Kronologi Kasus Percobaan Rudapaksa Hingga Laporannya Ditolak Polisi

Seorang perempuan berusia 19 tahun di Aceh Besar, diduga menjadi korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan seorang pria tak dikenal.
Mirisnya lagi, saat korban akan membuat laporan ke pihak Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh, laporannya ditolak dengan dalih bahwa korban belum divaksin.
Lalu bagaimana kronologi peristiwa yang menimpa perempuan berstatus mahasiswa dan bermukim di Kecamatan Darul Imarah tersebut?
Berikut penjelasan Muhammad Qudrat Husni Putra, kuasa hukum korban sekaligus Kepala Operasional dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Banda Aceh, dalam konferensi pers, di Kantor YLBH Banda Aceh, pada Selasa (19/10/2021).
Kasus yang dialami kliennya bermula, pada Minggu (17/10/2021) sore. Kala itu, korban yang biasa tinggal bersama ibu dan adiknya, sedang sendiri di rumah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu rumah korban diketuk. Penasaran, korban pun lalu membukanya guna mencari tahu.
Saat pintu dibuka, seorang pria muncul dan langsung membekap korban. Pelaku diduga berupaya melakukan percobaan pemerkosaan.
Korban tidak diam. Ia melakukan perlawanan hingga pelaku kemudian kabur usai mendengar suara motor milik ibu korban terdengar di depan rumah.
Atas kejadian itu, korban bersama adik dan ibunya serta didampingi kepala dusun pergi mendatangi Kantor YLBH Banda Aceh, pada Senin (18/10/2021).
Usai mendengarkan cerita, korban disarankan untuk membuat laporan ke pihak Polresta Banda Aceh dan lembaga itu akan menjadi pendamping hukumnya.
Tiba di Mapolresta Banda Aceh, petugas piket sempat menanyakan sertifikat vaksin kepada rombongan korban dan kuasa hukumnya.
Sebab, jika tidak memiliki bukti telah divaksin maka dilarang masuk wilayah kepolisian tersebut.
“Kebetulan ada pengabdian hukum yang telah divaksin, sehingga diizinkan masuk ke SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu),” kata Qudrat menceritakan.
Di SPKT, rombongan korban sempat dilontarkan pertanyaan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Tak luput juga, pertanyaan tentang sertifikat vaksin disampaikan kepada mereka.
Kepada petugas, korban menyampaikan jika dirinya tidak bisa divaksin. Sementara surat keterangan dari dokter mengenai hal tersebut, tidak disertainya saat membuat laporan.
Sebab, surat itu dikatakan ditinggal korban di kampung halamannya dan bukan di kediamannya di Aceh Besar.
“Surat itu ada tetapi di kampungnya. Dia tidak bawa,” ujarnya.
Meski begitu, pihak SPKT dikatakan kuasa hukum korban, tetap menolak. Dikatakan bahwa jika tidak memiliki sertifikat vaksin, maka laporannya tidak bisa diterima.
Tidak hanya itu, petugas dikatakan Qudrat juga menyampaikan jika tindakan yang dialami korban bukanlah bagian dari percobaan pemerkosaan.
Sebab, tindakan pelaku tidak sampai menjeramah bagian vital maupun bagian tubuh sensitif lainnya pada diri korban.
“Menurut petugas, apa yang dialami korban hanya dianggap penganiayaan dan bukan tindakan pemerkosaan,” jelasnya.
Merasa tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya, korban bersama kuasa hukumnya coba membuat laporan ke Kepolisian Daerah (Polda) Aceh.
Di kepolisian tingkat provinsi itu, mereka tidak ada diminta syarat wajib telah divaksin dan diterima Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Perihal lain dialami saat coba membuat laporan.
Usai menceritakan kronologis kejadian, laporan ditolak dan hanya memberikan nomor petugas agar korban bisa menghubunginya jika suatu waktu kembali lagi hal yang tidak diinginkan.
Akan tetapi, petugas dikatakan Qudrat, menolak untuk dikeluarkannya STPL (Surat Tanda Penerimaan Laporan).
“Itu karena pelakunya tidak diketahui atau tidak tahu siapa,” ucapnya.
YLBH Banda Aceh sangat menyayangkan tindakan pihak kepolisian atas penolakan laporan milik korban dikarenakan perempuan itu belum divaksin.
Padahal menurut Qudrat, sertifikat vaksin itu bukan suatu syarat seseorang untuk memperoleh keadilan.
“Jadi jika kebijakan untuk laporan harus ada sertifikat vaksin, itu sangat disayangkan,” katnya.
Tidak hanya itu, tindakan petugas Polresta Banda Aceh juga bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam hal ini, korban memiliki hak untuk diakui sebagai subjek hukum dan persamaan di depan hukum.
Karena, hak untuk diakui sebagai subjek hukum itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.
“Terlepas apakah dia divaksin atau tidak, dia merupakan subjek hukum, yang secara hukum memiliki hak untuk melaporkan ke polisi apabila dia mengalami tindak pidana,” jelas Qudrat.
“Termasuk dalam keadaan pandemi. Kesannya begini, karena seseorang itu belum divaksin, jadi haknya sebagai subjek hukum sudah dianggap tidak bisa melakukan laporan,” imbuhny.
Dalam konferensi pers yang juga dihadiri Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra, pihak kuasa hukum pun menyayangkan tindakan petugas di Polda Aceh.
Alasan petugas tidak menerbitkan STPL dikarenakan korban tidak mengetahui dan mengenal terduga pelaku atau tersangka dianggap sebagai tindakan keliru.
“Sebab, untuk mencari siapa pelakunya tentu itu menjadi tugasnya penyelidikan bukan tugasnya korban. Korban cuma menceritakan pidana apa yang terjadi,” tegas Qudrat.
“Ini yang sangat kami sayangkan dan kami berharap tidak terulang lagi di masa mendatang,” harapnya.
Komentar