Hilangnya Kemanusiaan Memenjarakan Penolong Pengungsi Rohingya

Anggota DPD RI asal Aceh, M Fadhil Rahmi menilai, hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta terlalu berat bagi nelayan yang didakwa kasus penjemputan warga etnis Rohingya di tengah laut pada 2020 lalu.
Menurut senator asal Aceh itu, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon pada 14 Juni 2021 lalu, dapat ditinjau kembali dengan melihat sisi lain agar hukuman terhadap kasus ini lebih bermartabat.
"Faisal (terdakwa) itu kan pion terdepannya. Bidak, banteng, menteri dan rajanya mana? Itu secara pelanggaran hukum (harusnya diproses)," kata Fadhil saat mengisi diskusi virtual yang digelar Pusat Penelitian Aceh dan Samudera Hindia atau ICAIOS, Kamis (1/7/2021).
Senator asal Aceh itu mengaku sudah bertemu dengan Anggota DPR RI Fadli Zon yang juga protes terhadap putusan tersebut dan bersama-sama komitmen mengawal kasus ini.
Fadhil juga melihat ada kekosongan hukum sehingga nantinya akan berupaya mendorong adanya regulasi yang lebih konkret di tingkat nasional.
Sementara Direktur Geutanyoe Foundation, Rima Shah Putra menilai, hukuman tersebut dianggap berat bagi komunitas nelayan kecil yang melakukan penyelamatan etnis Rohingya.
Putusan tersebut mengingatkannya pada kasus serupa yang menimpa nenek pencuri kayu bakar dan dihukum dua tahun penjara.
"Kalau dari perspektif hukum yang sempit, tentu saja perbuatan melanggar harus dihukum setimpal. Namun bila dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, ada konteks yang meringankan di situ," ungkap Rima.
Sementara, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra mengatakan, perlu penguatan terhadap nelayan sebagai antisipasi agar tak ada kekhawatiran masyarakat untuk menyelamatkan pengungsi etnis Rohingya di tengah laut ke depannya.
"Pada saat ada nelayan yang menyelamatkan pengungsi di tengah laut, hati-hati. Anda akan di-Faisal-kan," ungkap Hendra merujuk salah satu nama terdakwa.
Selanjutnya, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dr Muhammad Yakub berpendapat, penyelundupan manusia tidak terlepas dari isu pengungsi.
"Antara penyelundupan dan kemanusiaan ini saling berkaitan dan sulit dilepaskan. Stakeholder hukum perlu menimbang banyak aspek termasuk aspek kemanusiaan. Tapi hukum memang saklek, hitam di atas putih," ungkap Yakub.
Sementara, Direktur Eksekutif ICAIOS, Cut Dewi Ph.D mengatakan, diskusi publik tersebut merespon isu terkini di Aceh atau Indonesia dalam bingkai akademis, sebagai proses pembelajaran dan mendorong kebijakan yang lebih baik ke depan.
"Salah satu output dari diskusi ini adalah usulan penguatan regulasi baik di tingkat nasional maupun daerah, seperti undang-undang atau qanun yang khusus mengurus pengungsi," pungkasnya.
Sebelumnya diketahui Majelis Hakim PN Lhoksukon, Aceh Utara memvonis tiga warga Aceh dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider sebulan kurungan, karena terbukti melanggar Pasal 120 ayat (1) UU RI No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam persidangan, terbukti Shahad Deen bersama Adi Jawa (warga Aceh kini DPO) dan Anwar (warga Rohingya kini DPO) menyuruh Faisal, Abdul Aziz dan Afrizal alias Raja menyelundupkan rombongan etnis Rohingya dari tengah laut ke Kuala Idi, Aceh Timur.
Komentar