KPH dan Bencana Alam

Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan lainnya telah terjadi hampir di seluruh Indonesia, tak terkecuali Aceh. Selain itu masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga masih belum berada dalam kondisi sejahtera, selama ini mereka yang sering terdampak..
Kondisi ini tentunya menjadi ‘pekerjaan rumah’ semua pihak untuk melakukan perubahan, agar bencana akibat ulah manusia dapat dikurangi hingga pemanfaatan hutan dapat dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dibentuk melalui UU Kehutanan No 41/1999 sebagai lembaga yang mengelola kawasan hutan secara ekonomi seharusnya dapat dioptimalkan di setiap daerah.
Pasal 17 ayat 1 tegas menyebutkan bahwa, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi.
Guru Besar dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Wahyu Andayani mengemukakan, seyogyanya keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berada di setiap daerah dapat dioptimalkan. Hal ini guna untuk melindungi hutan dan memaksimalkan kebermanfaatan hutan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Menurutnya, saat ini lebih dari 46,5 persen (56 Juta Ha) kawasan hutan Negara tidak dikelola dengan baik, dengan 30 juta hektarnya di bawah wewenang Pemerintah Daerah (Pemda). Oleh karena itu, KPH tersebut kemudian menjadi solusi atas pengelolaan hutan, dimana bisa mengakomodasi aspek ekologi, sosial, serta ekonomi.
Dalam perencanaannya, akan terdapat 600 unit KPH di seluruh Indonesia, dimana 530 unit untuk KPH dengan fungsi produksi, dan 70 unit KPH lainnya untuk fungsi lindung. Saat ini sudah terdapat 120 unit KPH yang berhasil dibangun dan menjadi model pada pembangunan KPH-KPH tersebut, walau Prof. Wahyu Andayani menyebutkan semua KPH Model itu pun juga belum beroperasi secara penuh.
Artinya masih terdapat banyak “pekerjaan rumah” untuk melindungi dan memaksimalkan hutan-hutan di Indonesia. Masih terdapat 480 unit KPH yang belum dibangun dan tentunya juga kerja-kerja untuk memastikan KPH tersebut dapat beroperasi secara penuh.
“Kita optimis (untuk melindungi hutan) jika semua pihak melakukan hal-hal secara bijak untuk mengelola hutan-hutan yang masih tersisa sekarang ini,” pungkas Prof. Wahyu Andayani dalam webinar “Pemikiran Bulaksumur Universitas Gadjah Mada Menuju Indonesia Maju 2045 Bidang Agro” yang disiarkan melalui kanal Youtube UGM pada Selasa, (7/12/2021).
Sebab, sejauh ini Prof. Wahyu Andayani melihat bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan lain sebagainya telah terjadi hampir di seluruh pulau di Indonesia. Selain itu, masyarakat di sekitar hutan juga masih belum berada dalam kondisi sejahtera.
Berdasarkan data dari dibi.bnpb.go.id menunjukkan secara statistik kurun waktu 16 tahun terakhir semenjak 2006-2021 bencana yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan. Baik itu bencana banjir, tanah longsor, abrasi, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dan sejumlah bencana lainnya.
Pada 2006 bencana yang terjadi seluruh Indonesia hanya 802 kali, kemudian terus mengalami peningkatan dan puncaknya paling banyak mengalami bencana pada 2020 lalu mencapai 4.910 kali, sedangkan 2021 terjadi penurunan menjadi 3.586 kali.
Akan tetapi bila dibandingkan angka banjir di Indonesia pada 2021 mengalami peningkatan 3 kali lipat pada 2006 lalu. Data peningkatan bencana terjadi di Indonesia kurun waktu 16 tahun terakhir dapat dilihat di data statistik di bawah ini:
Adapun jenis bencana yang kerap terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2017-2021 adalah bencana hidrometeorologi, yaitu puting beliung 5.597 kali, banjir 5.164 kali, tanah longsor 4.287 kali, Karhutla 2.205 kali, kekeringan 314 kali dan abrasi 161.
Penyebab utama bencana hidrometeorologi adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang semakin masif. Hingga berdampak pada iklim, curah hujan, dan suhu udara berpengaruh peningkatan gas karbon dioksida dan gas-gas lain.
Pada 2018 lalu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Tanah Air akibat meningkatnya karbon dioksida karena Karhutla mencapai 723,51 Gg CO2e atau 44 persen dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia (katadata.com, 23 Agustus 2021).
Baca Dulu
Berdasarkan data terbuka yang dihimpun dan dianalisis readers.ID dari sipongi.menlhk.go.id, selama 2016-2020 saja, hutan yang hilang akibat Karhutla di Indonesia mencapai 3.079.313 hektar. Sebagai perbandingan saja, luasan ini setengah luas provinsi Aceh atau setara dengan 52,75 persen.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, Karhutla di Indonesia yang paling luas terjadi pada 2019 sebanyak 1.649.258 hektar, luasan ini hampir 28,25 persen luas wilayah Aceh. Dengan rata-rata terjadi kebakaran seluas 18.113,61 hektar.
