleh Yudi Andika S.S (Sejarawan Disbudpar Aceh). Dalam tim juga dibentuk dua tim lainnya yaitu Tim I diketuai oleh Dedy Satria S.S (Arkeolog), dan Ketua Tim II diketuai oleh Toto Haryanto, M.Hum (Arkeolog BPK Wil I).[]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...