Kenapa Rohingya Terus Mendarat di Aceh? Siapa Mereka Sebenarnya?
Hingga kini diperkirakan sudah tiga ribu orang lebih etnis Rohingya berhasil mendarat di Aceh. Awalnya mereka disambut bak saudara jauh, tapi belakangan bagai musuh.
BANDA ACEH, READERS – Etnis Rohingya berbondong-bondong melipir ke Aceh. Tercatat sejak pertama kali mendarat pada 2011 hingga terakhir pada 2 Desember lalu, sudah tiga ribuan warga “Palestina-nya Asia” itu berlabuh di Aceh.
Meski belakangan disambut degan penolakan, kehadiran mereka seakan-akan tak terbendung. Siapa mereka sebenarnya? Dari mana asalnya?
Menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), Rohingya adalah kelompok etnis minoritas muslim yang sudah berabad-abad tinggal di Myanmar.
Mnyanmar negara mayoritas penduduknya beragama Buddha. Sementara kebanyakan etnis Rohingya hidup di negara bagian termiskin Myanmar, yaitu Rakhine, yang justru didominasi agama Budha.
Secara historis, keberadaan Rohingya tak disukai oleh mayoritas penduduk Budha di Rakhine. Mereka dipandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain. Kebencian terhadap Rohingya itu pun meluas di Myanmar.
Tahun 1982 menjadi titik awal kehidupan suram bagi etnis Rohingya, ketika Pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan.
Undang-undang itu tidak memasukkan Rohingya sebagai ‘ras nasional’ Myanmar. Akibatnya, mereka menjadi populasi tanpa kewarganegaraan (stateless) terbesar di dunia.
“Sebagai populasi tanpa kewarganegaraan, keluarga Rohingya tidak memiliki hak-hak dasar dan perlindungan, serta sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, serta pelecehan,” tulis keterangan UNHCR.
Padahal, sebagian sejarawan mengatakan komunitas Rohingya sudah tinggal di Myanmar selama berabad-abad, hal yang diyakini komunitas Rohingya sendiri – bagian dari etnis di Myanmar.
Namun pendapat lain menyatakan mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir. Anggapan ini yang dijadikan dasar bagi junta militer – pemerintah di Myanmar – menyatakan mereka sebagai pendatang baru dari subkontinen India.
Masih menurut UNHCR, seperti dilansir BBC Indonesia, sejak etnis Rohingya tidak punya kewarganegaraan tapi masih tetap tinggal di Myanmar, semenjak itulah hari-hari mereka menjadi mimpi buruk.
UNHCR menyebut hidup dan kehidupan mereka selama puluhan tahun mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi di Myanmar.
Tak tahan menjadi “orang asing di tanah sendiri”, Rohingya perlahan-lahan mulai meninggalkan Myanmar pada 1990-an.
Puncaknya pada 2017, saat gelombang kekerasan besar-besaran di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih 742.000 orang – setengahnya anak-anak – mencari perlindungan di Bangladesh.
Peristiwa itu, menurut UNHCR, menjadi eksodus terbesar dalam sejarah Rohingya.
Seluruh desa dibakar, ribuan keluarga dibunuh atau terpisah, dan pelanggaran hak asasi manusia membanjiri laporan-laporan lembaga kemanusiaan.
“Lebih baik mereka membunuh kami daripada mendeportasi kami ke Myanmar,” kata seorang etnis Rohingya di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh, kepada BBC – lima tahun setelah eksodus.
Laporan UNHCR terbaru, per 31 Oktober 2023, sebanyak 1.296.525 pengungsi Rohingya mencari perlindungan ke sejumlah negara.
Bangladesh menjadi negara paling banyak menampung, yaitu 967.842 orang. Diikuti Malaysia (157.731), Thailand (91.339), India (78.731) dan terakhir Indonesia (882).
Meskipun jumlah yang masuk ke Aceh, Indonesia sedikit, tapi dalam satu pekan ketiga bulan lalu (per 22 November 2023), gelombang pengungsi Rohingya meningkat tajam, lebih dari 100%, dengan jumlah sekitar 1.000 orang.