Akibat dari Karhutla selama 2016-2020 berdampak meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran. Diperkirakan Indonesia sudah melepaskan karbondioksida kurun waktu 5 tahun itu sebanyak 980.373.844 metrik ton dengan nilai rata-rata sebanyak 5.766.905 metrik ton.
Kendati Pemerintah Indonesia ada beberapa melakukan reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau penanaman, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap CO2 sepenuhnya.
Selengkapnya Baca:
Bencana yang terus terjadi di Indonesia juga berdampak buruk terhadap perekonomian warga, memakan korban jiwa hingga mengakibatkan kemiskinan.
Pada 2021 saja akibat bencana mengakibatkan 787 orang meninggal dunia di Indonesia, hilang 73 orang dan yang terluka 13.034 orang. Tak hanya itu dampak serius lainnya mengakibatkan 4.346.099 orang menderita, serta harus kehilangan dan kerusakan tempat tinggal sebanyak 1.391 unit.
Bencana hidrometeorologi yang terjadi hampir seluruh pulau di Indonesia, sebut Prof Wahyu, disebabkan oleh degradasi dan deforestasi hutan. Dulu pulau Kalimantan itu yang paling aman, hutannya sangat bagus, sehingga tidak pernah ada banjir dan longsor.
“Sekarang (sudah) menjadi pulau (Kalimantan) yang tidak aman,” tegasnya.
Tak terkecuali provinsi Aceh yang berada paling barat Indonesia. Kurun waktu 2006-2021 seperti data dari dibi.bnpb.go.id juga mengalami kenaikan. Pada 2006 lalu, bencana alam hanya 32 kali yang terjadi dan terus mengalami peningkatan hingga 2021, kendati angkanya mengalami naik turun.
Pada 2021 dampak dari bencana alam di Aceh juga mengakibatkan 2 orang meninggal dunia, 119.478 orang menderita dan mengalami kerusakan rumah sebanyak 267 unit. Belum lagi mengalami kerusakan infrastruktur seperti jembatan, pertokoan hingga sarana pendidikan.
Bencana yang paling parah terjadi di Serambi Mekkah terjadi pada 2020 lalu dengan jumlah 375 kali. Kondisi ini juga berdampak buruk terhadap berbagai sektor, baik korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur.
Dampak dari bencana 2020 lalu mengakibatkan 137.994 orang di Aceh menderita, ada 7 orang meninggal dunia, hilang 6 orang dan terluka 9 orang.
Dampak lainnya warga yang berada di wilayah bencana mengakibatkan kerusakan dan kehilangan rumah sebanyak 935 unit. Sarana pendidikan yang rusak sebanyak 13 unit, peribadatan 10 unit, jembatan 13 unit hingga pertokoan ada 46 unit.
“(Bahkan) seluruh Indonesia saat ini, pulau-pulau-nya tidak ada yang aman lagi,” jelasnya.
Sedangkan jenis bencana yang mendominasi terjadi di Aceh tak berbeda yang terjadi secara nasional yaitu bencana hidrometeorologi. Pada 2021 saja banjir yang terjadi di Serambi Mekkah sebanyak 56 kali, Karhutla 38 kali. Selebihnya tanah longsor 6 kali, puting beliung 29 kali.
Namun pada 2020 lalu merupakan tahun paling banyak mengalami bencana di Tanah Iskandar Muda. Bencana yang paling tinggi adalah Karhutla, hampir 4 kali lipat meningkat dibandingkan 2019 yaitu sebanyak 160 kali, banjir 81 kali, tanah longsor 19 kali, puting beliung 98 kali dan abrasi 12 kali.
Bencana Karhutla pada 2019 sebanyak 43 kali yang terjadi di seluruh Aceh, banjir 65 kali, puting beliung 63 kali, tanah longsor 8 kali dan abrasi hanya terjadi 1 kali.
Prof Wahyu menyebutkan untuk penanggulangan agar dapat terhindar dari deforestasi lahan di Indonesia. Maka perlu menggalakkan pembangunan KPH, terutama untuk hutan-hutan di luar pulau Jawa.
Menurutnya, sejauh ini hutan-hutan di Jawa telah “dipangku” oleh Perum Perhutani, sehingga telah memiliki kejelasan dalam pengelolaannya. Prof. Wahyu menegaskan kejelasan dalam pengelolaan seperti itu merupakan aspek penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan. Sebab, jika suatu saat terjadi bencana maka penyelesaian masalah dapat lebih jelas dan terarah.
