Ketika Perempuan Mempunyai Perasaan

Husaini Algayoni
Penulis:

Oleh : Husaini Algayoni*

Di belahan dunia Barat, kedudukan perempuan dianggap sebagai makhluk lemah tak berdaya, pergerakannya dibelenggu oleh otoritas laki-laki sejak 1560-1648. Bangsa India juga dalam aturan Manu, memposisikan perempuan sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya.

Sementara itu, Islam memberikan keistimewaan dan kemuliaan bagi perempuan. Kehormatannya sangat mahal nilainya dalam pandangan Islam, bagaikan mutiara yang memiliki nilai tiada tara. Di lain sisi perempuan tersandung adat dan budaya di beberapa negara Islam; diskriminasi hadir yang sangat merugikan perempuan.

Perempuan ditutup ruangnya untuk bersuara dan tak bisa melawan atas kehendak laki-laki yang paling berkuasa. Selain itu juga adat budaya membawa perempuan pada ketertindasan yang menyedihkan, hilang fitrahnya sebagai manusia normal.

Ketika perempuan mengalami ketidakadilan, lahir pejuang yang membela hak-hak perempuan, seperti Nawal el-Saadawi dari Mesir yang terkenal dengan karyanya “Perempuan di Titik Nol” dan di Indonesia ada Kartini dengan karya masyhurnya “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

El-Saadawi bersuara di jalan raya hingga usia senja menghampirinya, perempuan pemberani satu ini menggoreskan pena bagaikan peluru yang keluar dari moncong senjata, mematikan. Para penguasa panas dan tak enak mendengar goresan pena dari El-Saadawi dan ia pun dijebloskan ke jeruji besi.

El-Saadawi, ikon perempuan dalam perjuangan bagi perempuan internasional, ia menulis untuk menentang ketidakadilan kepada kaum perempuan di negerinya sendiri, dan umumnya seruan untuk perempuan secara global. Baginya menulis adalah nafas, bersuara, dan ekspresi diri. 

Di Indonesia juga ada pada sosok Kartini, seorang gadis berdarah Jawa keturunan terhormat yang memegang teguh adat memingit. Kisah perjuangannya tersimpan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dicetak pertama kali pada 1945. 

Kartini, sosok yang peduli terhadap pendidikan, suka belajar, gemar membaca dan menulis, suka maju dan dia tahu masih banyak pengetahuan yang dapat dipelajari namun keadaan masyarakat ketika itu masih memegang adat istiadat yang tidak membolehkan perempuan berpelajaran dan tidak boleh bekerja di luar rumah.

Hati Kartini sakit dan merasa kesepian ketika dipingit oleh keluarganya. Dari itu, ia membuka jalan, merombak adat kebiasaan, dan memperjuangkan kedudukan perempuan agar mendapat pendidikan dan pekerjaan di luar rumah tangga. 

Bagi Kartini perempuan harus diberi akses untuk belajar dan punya pendidikan, ketika perempuan berpendidikan maka bisa mendidik anak dan mengurus rumah tangga dengan baik. Hal yang perlu diketahui ialah mendobrak tradisi tidaklah mudah,  Kartini melakukan itu dengan perjuangan, walaupun hanya dengan pena.

Buku menarik “Para Perempuan Perkasa: Tokoh-tokoh Wanita Berpengaruh Abad ke-20” ditulis oleh Ready Susanto. Buku ini mengulas kisah hidup perempuan abad ke-20 yang memperlihatkan peran perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. 

Hal ini antara lain terlihat dari semakin luasnya lapangan kegiatan yang dimasuki perempuan pada abad ke-20. Bidang-bidang yang dimasuki perempuan dalam buku ini, seperti seni, hiburan (akting), sastra, ilmu pengetahuan, reformasi sosial hingga bidang politik.

Dari 250 perempuan dalam buku ini, nama-nama familiar seperti Virgina Woolf, Hannah Arendt (filsuf politik), Margaret Teacher yang dijuluki tangan besi, Helen Keller, Cut Nyak Dhien, RA Kartini, dan penerima hadiah Nobel perdamaian pada 1931, Jane Adams. 

Kehidupan yang menginspirasi perempuan dunia lainnya datang dari perempuan buta dan tuli, namanya Helen Keller. Orang memiliki mata yang sempurna, buta mata hatinya. Orang memiliki pendengaran yang sempurna, tuli perasaannya. Bisa melihat dan mendengar dengan sempurna, tidak mempunyai perasaan dan pikiran.

