Karhutla, Krisis Air Hingga Emisi karbon

Deforestasi dengan pembukaan hutan untuk lahan perkebunan. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID
Penulis:

Hutan dapat menyerap banyak CO2, menebang pohon, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dapat berdampak besar pada perubahan iklim. Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara di dunia yang paling banyak kehilangan hutan selama dua dekade terakhir.

Sementara itu Karhutla dan deforestasi yang terjadi di Indonesia berlanjut pada laju yang mengkhawatirkan dan tidak boleh dipandang sebelah mata, karena berdampak serius terhadap upaya melawan perubahan iklim.

Berbagai penelitian menunjukkan 97 persen pakar klimatologi dunia menuliskan laporan ilmiahnya menyebutkan perubahan iklim dan pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia.

Karhutla yang terjadi setiap tahun sudah menjadi bahaya laten di Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Ada ribuan hektar hutan dan lahan terbakar yang menghasilkan emisi, terutama karbondioksida yang terkandung pada kabut asap terakumulasi di udara, sehingga membentuk gas rumah kaca menjadi pemicu perubahan iklim dunia.

Baca:

Analisa Dampak Lingkungan sekaligus Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Yeggi Darnas menjelaskan, kondisi perubahan iklim yang dipicu oleh emisi karbon dan pengalihan fungsi hutan saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Ia mencontohkan, salah satunya krisis ketersediaan sumber air baku di Mata Ie, Aceh Besar. Sebagai sumber air PDAM Tirta Mountala, kawasan Mata Ie tidak bisa lagi dijadikan sumber air satu-satunya bila tiba di musim kemarau. Pemicunya didominasi karena adanya pengalihan fungsi hutan.

Alumni Magister Teknik Lingkungan ITB itu meminta, pemerintah agar berhati-hati memberikan izin untuk pengalihan fungsi hutan. Karena selain berpengaruh terhadap perubahan iklim atau penyumbang emisi karbon, bila hutan sudah dibabat juga akan berdampak pada berkurangnya oksigen yang dihasilkan oleh hutan melalui proses fotosintesis.

“Kalau semua dikasih izin (pengalihan fungsi hutan) nanti bisa berujung fatal, karena akan banyak menyebabkan perubahan terutama pada sumber air baku untuk minum. Sekarang mungkin belum terasa, namun beberapa tahun lagi kita akan kewalahan,” ungkap Yeggi saat dihubungi readers.ID, Sabtu (4/12/2021).

Menurutnya, bila merujuk kebijakan, pada dasarnya sudah cukup mengatur hal itu. Meski demikian, terjadi tidak sinkronisasi antara kebijakan yang sudah dibuat dengan praktik di lapangan. 

Analisis dampak lingkungan ini mewanti-wanti, ada area yang menjadi hutan lindung dan hutan produksi, namun tiba-tiba dialihfungsikan karena alasan pembangunan.

Yeggi berujar, ke depan perlu komitmen dari pemerintah, stakeholder dan pemangku kepentingan serta investor, agar kebijakan yang sudah dibuat untuk ditaati dan dijalankan sebagaimana mestinya. 

“Peraturannya sudah ada dan lengkap, tinggal komitmen menjalankannya saja sebenarnya,” ucap Yeggi.

Luas Karhutla dalam lima tahun terakhir bikin mengernyitkan dahi. Data yang diakses readers.ID dari situs sipongi.menlhk.go.id menunjukkan, sepanjang 2016-2020 terjadi Karhutla seluas 16.116,31 hektar dengan tingkat emisi karbon dioksida yang terjadi sepanjang 5 tahun ini sebanyak 6.869.296 ton CO2e di Aceh. 

Hal ini bisa dilihat dari data luas Karhutla di Aceh sebanyak 9.158 hektar pada 2016, dengan tingkat emisi sebesar 2.859.378 ton CO2e. Luas kebakaran turun pada 2017 seluas 3.865 hektar, dengan emisi juga ikut turun sebesar 2.786.053 ton CO2e.

Luas Karhutla di Aceh pada 2018 kembali turun menjadi 1.284 hektar dan ini berkorelasi dengan tingkat emisi karbon dioksida yang dikeluarkan ikut mengalami penurunan menjadi 572.104 ton CO2e.

Pada 2019 luas Karhutla di Aceh mengalami penurunan drastis, yaitu hanya 730 hektar, begitu juga berhubungan erat turunnya tingkat emisi karbon dioksida sebanyak 281.520 ton CO2e.

Kemudian luas Karhutla di Aceh kembali melonjak pada 2020 seluas 1.078 hektar, begitu juga berkorelasi meningkatnya emisi sebanyak 361.241 ton CO2e.

Menyorot Komitmen Pemerintah

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengungkapkan, dunia investasi melalui UU Cipta Kerja semakin mengecilkan harapan terhadap pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Meski demikian, lanjutnya, negara diminta untuk selalu hadir memantau kegiatan-kegiatan bisnis yang tidak lagi sensitif pada lingkungan dan mengabaikan semua aspek lingkungan hidup, sosial dan bencana ekologis.

“Kita berharap pemerintah itu berkomitmenlah dalam menjalankan perlindungan, pengelolaan dan pemantauan kelestarian lingkungan. Saya kira itu komponen yang harus dipenuhi. Selama mereka menjalankan aturan tersebut ya tidak ada persoalan terhadap apapun yang dilakukan berkaitan dengan bisnis,” jelas M Nur saat dihubungi readers.ID, Sabtu (4/12/2021).