“Jadi, nanti bisa kalau ada peristiwa (bencana) hidrometeorologi (di pulau Jawa) ya silahkan (keluh kesah) dialamatkan kesana (Perum Perhutani). Jadi, kalau ada banjir, longsor, dan lain sebagainya itu nanti dialamatkan (saja) ke Perum Perhutani, jadi kira-kira begitu,” tutur Prof. Wahyu Andayani
Sedangkan di luar Jawa itu, sebutnya, hutannya belum ada yang ‘mangku’. Oleh karena itu, perlu dipangku supaya nanti jelas, siapa berbuat apa di kawasan tersebut. Oleh karena di Jawa sudah ada pemangkunya, maka di luar Jawa diperlukan pemangku yang bertanggung jawab bila terjadi bencana maupun kebakaran.
Mayoritas Bencana Hidrometeorologi
Sementara itu Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lilik Kurniawan menyatakan, 95 persen bencana yang ada di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi.
Menurutnya, hidrometeorologi adalah bencana yang dipengaruhi atau dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya. Contohnya, peningkatan curah hujan, suhu ekstrim, cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang disertai angin kencang serta kilat atau petir, dan lain sebagainya.
“Kita tahu masalah bencana di Indonesia itu mungkin sekitar 95 persen adalah bencana hidrometeorologi,” ujar Lilik dalam webinar Potret 10 Tahun Kebijakan dan Aksi Pengurangan Risiko Bencana Iklim di Indonesia, Rabu (14/4/2021) lalu dilansir dari beritasatu.com.
Lilik juga mengatakan bahwa bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, gelombang ekstrem, angin puting beliung terkait dengan iklim. Dengan demikian penting menjadi penting bagi masyarakat luas untuk membahas dan mempertimbangkan proyeksi iklim kedepannya.
Dikatakan perubahan iklim saat ini menjadi ancaman baru yang sudah mulai terlihat. “Beberapa aksi yang sudah dilakukan dalam pengurangan risiko bencana dan iklim. Memang masalah perubahan iklim ini menjadi ancaman baru ya yang sudah mulai terlihat.”
Salah satu contoh bencana dari perubahan iklim adalah siklon tropis seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu. Diakui Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun sudah mengingatkan adanya potensi bibit siklon yang kemungkinan melanda Indonesia Timur.
BNPB pun berharap pemprov ataupun pemda agar meningkatkan koordinasi dengan BMKG di wilayah terkait dengan perkembangan potensi bibit siklon tropis dan siklon tropis surigae yang sebelumnya bibit siklon ini bernama 94W. Informasi peringatan dini BMKG dapat digunakan untuk mempercepat penyebarluasan informasi peringatan dini bencana.
Lilik juga menyarankan pemda meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem seperti puting beliung, hujan lebat disertai kilat/petir, dan hujan es dan dampak yang dapat ditimbulkan seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, genangan, angin kencang, pohon tumbang maupun jalan licin.
Terakhir, Lilik meminta koordinasi antar dinas terkait dan aparatur untuk kesiapsiagaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masing-masing. Upaya ini bertujuan untuk mencegah dampak yang mungkin timbul.
Lilik juga menyebutkan BNPB mencatat sebanyak 53.000 desa di Indonesia berada di daerah rawan bencana. Sekitar 51 juta keluarga tinggal di daerah rawan bencana.
"Ternyata hampir 75.000 desa yang ada di Indonesia saat ini, lebih dari 53.000 desa atau kelurahan berada di daerah rawan bencana,” ungkap Lilik.
Menurutnya 45.973 desa masuk rawan gempa bumi. Sebanyak 5.744 desa rawan bencana tsunami. Ada 2.160 desa rawan bencana gunung api. Kemudian 34.716 desa rawan longsor, 37.497 desa rawan kebakaran hutan dan lahan, 41.236 desa rawan kekeringan, dan 47.430 desa rawan banjir.
“Seperti contohnya ada 5.744 desa yang berada di daerah rawan tsunami, kemudian di daerah rawan longsor ada 34.716 desa, dan seterusnya,” ungkap Lilik.
Untuk itu melalui Peraturan Kepala (PERKA) BNPB Nomor 1 Tahun 2012 dibentuklah Desa Tangguh Bencana. Nantinya setiap desa yang telah mempunyai Desa Tangguh Bencana ini akan memiliki rapor ketangguhan bencana.
“Di BNPB desa tangguh bencana ini dimulai setelah Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012. Perka ini kemudian lebih masif lagi dilakukan setelah adanya Deklarasi Yogya,” katanya.
Setiap desa yang berada di wilayah rawan bencana akan memiliki rapor penilaian ketangguhan desa. Upaya ini dilakukan sebelum BNPB ataupun BPBD mengintervensi ketangguhan di desa tersebut.[]
Komentar