Helen Keller, perempuan buta dan tuli tetapi mempunyai perasaan dan pikiran. Sebagaimana yang diucapkannya “Jauh lebih baik berlayar selamanya di malam kebutaan, tetapi mempunyai perasaan dan pikiran, daripada hanya berpuas diri dengan kemampuan untuk melihat semata.”

Dengan kalimat singkat tersebut seolah-olah Helen menampar dengan lembut dan mengajarkan kepada semua yang bisa melihat dan mendengar dengan sempurna agar mempunyai perasaan dan pikiran dalam kehidupan. Ketika melihat bukan hanya sekedar melihat dan mendengar bukan hanya sekedar mendengar.

Pada 1900 Helen menjadi mahasiswa buta-tuli pertama di Radcliffe College. Pada 1903, Helen menulis buku The Story of My Life (Kisah Hidupku) yang disambut luar biasa oleh masyarakat dunia dan diterjemahkan lebih dari 50 bahasa.

Pada 1904, berhasil meraih gelar diploma, sesuatu yang belum pernah diraih oleh orang seperti dirinya dan pada 1913 Helen berpidato di depan publik, Montclair, New Jersey.

Dari sini karirnya sebagai pembicara publik hingga perjalanan hidupnya difilmkan pada 1955. Helen adalah ikon yang nyaris tak tergantikan bagi penderita cacat tubuh yang berhasil melampaui batasan-batasan raga, bagaikan cermin bening untuk mengaca dan berintrospeksi. Helen Keller, salah satu tokoh dunia besar yang mungkin tidak banyak diketahui orang.

Ketika organ mata dan telinganya berhenti berfungsi, ia mengoptimalkan fungsi indra peraba, penciuman dan pengecapnya. Belajar melihat, mendengar dengan bantuan tangan, hidung dan lidahnya. Kepekaannya semakin terasah dan memiliki pikiran yang sering kali lebih bijak dibandingkan orang lain yang lebih sempurna.

Hal itu dikarenakan penyelamannya yang sangat intens di pedalaman rasa. Tanpa imajinasi, alangkah menyedihkan duniaku ini! Tamanku hanya berupa sepetak tanah sunyi berisi kayu-kayu beragam bentuk dan bau, demikian kata Helen.

Bagi seorang yang mengalami keterbatasan seperti kebutaan dan ketulian, orang beranggapan bahwa secara moral tak mempunyai hak untuk berbicara tentang keindahan, langit, pegunungan, dan warna. Karena itu, Helen ingin menampakkan bahwa ia eksis, ia ada dan hadir di tengah-tengah kehidupan manusia.

Ada yang berbeda antara orang buta dan orang yang bisa melihat, yang berbeda bukan pada indra akan tetapi bagaimana cara memakai indra tersebut dan pada imajinasi serta keberanian yang digunakan untuk mencari pengetahuan yang melampaui indra. 

Di sini keunggulan Helen dalam memakai dunia batin yang mengalahkan orang-orang yang mengagungkan kemampuan indrawi, ia mengatakan sebenarnya lebih sulit mengajar orang pandai tentang bagaimana cara berpikir daripada mengajar orang buta untuk bisa “melihat” kemegahan air terjun.

Ia pernah bepergian dengan orang yang matanya sempurna, tetapi ia gagal melihat keindahan hutan, lautan, angkasa; tak melihat apapun di jalan-jalan kota atau di buku-buku. 

Kata Helen, alangkah sia-sianya penglihatannya! Maka dari itu Helen mengatakan “Jauh lebih baik berlayar selamanya di malam kebutaan, tetapi mempunyai perasaan dan pikiran, daripada hanya berpuas diri dengan kemampuan untuk melihat semata.”

Perempuan pada awalnya dibelenggu oleh otoritas laki-laki, hari ini dunia telah memancarkan cahaya keberanian pada perempuan untuk bisa berekspresi yang dapat membawa keindahan dan mampu mengungkapkan suatu makna. Hal itu, tak lepas dari suara hati yang jujur yang mempunyai perasaan.

Penulis, Tenaga Pengajar di Pesantren Terpadu Semayoen Nusantara Bener Meriah.