Hawa Jenggala dari Tepi Leuser
Sadar terhadap ancaman kerusakan yang terus mengintai belantara Leuser, sekelompok masyarakat gampong di perbatasan hutan memilih berpartisipasi dalam program restorasi. Mereka mulai menghijaukan kawasan tersebut dengan berbagai jenis tanaman. Tujuannya, hutan tetap terjaga dan masyarakat tetap bisa memanfaatkan hutan itu tanpa harus merusaknya.
Beberapa warga terlihat duduk berdiskusi di serambi bangunan berkonstruksi papan bercampur potongan-potongan bambu. Perbincangan yang berlangsung di Gampong Aunan Sepakat, Kecamatan Ketambe, Aceh Tenggara itu dipimpin seorang pria bernama Zulkarnain.
"Apakah ibu dan bapak sudah mulai mengerti dengan yang saya jelaskan?" tanya Zulkarnain meyakinkan.
Tak ada tanda untuk menyahut, selain suara desus yang sesekali terdengar di antara kumpulan pria dan wanita tersebut.
"Jadi tanaman apa yang sebenarnya bisa kami tanam di tempat kami?" tanya seorang pria kepada Zulkarnain.
"Jadi tanaman yang bisa ditanam bapak dan ibu, itu adalah jenis tanaman kayu keras. Itu bisa seperti pohon jengkol, kemiri, dan melinjo," jawab pria itu.
Zulkarnain merupakan kepala pos restorasi untuk Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) di Gampong Aunan Sepakat.
Ia sedang memberikan pemahaman mengenai restorasi atau upaya pemulihan keadaan hutan dari lahan perkebunan menjadi seperti semula kepada warga.
Pemahaman itu perlu disampaikan, mengingat gampong yang hampir seluruh masyarakatnya merupakan petani ini berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Wilayah yang terbilang sebagai hutan primer itu tidak dibenarkan untuk dikelola, dijarah, maupun dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan.
Antara pemukiman warga dan hutan yang menjadi habitat satwa maupun tumbuhan dilindungi tersebut hanya dibatasi oleh Sungai Alas. Sungai terpanjang di Provinsi Aceh.
"Sebenarnya ini kan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, terus masyarakat di sini memang mayoritasnya hampir 98 persen adalah petani yang hidup berdampingan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser," kata Zulkarnain.
Di sisi kiri dari balai tempat diskusi tadi, terdapat sebuah pondok beratap jaring plastik hitam. Di dalamnya tersimpan berbagai jenis benih tanaman kayu keras atau tahunan.
Balai yang dijadikan Pos Pemulihan Fungsi Hutan itu, adalah satu-satunya bangunan di kawasan tersebut. Selebihnya, lahan yang masuk kawasan Taman Hutan Gunung Leuser itu ditanami ratusan batang pisang.
Berselang waktu, gemuruh air dari alur Sungai Alas mengiringi bubarnya diskusi. Namun beberapa warga masih duduk di balai, sebagian melihat bibit jenis tanaman kayu keras.
Sementara, sebagian lainnya coba mempraktikkan langsung program restorasi yang baru saja disampaikan, yakni menanam bibit tanaman tahunan.
Zulkarnain mengatakan, gerakan restorasi bertujuan untuk mengembangkan kehijauan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang sempat digundulkan karena pembukaan lahan perkebunan.
"Untuk kegiatan restorasi kita di sini tujuan kita untuk pemulihan ekosistem," ujar Zulkarnain.
Berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi habitat satwa dan tumbuhan dilindungi, bisa jadi masalah tersendiri bagi Gampong Aunan Sepakat.
Zulkarnain menceritakan, sebelum dibentuk KTHK, konflik kerap terjadi antara warga dengan petugas dari instansi yang berwenang menangani kawasan tersebut.
Satu sisi, lahan perkebunan yang digarap warga memang bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser. Di sisi lain, masyarakat terpaksa melakukannya guna menghidupkan perekonomian.
"Ya profesi kami sebagai petani tetapi lahan yang bisa kami garap cuma ini. Gak ada lahan yang lain," kata pria berusia 34 tahun itu.
Konflik antara keduanya pun kemudian bisa teratasi setelah Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Wiratno mencetuskan suatu gagasan yang bisa dibilang cemerlang.
Menurutnya, perlu ada cara agar hutan tetap terjaga dan masyarakat tetap bisa hidup dengan memanfaatkan hutan tanpa merusaknya.
"Maka dicetuskanlah peraturan supaya petani-petani yang sudah terlanjur menggarap wilayah Taman Nasional Gunung Leuser, jangan diusir tetapi disuruh untuk menghijaukan kembali dengan tanaman-tanaman keras. Itu sebenarnya yang melatarbelakangi supaya munculnya --ide restorasi-- ini," ungkap Zulkarnain.
Sejak KTHK dibentuk pada 2020 silam, warga Gampong Aunan Sepakat yang dominan sebagai petani, terus dilakukan pembinaan dan pemberian pemahaman mengenai restorasi.
Kegiatan menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya hutan, bukanlah hal mudah. Mengingat lahan yang telah dikelola masyarakat bukanlah lahan baru, melainkan telah dikuasai 5-30 tahun.