Tiga Ribuan di Aceh
Sejak tahun 2011, Aceh telah menjadi destinasi pendaratan darurat bagi imigran Rohingya. Tercatat, lebih kurang mereka sudah 25 kali mencapai pantai Aceh dengan pendaratan pertama pada 16 Februari 2011.
Berdasarkan penelusuran READERS.ID dari berbagai sumber media lokal, nasional, dan laman resmi UNHCR, jumlah Rohignya yang sudah berlabuh di Aceh sejak 2011 hingga awal Desember ini mencapai 3.395 orang. Berikut rinciannya:
- 16 Februari 2011, Aceh Besar, 129 orang.
- 1 Februari 2012, Aceh Utara, 54 orang.
- 28 Juli 2013, Aceh Jaya, 68 orang.
- 27 Februari 2013, Lhokseumawe, 121 orang.
- 28 Maret 2013, Aceh Timur, 63 orang
- 7 April 2013, Aceh Besar, 80 orang.
- 28 Juli 2013, Aceh Jaya, 68 orang.
- 10 Mei 2015, Aceh Utara, 500 orang.
- 20 April 2018, Bireuen, 76 orang
- 4 Desember 2018, Aceh Timur, 20 orang.
- 24 Juni 2020, Aceh Utara, 94 orang.
- 7 September 2020, Lhokseumawe, 297 orang.
- 5 Juni 2021, Aceh Timur, 81 orang.
- 30 Desember 2021, Bireuen, 105 orang.
- 6 Maret 2022, Bireuen, 114 orang.
- 26 Desember 2022, Pidie, 174 orang.
- 16 Oktober 2023, Bireuen, 36 orang.
- 14 November 2023, Pidie, 194 orang.
- 15 November 2023, Pidie, 147 orang.
- 16 November 2023, Aceh Utara, 249 orang.
- 19 November 2023, Bireuen, 256 orang.
- 19 November 2023, Pidie, 232 orang.
- 19 November 2023, Aceh Timur, 36 orang.
- 21 November 2023, Sabang, 219 orang.
- 2 Desember 2023, Sabang, 139 orang.
Dari sebanyak 25 kali kedatangan itu, gelombang paling besar terjadi pada minggu ketiga November 2023.
“Kita menangani sebanyak 1.084 pengungsi etnis Rohingya sejak 14-21 November 2023," kata Kadiv Keimigrasian Kemenkumham Aceh Ujo Sujoto, di Banda Aceh, seperti dilansir Antara, Jumat (24/11/2023).
Data tersebut diperoleh Divisi Keimigrasian Kemenkumham Aceh berdasarkan hasil koordinasi bersama pihak UNHCR. Secara keseluruhan 1.084 pengungsi Rohingya itu terdiri dari pria dewasa 278, perempuan 341 dan 465 anak-anak.
Terakhir, sebanyak 139 pengungsi Rohingya kembali mendarat di wilayah pesisir pantai Ie Meulee Kecamatan Sukajaya Kota Sabang, dan mendapat penolakan dari warga setempat.
Mengapa Warga Aceh Menolak?
Awalnya, atau setidaknya hingga tahun 2022, masyarakat Aceh menerima dengan baik setiap ada Rohingya yang terdampar. Sambutan hangat warga Aceh atas asas “saudara seagama” itu bahkan diapresiasi oleh pihak PBB.
Namun ketika gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan, masyarakat Aceh mulai skeptis. Mereka dari mana asalnya, kok, sekali datang bergerombolan? Akhirnya, penolakan terjadi di sejumlah wilayah.
Di Kabupaten Pidie misalnya. Mereka menolak karena keberadaan pengungsi Rohingya dinilai melanggar “norma-norma yang telah disepakati”.
“Kedua, masuk mereka ke sini, tanpa konfirmasi dengan pihak setempat. Jangan kan dengan kami desa, dengan Muspika [aparatur desa] pun tidak pernah dibicarakan. Oleh karenanya, kami tidak dianggap pemerintah di [kecamatan] Padang Tiji ini, sehingga kami menolak,” kata Azwani, mengutip BBC Indonesia, Selasa (19/11/2023).
