Ica, si Tukang Riset dari Tanah Gayo
Elicia Eprianda (19), putri seorang petani kopi di dataran tinggi Gayo telah membuktikan kiprahnya di kancah internasional. Hasil kerja kerasnya, Ica berhasil meraih medali emas pada kompetisi karya tulis ilmiah tingkat nasional bertajuk Online Science Project Competition (OSPC) yang digelar Indonesian Young Scientist Association (IYSA) di Bandung 2019 lalu.
Tidak hanya mengharumkan nama Aceh, gadis asal Kebayakan, Takengon, Aceh Tengah ini juga telah membuat merah putih bangga. Kemenangan ini pula yang membawanya lolos pada seleksi nasional peneliti muda Indonesia untuk berjuang di tingkat Internasional pada kompetisi karya tulis ilmiah bertajuk International Young Scientits and Exhibition (IYSIE) yang digelar Malaysia Young Scientist Organisation (MYSO) di Kuala Lumpur 2019 lalu.
Prestasi yang mahasiswa semester dua di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini tak lepas dari dukungan keluarga. Sang kakak, Indah Gustiani – yang kala itu masih di bangku SMA lolos seleksi proposal penelitian tingkat nasional pada ajang Indonesian Science Project Olimpiad (ISPO), 2014 lalu dan Ica masih SMP, menjadi panutan dan motivasi baginya agar bisa mengikuti jejak kakanya.
Berawal dari kejadian itu pula membuat Ica tertarik pada bidang penelitian karya tulis ilmiah sejak di SMAN 1 Takengon, 2018 silam. Hingga akhirnya dapat menghantarkannya berkompetisi di kancah internasional.
Kendati demikian, keberhasilan yang diraihnya itu tak berjalan mulus. Ica harus terlebih dulu tertatih-tatih menghadapi kegagalan demi kegagalan. Tetapi, bagi Ica, kegagalan itulah yang membuat dia terus bersemangat untuk meraih keberhasilan.
Ica tak pernah patah arang menghadapi kegagalan. Kuncinya, ungkap anak dataran tinggi Gayo ini, selesaikan apa yang sudah dimulai dan tidak memilih menyerah ketika dihadapkan dengan kegagalan.
"Sempat gagal berkali-kali selama ikut lomba. Saya berusaha untuk terus mencoba dan tidak berhenti begitu saja. Bagi saya kegagalan itu harus ditaklukkan, karena dari situlah kita dibentuk menjadi manusia kuat," ungkap Ica saat dihubungi readers.ID, Minggu (23/5/2021).
Adapun karya hasil penelitian yang menjadi andalan Ica yakni pengawet alami berasal dari buah andaliman. Pengawet alami temuannya ini mampu mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk pada ikan akibat kandungan Flavonoid.
"Tujuannya untuk meminimalisir penggunaan formalin berbahaya yang marak beredar di pasar saat ini," jelas Ica.
Perjalanan Ica menuju kompetisi tersebut tak semulus yang dibayangkan. Pasalnya panitia lomba hanya menyediakan Rp 5 juta. Sedangkan Ica bersama tim butuh Rp 16 juta lagi untuk akomodasi dan transportasi menunju Kuala Lumpur, tempat digelarnya kompetisi.
"Sempat disampaikan kepada kami untuk dibatalkan saja ikut lomba ini. Saya bersama tim menangis. Apalagi saya harus belajar sungguh-sungguh bahasa Inggris untuk bisa ikut dan mempresentasikan karya ilmiah ini dengan maksimal kepada dewan juri," kenang Ica lirih.
Tak patah arang, Ica bersama tim mengajukan proposal permohonan bantuan dana ke berbagai instansi pemerintahan di sekitar wilayah Aceh Tengah. Tak membuahkan hasil, hanya Rp 4 juta terkumpul, itu pun dari satu instansi saja.
"Bersyukur pihak sekolah akhirnya membantu kekurangan dana dari koperasi sekolah untuk mencukupi akomodasi keberangkatan. Kami sangat terbantu dan bisa menarik napas lega untuk berkompetisi di Kuala Lumpur," kenang Ica lagi.
Kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Ica bersama tim akhirnya berhasil menyingkirkan peserta utusan negara-negara se-ASEAN dan meraih medali emas pada kompetisi internasional yang digelar di Kuala Lumpur waktu itu.
Di kompetisi berbeda pada akhir 2019 lalu, anak dari pasangan Sahra Nanda dan Hamidah ini sempat lolos mewakili Indonesia di ajang Hong Kong Student Science Project Competition (HKSSPC).