Ia memaparkan, selama ini Karhutla setidaknya dipicu oleh tiga hal, pertama faktor cuaca musim panas. Kedua faktor pengelolaan lahan yang didalamnya terlibat manusia antara yang membakar secara sengaja maupun tidak. Ketiga yakni faktor pembersihan lahan dilakukan di musim panas, hal ini sangat berisiko memicu Karhutla.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh itu menyampaikan, selain dapat menyebabkan Karhutla, pembukaan lahan secara serampangan dan berlebihan, baik itu yang dilakukan masyarakat maupun korporat, dapat berdampak pada pencemaran lingkungan dan mengancam konflik satwa manusia.

Kemudian pihaknya juga mendorong tidak ada tebang pilih dalam memahami, mengeksekusi dan menjalankan hukum, baik perusahaan maupun masyarakat biasanya. Sebab menurut M Nur, siapa pun dapat mengancam dan menjadi potensi pemicu karhutla bila membuka lahan dengan skala besar secara serampangan.

“Berbisnislah sesuai dengan daya dukung dan daya tampung, jangan memaksa misalkan wilayah tempat perlindungan satwa dipaksa untuk pembukaan kebun, kemudian membuka lahan secara serampangan dan berlebihan memicu karhutla, yang begitu saja sebenarnya dijaga untuk mengejar rezeki di wilayah yang sensitif bencana,” pungkasnya. 

Sementara itu Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Muhammad Daud mengatakan, penyebab Karhutla di Aceh didominasi ada masyarakat yang membuka lahan untuk perkebunan dan pertanian.

“Kalau kita lihat penyebabnya memang 90 persen lahan itu kondisinya dibakar untuk perkebunan dan pertanian oleh oknum masyarakat,” ungkap Daud saat ditemui readers.ID di ruang kerja, Jumat (3/12/2021).

Alasan pembakaran, lanjutnya, karena masyarakat tidak memiliki biaya dalam jumlah besar untuk membuka lahan dengan cara-cara ideal seperti penebangan secukupnya lalu ditanami bibit pertanian, kemudian pembersihan sisa penebangan idealnya dikelola menjadi pupuk organik atau menggunakan pola sekat bakar, bukan dengan cara tebang bakar.

Menurutnya, selama ini yang kerap dilakukan masyarakat, bila sudah membuka lahan, mereka membakar sisa penebangan yang kemudian berpotensi menjadi pemicu Karhutla dalam jumlah luas seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Aceh selama ini.

Selain pembukaan lahan, kata Daud, kebakaran juga dipicu oleh pembakaran sampah. Kemudian sisa api unggun yang ditinggal begitu saja seperti yang dilakukan para pemancing ikan di pinggir laut atau sungai, serta Karhutla dipicu oleh puntung rokok yang dibuang sembarangan.

“Tapi paling dominan memang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan,” jelasnya.

Lanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir belum ditemukan korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan hingga berujung pada pidana di Aceh. Kejadian korporat yang dibawa ke ranah hukum terakhir, masih kasus Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya yang dibakar PT. Kallista Alam pada 2012 lalu.

Kebijakan dan Pidana Karhutla

Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 20 Tahun 2016 menjadi dasar hukum pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Aceh. Pada pasal 9 disebutkan, petani perorangan dan badan hukum dilarang membuka hutan, lahan pertanian/peternakan atau perkebunan dengan pola tebang bakar.

Pada pasal selanjutnya disebutkan, petani perorangan dan badan hukum dalam kegiatan pembukaan atau pengelolaan lahan wajib dilakukan pembuatan sekat bakar.

Kemudian pada pasal 11 dijelaskan, pelaku pertanian tradisional yang akan membuka atau mengolah lahan, untuk kegiatan pertanian lahan kering, perladangan atau perkebunan paling luas 2 hektar, wajib melaporkannya kepada keuchik (kepala desa).

Mengenai sanksi, secara tegas melalui maklumat bersama antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kapolri. Maklumat tersebut menyebutkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan: 1) bahwa sesuai Pasal 187 menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam: 

a) dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

b) dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; c) dengan pidana penjara paling seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

2) Bahwa sesuai Pasal 188 menyatakan bahwa “Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati”.

Muhammad Daud berujar, selain memiliki Pergub, Pemerintah Aceh juga melalui DLHK sudah membentuk Brigade Karhutla yang ditempatkan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di dinas tersebut, dengan tugas melakukan untuk pengendalian karhutla di Aceh.

Selanjutnya di tingkat masyarakat, DLHK Aceh juga saat ini sudah membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA) yang bertugas ikut membantu pengendalian karhutla dengan melakukan pemantauan di masing-masing kabupaten/kota se-Aceh.

Pihaknya mengimbau, ke depan agar masyarakat tidak membuka lahan dengan cara serampangan tebang bakar. Hal itu, lanjutnya, mengingat sanksi pidana yang mengikat bagi oknum pemicu karhutla bukan main-main, bisa berujung penjara.

“Tahun ini (2021) belum ada yang dipidana karena karhutla, tapi tahun 2020 lalu ada dua kasus. Kita selalu edukasi ke masyarakat, harapannya jangan ada lagi yang dipidana karena kasus karhutla,” ungkap Daud.[acl]