"Kami atas nama kemanusiaan, dia (Rohingya) orang Islam, sudah kami terima. Sekarang sudah cukup kami menerima.” Kata Teuku Muslim warga Pidie lainnya.
Sementara di Bireuen, kaum Rohingya dipaksa kembali ke boat karena tidak ada lagi tempat untuk menampung mereka. Hal ini sebagaimana diakui Kepala Desa Lapang Barat di Kabupaten Bireuen, Mukhtar Yusuf.
”Bukan masalah logistik, tapi masalah tempat. Ini kan tempat orang-orang nelayan aktivitas, saya rasa mengganggu,“ ujarnya kepada BBC.
Orang Palestina di Asia
Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Mayman, menyebut pengungsi Rohingya sebagai “orang Palestina di Asia”. Pihaknya mengakui ada ketegangan yang terjadi di lapangan.
“Kami menjelaskan alasan mengapa orang-orang melarikan diri. Mereka bukan penjahat. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan,” kata Ann, mengutip BBC Indonesia.
Ironinya. Sebagai “orang Palestina di Asia”, kejadian yang menimpa Rohingya tidak cukup mendapat perhatian yang serupa dengan korban konflik di Gaza, Palestina.
“Inilah masalahnya. Semua orang memalingkan muka dan menyebut mereka sebagai penjahat, yang sama sekali tidak benar,” ujar Ann.
Lantas kenapa mereka terus menyasar Indonesia? Ada dua penyebab menurut Ann Mayman.
Pertama, konflik di Myanmar makin buruk.
“Semua orang berkonsentrasi pada apa yang terjadi di Timur Tengah [Gaza] dan Ukraina, sehingga intensifikasi konflik senjata di Myanmar adalah sesuatu yang hampir tidak diberitakan,” kata Ann.
Kedua, keamanan di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, semakin memburuk: penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan.
“Para pengungsi tidak cukup terlindungi di Cox's Bazar. Ada peningkatan dalam insiden-insiden tersebut, sehingga mereka khawatir. Mereka takut. Itulah mengapa kami melihat peningkatan,” jelasnya.
Indonesia Bukan Negara Tujuan
Menurut Direktur Arakan Project, lembaga advokasi HAM Rohingya, Chris Lewa, “Indonesia bukanlah negara tujuan” bagi pengungsi Rohingya dalam mencari perlindungan.
“Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia,” sebut Lewa.
Kasus-kasus pengungsi Rohingya yang kabur di Aceh menguatkan pernyataan itu menurutnya. Pengungsi Rohingya yang berada di Malaysia mengatakan kepada BBC, bahwa ia ‘berani membayar Rp20 juta’ untuk mengirim saudara dari Aceh ke Malaysia.
Secara umum, komunitas Rohingya di Malaysia juga lebih banyak dan mereka bisa bekerja walaupun secara gelap.
Namun, belakangan ini, situasi keamanan makin memburuk di kamp Cox's Bazar, membuat pengungsi Rohingya memprioritaskan mencari keselamatan. Mereka pun berharap Indonesia mau menerima dan memberikan perlindungan.
Akan Terus Berdatangan
Pemerintah Indonesia melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal, dalam keterangannya mengatakan, “Kejadian semacam ini akan terus berulang selama akar masalahnya tidak diselesaikan, yaitu masalah Rohingya di Myanmar.”
Menurut catatan UNHCR, seperti laman www.unhcr.org, per Februari 2023, Indonesia sudah menampung 12.805 pengungsi dari 51 negara, dan sekitar 1.000 orang (8%) di antaranya adalah pengungsi Rohingya.
Situasi pengungsi Rohingya menjadi perhatian semua negara di kawasan ini. Hal ini membutuhkan tanggapan kolektif dan pembagian tanggung jawab diantara negara-negara di seluruh Asia Pasifik, untuk mendukung negara-negara yang telah menampung pengungsi Rohingya dan untuk memberikan ijin pendaratan bagi pengungsi Rohingya yang menghadapi kesulitan di tengah laut.
Tanggungjawab Siapa?
