Prof. Cut Dewi: Jejak Minyak Nilam dari Distilasi Tradisional hingga Pelestarian Warisan Arsitektur

Minyak esensial kini digunakan sebagai alternatif ramah lingkungan untuk melindungi bangunan bersejarah dari biodeteriorasi. Minyak seperti thyme, oregano, cengkeh, dan serai terbukti efektif melawan jamur dan bakteri pada material seperti batu, kayu, dan plester. 

Penulis:

BANDA ACEH, READERS—Minyak nilam, bukan hanya komoditas aromatik bernilai tinggi, melainkan juga menyimpan sejarah panjang yang terjalin erat dengan arsitektur kolonial dan pelestarian warisan budaya. 

Hal itu terungkap dalam paparan Prof. Dr. Cut Dewi salah seorang invited speaker dari Atsiri Research Centre Universitas Syiah Kuala dalam Konferensi internasional The 3rd International Conference on Patchouli and Essential Oil Research Innovation (IconPEORI) 2025, Kamis (4/9/2025).

Lebih lanjut ia sampaikan, minyak esensial ini sebagai komoditas telah memainkan peran penting dari masa ke masa.

Tanaman nilam berasal dari Asia Tenggara dan dikenal luas dalam pengobatan tradisional India dan Tiongkok. Namun, varietas yang digunakan saat ini tidak ditemukan secara liar di wilayah tersebut. Minyak nilam mulai dikenal di dunia Barat pada abad ke-19, setelah diperkenalkan ke India dari Filipina pada tahun 1834.

Distilasi dari Alkimia ke Industri

Teknik distilasi telah digunakan sejak 2000 SM di Mesopotamia dan Mesir untuk menghasilkan minyak aromatik berkualitas. Tokoh seperti Jabir ibn Hayyan dan Al-Razi berkontribusi besar dalam pengembangan metode distilasi yang kemudian menyebar ke Eropa melalui teks-teks Arab. 

"Revolusi Industri membawa inovasi besar, termasuk penemuan column still oleh Aeneas Coffey pada tahun 1830", ujar Dewi.

"Di Indonesia, khususnya Aceh, menjadi pusat produksi minyak nilam di era kolonial Belanda", ujarnya lagi. 

“Perusahaan Nederlandsch-Indische Landbouw Maatschappij (NILAM) memainkan peran penting dalam pengembangan dan ekspor minyak ini. Nama 'nilam' diyakini berasal dari singkatan nama perusahaan tersebut. Pada 1930-an, Indonesia menjadi eksportir utama minyak nilam dunia,” ujar Cut Dewi.

Minyak Esensial dalam Pelestarian Bangunan Bersejarah

Minyak esensial kini digunakan sebagai alternatif ramah lingkungan untuk melindungi bangunan bersejarah dari biodeteriorasi. Minyak seperti thyme, oregano, cengkeh, dan serai terbukti efektif melawan jamur dan bakteri pada material seperti batu, kayu, dan plester. 

“Penelitian sejak 1970-an menunjukkan bahwa minyak esensial dapat menggantikan biocides kimia yang berisiko merusak struktur warisan,” ujar Cut Dewi yang juga dosen di jurusan arsitek USK

Di wilayah tropis seperti India dan Sri Lanka, pelestarian manuskrip dan bangunan dilakukan dengan bahan alami seperti daun neem, kunyit, dan minyak dummala. Praktik ini kini dihidupkan kembali dalam konservasi modern, termasuk di Indonesia, sebagai bagian dari pendekatan berkelanjutan terhadap pelestarian warisan budaya.

Editor: Redaksi