Menyingkap Jejak Satwa di Rumah Dinas Gubernur

Waktu Baca 15 Menit

Menyingkap Jejak Satwa di Rumah Dinas Gubernur
Tim BKSDA dan Dinas Peternakan Aceh mengamankan beberapa ekor burung yang tergolong satwa dilindungi, dari rumah dinas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. [Dok. Ist]

"Saya tidak dapat informasi tentang --sejak kapan satwa dilindungi itu dipelihara di rumah dinas wakil gubernur Aceh-- itu, karena yang datang teman-teman Subbag TU dan kasi dari BKSDA. Terus laporannya mereka menyampaikan belum secara detailnya."

Kutipan di atas adalah pernyataan langsung Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Arianto, ketika dihubungi readers.ID via telepon, pada Jumat (12/3/2021).

Agus dalam kesempatan itu menanggapi sejumlah pertanyaan soal proses serah terima hewan dilindungi di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh yang kini ditempati Gubernur Nova Iriansyah, pada Kamis (11/3/2021). Kegiatan itu turut dihadiri kepala Dinas Peternakan Provinsi Aceh, Rahmandi.

Secara terbuka dirinya mengaku tidak mengetahui secara detail asal usul satwa dilindungi jenis burung di rumah dinas di kawasan Blang Padang, Kota Banda Aceh itu.

Dalihnya, tak ikut serta dalam penyitaan atau mereka sebut sebagai penyerahan dan hanya mengirimkan beberapa petugas dari BKSDA, di antaranya dokter hewan, kepala Sub Bagian Tata Usaha (Subbag TU), serta kepala Seksi Konservasi Wilayah I.

Agus Arianto mengaku jika dirinya hanya mendapatkan informasi bahwa ada satwa dilindungi di rumah dinas pejabat provinsi. Setelah itu, ia mengerahkan anggotanya untuk memfasilitasi serah terima sembilan ekor satwa dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

"Kalau saya tidak sebegitu jauh mengetahui, kita begitu mendapatkan informasi bahwasanya mereka ingin menyerahkan, ya kita persiapkan. Intinya sarana dan prasarana untuk satwa yang diserahkan," ujarnya.

Tidak hanya berdalih ihwal asal usul satwa yang terdiri seekor burung julang emas (Rhyticeros undulatus), satu ekor elang hitam (Uctinaetus malaynesis), empat ekor elang bondol (Haliatur indus) dan tiga ekor elang brontok (Nisaetus chirrhatus) itu saja, Agus juga menegaskan bahwa kegiatan yang mereka lakukan adalah serah terima satwa, bukan penyitaan. Alasannya karena ada inisiatif dari pihak yang memelihara burung itu kepada BKSDA Aceh.

"Itu serah terima, bukan penyitaan. Jadi penyerahan dari pendopo wakil gubernur kepada kami, BKSDA Aceh. Itu atas inisiatif, kesadaran untuk menyerahkan satwa-satwa tersebut ke BKSDA," jelas Agus.

"Kita dihubungi oleh pihak pendopo wakil gubernur, mereka memiliki satwa dan mereka menyadari bahwa ini sebaiknya disampaikan ke pihak pengelola, BKSDA," imbuhnya lagi.

Kurang puas dengan jawaban yang disampaikan oleh Agus, readers.ID menyambangi kantor instansi di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tersebut, pada Jumat (12/3/2021).

Di kantor yang terletak di Jalan Cut Nyak Dhien, Gampong Emperom, Jaya Baru, Banda Aceh itu, readers.ID menjumpai Kepala Subbag TU BKSDA Aceh, Erwan Candra Jaya dan Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Lhokseumawe, Kamarudzaman.

Keduanya adalah orang yang terlibat langsung dalam mengeksekusi sembilan ekor burung dilindungi dari rumah dinas wakil gubernur Aceh.

Tak ada kontradiksi. Jawaban keduanya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Agus Arianto. Mereka menyebut bahwa eksekusi yang dilakukan di rumah dinas pejabat terkait adalah penyerahan satwa bukan penyitaan.

"Sebenarnya bukan penyitaan, kami luruskan di media itu adalah penyerahan. Sebelumnya ada pembicaraan antara kepala Dinas Peternakan dan BKSDA Aceh, kemudian kita ke lapangan yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyerahan dari pihak rumah tangga gubernur dan kepala dinas peternakan," ujar Erwan.