Hal ini diketahui usai menyingkirkan 80 peserta dari berbagai sekolah se-Indonesia dan memenangkan Juara 2 Karya Tulis Ilmiah Bioteknologi Nasional - NIPC, 2019 lalu.
Namun alasan pandemi, kegiatan yang harusnya digelar di Hong Kong pada April 2020 itu terpaksa dibatalkan karena ditakutkan membahayakan para peserta.
Ica menyulap buah andaliman menjadi setting spray sebagai bahan penelitiannya dalam kompetisi ini. Setting spray berbentuk semprotan yang berfungsi untuk make up agar tak luntur dan tahan terhadap keringat, sebum (minyak pada wajah), serta tak luntur meski tergesek masker wajah saat pandemi.
"Bahannya mudah didapat dan harganya terjangkau. Tujuannya agar masyarakat terhindar dari produk kosmetik yang mengandung zat kimia berbahaya sekaligus menghemat pengeluaran untuk membeli produk kosmetik yang belum tentu aman juga digunakan," ungkap Ica.
Sepanjang perjalanan risetnya, Ica selalu meyakinkan diri bahwa sesuatu yang tidak tercapai pasti akan digantikan dengan yang lebih baik oleh Sang Pencipta. Kuncinya, mencintai apa yang ia impikan dan mencintai proses-proses yang harus dilaluinya.
"Ketika saya mencintai mimpi saya berarti saya juga harus mencintai segala prosesnya. Pemikiran inilah yang selalu saya tanamkan dalam diri saya agar tetap kuat saat harus berhadapan dengan gagal," ungkap Ica.
"Ica selalu ingat pesan ayah, katanya akan ada titik di mana kita berjuang itu merasa jenuh dan pengen nyerah. Tapi tetap jaga semangat, sabar dan percaya pada proses. Doa dan ucapkan yang terbaik, yakin pada kerja keras, semesta pasti mendukung mimpi kalian semua," ungkap anak sulung dari tiga bersaudara ini.
Ica mengungkapkan, hingga saat ini produk temuannya baru diperkenalkan dan digunakan di lingkungan sekolah seperti dewan guru dan teman-teman di sekitarnya, sebatas itu.
Wanita asal Aceh Tengah yang sudah mengharumkan nama Indonesia di tingkat dunia ini berharap, pemerintah membantu agar produk temuannya bisa masuk pasar dan menjadi ladang bisnis, sehingga berdampak bagi masyarakat luas dan membuka lapangan kerja.
"Harapan Ica, pemerintah dapat sedikit melirik untuk hal-hal seperti ini. Karena mengembangkan produk daerah atau dalam negeri tentunya dapat meningkatkan SDM dan menjadi wadah terbukanya lowongan pekerjaan bagi siapa pun," tambahnya.
Meski berasal dari provinsi paling barat Indonesia, gadis mungil asal dataran tinggi Gayo ini punya impian untuk melanjutkan kuliah S-2 ke luar negeri, pada Program Studi Social Work di Columbia University.
"Dan saya sangat berharap bisa mendapatkan kesempatan ini dari pemerintah, bisa S-2 dengan beasiswa LPDP dan kuliah di sana," pinta Ica.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini bercita-cita ingin menjadi dosen sekaligus peneliti yang ahli dalam bidang sosial.
"Sejak kecil memang punya cita-cita jadi seorang pendidik. Pengen jadi dosen karena menurut saya wawasannya lebih luas, bisa keluar negeri, belajar serta bertukar pikiran dengan banyak orang di sana," ungkap Ica.
Pemilik nama lengkap Elicia Eprianda itu berpesan, kepada siapapun yang sedang berjuang menggali potensi meraih mimpinya saat ini, tetap menjaga semangat awal sebagaimana dahulu memulainya. Sebab menurut Ica, setiap orang punya motivasi berbeda-beda dalam meraih kesuksesannya.
"Buat teman-teman yang mungkin saat ini sedang getir-getirnya mengejar mimpinya, kalaupun harus gagal di awal, jangan pernah berhenti apalagi menyerah. Jangan lelah untuk katakan, ya, saya akan terus mencoba," ujar Ica.
"Tetap yakin dan percaya Allah akan memberikan yang terbaik asal kita terus konsisten mengerjakannya. Lakukan dengan kesungguhan hati, insya Allah tidak ada usaha yang sia-sia. Tiap usaha menemukan jalannya sendiri, tiap kerja keras pasti menemukan hasilnya sendiri," pungkas Ica semangat.[acl]
Reporter: Sara Masroni
Editor : Afifuddin Acal