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh menyatakan, “terkait pengungsi Rohingya, Perpres 125/2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri harus jadi rujukan," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama, di Banda Aceh, Selasa (5/12/2023), mengutip aceh.antaranews.
Dia mengatakan, tim pemantauan Komnas HAM RI telah terjun ke empat lokasi penampungan sementara pengungsi Rohingya di Aceh, yaitu Eks Kantor Imigrasi Lhokseumawe, SKB Cot Gapu Bireuen, Pante Kulee Bate dan Mina Raya Padang Tiji, Pidie.
Sebelum ke lapangan, kata dia, tim pemantauan juga bertemu Pj Gubernur Aceh, Forkopimda Lhokseumawe, Bireuen, Forkopimda Pidie, UNHCR dan IOM.
"Secara umum, Pj Gubernur Aceh menyampaikan kepada tim bahwa pihaknya dengan alasan kemanusiaan akan menampung sementara para pengungsi sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat," ujarnya.
Terkait kedatangan para pengungsi Rohingya dan fenomena resistensi yang terjadi saat ini, Sepriady mengatakan, semua pihak terkait hendaknya terus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab penanganan pengungsi dengan mengacu pada instrumen hukum yang tersedia.
Maksud Sepriady adalah penanganannya harus sesuai Perpres 125, merujuk pada ketentuan internasional yang berlaku umum dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Semua pihak, tegasnya, mesti konsisten melaksanakan aturan yang tersedia, mulai dari penemuan, penampungan, pengamanan dan pengawasan keimigrasian.
Mereka Tidak Bahaya
Terbaru, UNHCR memberikan “pesan damai”. Lembaga PBB yang mengurus pengungsi ini menyatakan pengungsi Rohingya tidak datang ke Indonesia untuk mengeksploitasi Indonesia atau keramahan masyarakat Indonesia.
“Mereka datang karena keputusasaan yang disebabkan oleh meningkatnya kasus pembunuhan, penculikan dan situasi berbahaya di tempat mereka tinggal sebelumnya.”
Demikian kata Juru bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima dalam pernyataan tertulis kepada media di Jakarta, Sabtu (2/12/203) lalu.
Menurut Mitra, pengungsi Rohingya sudah mengetahui dan selalu diingatkan UNHCR bahwa mereka adalah tamu di Indonesia; mereka wajib mengikuti hukum dan adat istiadat yang berlaku di Indonesia.
“Semua negara, termasuk Indonesia, mengakui bahwa mencari suaka adalah hak asasi manusia dan negara wajib memberikan perlindungan kepada pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya,” kata Mitra.
Di Indonesia, lanjut Mitra, berlaku Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 mengatur penerimaan dan penanganan pengungsi di dalam negeri.
Mitra juga menjelaskan keberadaan UNHCR di Indonesia untuk membantu pemerintah menangani masalah pengungsi termasuk mencari solusi.
Selama pengungsi tinggal di Indonesia untuk sementara waktu hingga solusi jangka panjang ditemukan bagi mereka, UNHCR berkoordinasi dengan pihak berwenang.
Selain itu, lembaga PBB itu juga bekerja sama dengan mitra kerja, donor serta pemangku kepentingan lain, untuk memastikan kebutuhan pengungsi terpenuhi dan hidup bermartabat. Lalu Mitra menegaskan:
Pengungsi Rohingya sebenarnya orang-orang yang tangguh. Jika diberi kesempatan, mereka pasti ingin berkontribusi kepada masyarakat di mana mereka tinggal saat itu.
UNHCR dan para mitra kerja berupaya mendukung masyarakat setempat yang menampung pengungsi Rohingya melalui aktivitas penguatan masyarakat.
"Kami juga melibatkan masyarakat setempat dalam menangani pengungsi,” katanya.
Terakhir, Mitra bilangnya begini: pengungsi Rohingya sebenarnya tidak ingin meninggalkan Myanmar.
“Kebanyakan pengungsi Rohingya mengaku kepada UNHCR bahwa mereka berharap bisa pulang ke Myanmar jika kondisinya memungkinkan,” bebernya.[HSP]
Editor: Hendra Syahputra
Sumber: Dari Berbagai Sumber