KPPAA: 3 Kasus Gang Rape Terhadap Anak Terjadi di Aceh Selama 2021

Penulis:

Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA) mencatat sedikitnya ada tiga kali kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan secara berkelompok selama 2021.

Pernyataan itu disampaikan Komisioner KPPAA, Firdaus D Nyak Idin dalam menanggapi kasus pemerkosaan terhadap remaja perempuan berusia 15 tahun di Nagan Raya yang dilakukan 14 pemuda.

“Sedikitnya sudah terjadi 3 (tiga) kali,” kata Firdaus, pada Sabtu (18/12/2021).

Kasus pertama terjadi di Bener Meriah, pada Februari 2021 lalu. Kemudian kasus serupa terjadi di Langsa sekitar Maret di tahun yang sama.

Terakhir dan kasus gangrape terbaru, yang terjadi di Nagan Raya beberapa waktu lalu.

“Tidak menutup kemungkinan ada kejahatan serupa terjadi namun kurang mencuat,” ujarnya.

Ia menjelaskan, menurut pandangan psikologi sosial, pelaku gang rape memiliki suatu mentalitas yang disebut ‘mentalitas mafia’.

Di mana suatu kelompok melakukan suatu perilaku kejahatan bersama-sama tanpa berpikir jernih.

Gang rape terjadi sangat sering dikarenakan pelaku cenderung melakukan suatu kejahatan jika dirinya merasa bisa lolos dari hukuman.

“Dalam kasus Aceh, disinyalir, dualisme hukum yakni Qanun Jinayat versus Undang-Undang Perlindungan Anak turut mempengaruhinya,” jelas Firdaus.

Tidak hanya itu, pelaku gang rape dikatakannya, juga cenderung menganggap korban --perempuan-- sebagai warga kelas dua.

“Jelas ada ketidaksetaraan gender di sini,” ucapnya.

Terkati kasus tersebut, KPPAA kembali mengingatkan, agar kasus tidak semakin bertambah, Pemerintah Aceh perlu mengambil Langkah-langkah strategis dan cepat.

Di antaranya, merevisi dan memperkuat Qanun Jinayat, karena terbukti keberadaan aturan tersebut telah menyebabkan adanya dualisme hukum penanganan kejahatan seksual terhadap anak.

Pemerintah diminta segera menyusun Rencana Strategis Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Anak. Sebab, sampai saat ini, Aceh sama sekali belum memiliki rencana strategis apapun terkait perlindungan anak.

“Termasuk tidak memiliki rencana strategis dalam menghapus kekerasan seksual terhadap anak,” ujar Firdaus.

Selanjutnya, pemerintah disarankan untuk merevisi dan memperkuat Qanun Perlindungan Anak. Sehingga aturan itu dapat lebih terbarui dan sesuai perkembangan Aceh saat ini.

Memperkuat kelembagaan pengawasan perlindungan anak Aceh agar semakin kuat dan efektif melakukan pengawasan semua sektor terkait anak di Bumi Serambi Makkah.

Terakhir, pemerintah diminta untuk memperkuat fungsi keluarga dan komunitas. Dikarenakan sering sekali kejahatan seksual terjadi di rumah atau keluarga dan di komunitas lingkungan terdekat korban.

Firdaus menyampaikan, dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Aceh memiliki tugas immidiate obligation atau kewajiban yang bersifat segara dan secepatnya tanpa memandang ketersediaan sumber daya dalam menghapus segara bentuk kejahatan seksual di Aceh.

“Apabila ini tidak dilakukan, dapat dianggap pemerintah telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia,” katanya.

Untuk itu, KPPAA berharap melalui sektor terkait segera duduk menyusun perencanaan yang strategis dan bertujuan bukan sekedar menurunkan angka, namun menghapus segala bentuk kejahatan seksual terhadap anak di Aceh.

“Zero Tolerant untuk Kejahatan Seksual terhadap anak,” ucapnya.

“Jangan sampai korban bertambah banyak, pelaku bertambah sadis, pemerintah bertambah cuek,” imbuh Firdaus.

Terkait pelakunya yang masih berusia anak dan masih remaja, KPPAA meminta semua pihak untuk tidak menghakimi. Karena pada dasarnya mereka juga merupakan korban kegagalan tumbuh kembang akibat salah asuh.

“Salah asuh di keluarga, salah asuh di lembaga pendidikan maupun salah asuh di komunitas yang cenderung tidak peduli. Fenomena ini disebut ‘ketidakpedulian pluralis’,” jelas Firdaus.

Untuk diketahui, remaja cenderung menjadi pelaku gang rape karena remaja sangat rentan terhadap pengaruh perilaku negatif seperti adiksi narkoba, seks bebas, pornografi, perilaku kriminal, dan jenis kenakalan remaja lainnya atau juvenile deliquency.

Terjadi transisi hormonal yang memengaruhi cara berpikir remaja pelaku gang rape.

Menurut teori Jean Piaget dikatakan Firdaus, remaja dapat berpikir abstrak namun perkembangan kognitif terhadap sistem moral belum berkembang sempurna.

“Sehingga mereka mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum di masa depan,” tutupnya.