Meski begitu, Zulkarnain dan anggotanya tak mau menyerah. Ia terus menerus meyakinkan masyarakat bahwa tindakan yang dilakukan warga bisa berdampak bagi kelestarian alam di masa depan.
Hasilnya, selama lembaga itu didirikan di gampong tersebut, sedikitnya ada 235,5 hektar lahan perkebunan milik warga yang rela dialihkan untuk pemulihan hutan. Jenis tanaman keras atau tahunan yang telah ditanam telah mencapai 9.000-an batang.
Lahan-lahan yang sebelumnya telah digarap masyarakat dengan tanaman musiman ini, kemudian diganti dengan tanaman kehidupan yang menghasilkan untuk masyarakat.
"Adapun jenis-jenis tanaman yang kita suruh itu mulai tanaman kemiri, durian, jengkol, petai, dan tanaman yang menurut minat masyarakat. Kalau masyarakat minat dengan tanaman kemiri, kita beri bibit kemiri. Kalau mereka minatnya tanam durian, kita kasih tanaman durian," ujarnya.
Abdul Gani, warga Gampong Aunan Sepakat menceritakan, sebelum bergabung dalam gerakan restorasi, dirinya memiliki sekitar dua hektare lahan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Lahan yang telah ia kelola selama delapan tahun tersebut, selama itu ditanami dengan tanaman muda atau musiman, seperti cabai maupun jagung, terkadang juga nilam.
Kesadaran akan pentingnya hutan di masa depan, membuat pria yang kini dipercaya sebagai Bendahara KTHK Gunung Setan itu rela mengganti semua tanaman perkebunannya.
Padahal sebelumnya, Gani mempunyai cerita kelam dengan petugas Taman Nasional Gunung Leuser, akan tetapi ego tersebut ditepisnya untuk kepentingan bersama.
"Pertamanya saya ke sana itu acuh tak acuh lah. Kayak dengar atau enggak --penjelasan anggota Taman Nasional Gunung Leuser-- lama kelamaan ternyata saya lihat dan apa yang dia bilang banyak manfaatnya dan di situ saya tertarik mengubahnya pelan-pelan," ungkapnya.
Kini, di lahan yang pernah dijadikan lahan perkebunan musiman milik pria berusia 34 tahun itu, telah ditanaminya dengan pohon durian, kemiri, jengkol, pinang, petai, dan ada juga sebagian manggis, duku, maupun langsat.
Kesadaran untuk mau melakukan restorasi juga dilakukan oleh Arifin. Ia kini telah menanami tanaman seperti durian dan jengkol di lahan satu hektar yang telah dikelolanya selama hampir 15 tahun.
Ketertarikan pria yang kini dipercaya sebagai Ketua KTHK Air Terjun tersebut terhadap gerakan restorasi berawal saat dirinya mengikuti musyawarah di gampong.
Dalam pertemuan itu, dipaparkan kerusakan hutan serta dampak positif dari terjaganya hutan bagi gampong di kemudian hari.
"Karena ada dukungan dari masyarakat maka terbentuklah restorasi di desa kita ini," ujar pria berusia 38 tahun tersebut.
Tak jauh berbeda dengan Gani dan Arifin, Abdul Latif (42) pun demikian. Sebelumnya ia tidak mengetahui program restorasi dan dampak terhadap gampong jika hutan di Taman Nasional Gunung Leuser rusak.
Pria yang berperan sebagai ketua KTHK Gunung Setan itu, kini telah menyadari bahwa lahan yang telah dimiliki dan ditanami dengan tanaman muda selama beberapa tersebut, bisa merugikan masyarakat luas.
"Kalau dipikirkan, ini dilakukan untuk kepentingan penghijauan," katanya.
Tak hanya lahan perkebunan saja yang rela diberikan untuk direstorasi, kini Gampong Aunan Sepakat juga telah membentuk kelompok kecil bernama Kelompok Tani Gunung Setan dan Kelompok Tani Air Terjun.
Dua kelompok yang terdiri dari 83 kepala keluarga ini, nantinya berperan melakukan restorasi dan pembinaan kepada warga lainnya agar tidak membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan.
"Melalui merekalah pesan-pesan kita disampaikan ke teman-teman yang lain. Nah jadi --kelompok-- petani itu kita katakan kau sudah mendapatkan ilmunya, maka kau sampaikan kepada kawan-kawan yang lain. Jadi penyebaran informasi itu kita buat seperti itu juga," jelas Zulkarnain.
Secara pribadi, Zulkarnain berharap gerakan restorasi yang telah mereka jalankan, tetap mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sebab, selama melakukan sosialisasi kepada masyarakat beberapa kendala ditemukan.
Di antaranya, banyak masyarakat yang belum paham dan minim pengetahuan tentang program restorasi. Oleh karena itu, perlu adanya studi banding bagi anggota dari setiap kelompok guna mempelajari cara meyakinkan masyarakat.
Selain itu, perlu adanya peralatan tambahan guna merawat tanaman restorasi seperti alat penyiram atau penyemprot tanaman serta diberikan bibit yang berkualitas.
Jika program restorasi nantinya berjalan dengan baik di Gampong Aunan Sepakat, Zulkarnain ingin gerakan tersebut juga diikuti oleh daerah-daerah lainnya, terutama daerah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.[]