Manusia Memanusiakan Manusia

Sebagai makhluk unik yang dilengkapi mahkota akal, manusia dengan fitrahnya seharusnya bisa memanusiakan manusia

Waktu Baca 8 Menit

Manusia Memanusiakan ManusiaFoto: Dok. Husaini Algayoni
Kolumnis Gayo, Husaini Algayoni. (Foto: Dok. Husaini Algayoni)

Oleh Husaini Algayoni*

Manusia makhluk unik diciptakan dalam bentuk terbaik, dilengkapi mahkota akal untuk berpikir. Dalam pandangan Islam, manusia dipandang sebagai makhluk berpikir, inovatif dan mandiri. Berpikir adalah daya yang dengannya manusia menganalisis masalah-masalah yang berbeda dan menghasilkan suatu kesimpulan umum. (Mendaras Tauhid Mengeja Kenabian: 93)

Manusia mempunyai tiga potensi dasar yang ketiganya mempunyai kebutuhan dan tuntutan tersendiri, tiga potensi yang ada dalam diri manusia adalah rohani, akal, dan jasmani. Karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan “Ada tiga ilmu saling berintegrasi dalam kehidupan manusia, yaitu: filsafat, fiqih, dan tasawuf.

Filsafat erat kaitannya dengan akal, filsafat mempunyai peran penting dalam sendi kehidupan manusia. Lebih jauh jika berbicara filsafat bahwasannya manusia yang berfilsafat sudah tentu berpikir sementara orang yang berpikir belum tentu berfilsafat karena filsafat adalah berpikir. Juga ada fiqih erat kaitannya dengan jasmani dan tasawuf yang berhubungan dengan rohani.

Dilihat dari perspektif filosof tentang manusia mempunyai pandangan masing-masing, misalnya Pemikir Murtadha Muthahhari dan Ali Syari’ati yang pernah menggoncangkan dunia intelektual Indonesia. Ali Syariati dengan konsep manusia ideal dan Muthahhari dengan konsep insan kamil.

Manusia dalam QS. at-Tin: 4, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu atas sebaik-baik pendirian”. Bahwasannya di antara makhluk Allah di muka bumi ini, manusia diciptakan Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk lahir dan bathin, bentuk tubuh dan nyawa. (Tafsir Al-Azhar: 201-206).

Bentuk tubuhnya melebihi keindahan bentuk tubuh hewan, tentang ukuran dirinya dan tentang manis air mukanya sehingga manusia dinamai basyar, artinya wajah yang mengandung gembira, sangat berbeda dengan makhluk-makhluk lain.

Manusia diciptakan dalam bentuk terbaik dan dalam segi penciptaan melalui proses yang unik, beberapa ayat menjelaskan hal tersebut terdapat dalam QS. an-Naml: 4, al-Kahfi: 37, al-Hajj: 5, al-Mukminun: 13-14, Fathir: 11, Yaasin: 77, al-Mukmin: 67, an-Najm: 46, al-Qiyaamah: 37, al-Ihsaan: 2 dan ‘Abasa: 19.

Selain itu, manusia juga diciptakan bersifat gelisah dan suka mengeluh, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah. Apabila ia disentuh kesusahan ia sangat berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”. QS al-Ma’arij: 19-21. Surat al-Ma’arij ayat 19-21 ini, Allah menciptakan tabiat buruk pada manusia sehingga harus dirubah menjadi manusia yang tinggi martabatnya.

Sementara manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak mempunyai ketenangan hati, cemas, takut, selalu merasa ada kekurangan, rakus, tamak, dan sakit jiwa bisa mengiringi manusia yang berkeluh kesah. (Tafsir al-Mishbah, Juz ‘Amma: 377-378).

Dari dua ayat di atas bahwasannya manusia diciptakan dalam bentuk terbaik dan di sisi lain manusia bersifat gelisah, disentuh kesusahan maka akan berkeluh kesah. Kemudian kita bertanya pada diri sendiri, siapa sebenarnya manusia itu? Jawabannya pasti berbeda, sebagaimana filosof pun memberi pandangan berbeda-beda tentang manusia.

Memanusiakan Manusia

Dengan akal yang dimiliki manusia sering bertanya dan ingin mencari tahu. Pertanyaan yang sering ditanyakan manusia adalah tentang bahagia, apa itu bahagia? Apa ukuran bahagia itu bagi manusia? Pertanyaan sederhana bagi sebagian orang, tapi bagi filosof mempunyai filosofis dan menjawabnya pun tidak semudah yang dibayangkan.

Bagaimana pun situasi dan kondisi manusia yang sedang dihadapinya, manusia ingin bahagia dan tujuan manusia ingin mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Lalu apa itu bahagia? Sama halnya dengan manusia, kebahagiaan juga mempunyai perspektif masing-masing dalam pandangan filosof.

Dari berbagai pandangan yang disampaikan oleh filosof, satu pandangan yang mungkin dekat dengan kehidupan kita, apapun itu profesinya dan bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan tersebut berasal dari Aristoteles, guru pertama ini mengatakan bahagia adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendaknya masing-masing.

Orang yang hidupnya sederhana tanpa bergelimangan harta, ia bahagia. Kaya dan mempunyai jabatan tinggi, ia bahagia. Seorang pecandu kopi, bahagia kalau sudah merasakan nikmatnya secangkir kopi, seorang barista bahagia ketika membuat secangkir kopi kepada pelanggannya. Karena itu, bahagia sesuai dengan kehendaknya masing-masing.

Namun, ada hal yang lebih sempurna dari rasa bahagia itu sendiri yaitu sesuatu yang bermanfaat. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika bisa memberi manfaat untuk orang lain, sebagaimana rumus kebahagian hubungan manusia dengan rasa cinta, memanusiakan manusia. Saling menghargai dan saling menghormati serta manusia yang berbudaya.

Terlebih-lebih memanusiakan manusia di era modern ini sangat penting dalam bermasyarakat, Manusia dengan harta yang banyak, jabatan dan titel tinggi tapi tidak punya rasa sikap yang baik kepada sesama. Merasa diri paling hebat dan memandang rendah orang lain.

JK Rowling penulis terkenal dengan novelnya Harry Potter menyebutkan bahwa “If you want to know what a man's like, take a good look at how he treats his inferiors, not his equals” (Jika Anda ingin tahu seperti apa orang itu, perhatikan baik-baik bagaimana ia memperlakukan bawahannya, bukan kesetaraannya.)

Memperlakukan manusia dengan harkat dan martabat serta menghargai orang lain merupakan sikap hormat manusia yang memanusiakan manusia, hati dan pikirannya bersih. Manusia yang tidak memanusiakan manusia adalah manusia yang mempunyai tabiat buruk, hati dan pikirannya tidak bersih. 

Sebagai makhluk unik yang dilengkapi mahkota akal, manusia dengan fitrahnya seharusnya bisa memanusiakan manusia. Dengan mendaras manusia lebih dalam (radik) dan tajam dari berbagai perspektif, kita tahu siapa manusia? Atau selama ini tidak tahu siapa manusia? Sehingga semena-mena dengan manusia tanpa ada rasa memanusiakan manusia.

Penulis : Kolumnis Gayo

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...