Meski eksekusi yang dilakukan mereka sebut sebagai penyerahan, namun muncul kejanggalan ketika tak ada informasi lanjutan, terkait sejak kapan dan dari mana asal usul satwa-satwa dilindungi tersebut hingga berada di rumah layaknya istana berwarna putih itu.

"Kalau terkait berapa lama --di rumah dinas--, kita tidak membicarakan masalah itu kemarin," timpal Kamarudzaman ketika diwawancarai.

[ps2id id='001' target=''/]

“Ini Bukan Pelanggaran Hukum” 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah tegas menyebutkan pelarangan bagi setiap orang untuk memiliki maupun memelihara satwa dilindungi.

Itu tertuang dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a, yang berbunyi, "Setiap orang dilarang untuk menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup."

Bahkan, bagi warga yang melanggar akan dijerat pidananya sesuai Pasal 40 ayat 1 berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta."

BKSDA Aceh telah menerima sembilan ekor satwa jenis burung dilindungi. Itu didapatkan dari rumah dinas wakil gubernur Aceh.

Burung-burung yang tergolong satwa dilindungi yang diamankan oleh petugas BKSDA di rumah dinas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. [Dok. Ist]

Meski satwa-satwa itu dikatakan telah diserahkan secara sukarela, namun sesuai undang-undang yang berlaku, setiap orang memelihara dan memilikinya bisa dijerat hukum.

Namun, dalam konteks ini BKSDA menganggap bahwa tindakan yang dilakukan pejabat provinsi itu tidak melanggar hukum. Sehingga tidak perlu dilakukan penerapan hukum.

Menurut Agus Arianto, selaku kepala BKSDA Aceh penerapan hukum baru bisa dilakukan apabila sudah melalui proses akhir atau jika tidak bisa dilakukan secara persuasif.

"Sebetulnya kalau dalam sisi penanganan hukum itu melalui proses terakhir. Sejauh masih persuasif atau kesadaran sendiri mereka telah sadar dan menyerahkan, saya rasa itu hal yang baik," ujarnya.

Sementara itu, dalih lain disampaikan oleh Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Lhokseumawe, Kamarudzaman. Mereka --pejabat pemilik satwa--, dianggap tidak mengetahui perihal hewan dilindungi tersebut.

"Ya belum, mungkin karena ketidaktahuan beliau, sehingga ketika tahu bahwa ini satwa dilindungi beliau meminta kepada Kepala Dinas Peternakan menyerahkan itu," kata Kamarudzaman.

Seekor burung julang emas, satu ekor elang hitam, empat ekor elang bondol, dan tiga ekor elang brontok dilindungi oleh negara itu, kini telah dibawa ke lembaga konservasi yang ada di Taman Rusa, Kabupaten Aceh Besar. Sebab BKSDA tidak memiliki sangkar yang memadai untuk menampung kesembilan unggas tersebut. Selama di sana, burung-burung itu nantinya akan dirawat serta diobservasi sebelum nantinya dilepasliarkan kembali ke alam.

Selain di rumah wakil gubernur Aceh, BKSDA Aceh belum mengetahui secara pasti pejabat mana lagi yang memiliki dan memelihara satwa dilindungi.

"Kita belum tahu --apakah ada pejabat lainnya memiliki dan memelihara satwa dilindungi--, yang jelas kita mengimbau kepada masyarakat yang memiliki satwa liar dilindungi tanpa izin agar menyerahkan kepada kami, BKSDA Aceh," kata Agus Arianto.

[ps2id id='002' target=''/]

Jejak Hitam Satwa di Lingkaran Pejabat

Ada yang patut disoroti dari proses pengambilan satwa dari rumah dinas Nova Iriansyah itu. Berulang kali Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menyatakan proses itu adalah penyerahan sukarela, bukan penyitaan. Hal ini mengaburkan warna moral sekaligus kepastian hukum mengenai tindakan tersebut. Apalagi di saat yang sama, publik ingin ketegasan dari BKSDA, apakah kepemilikan satwa oleh Nova Iriansyah itu melanggar hukum atau tidak?

Banyak kasus kepemilikan satwa yang mendapat tindakan tegas. November 2020 lalu, seorang warga Bener Meriah ditangkap setelah terungkap akan melakukan transaksi puluhan paruh burung rongkang gading, kulit trenggiling dan kulit harimau. Polisi memastikan tubuh hewan itu berasal dari hasil perburuan di kawasan konservasi hutan Leuser. Temuan ini pula yang menunjukkan Aceh termasuk daerah merah perdagangan satwa liar.

Serupa dengan penyerahan di rumah dinas gubernur, di tahun 2017 silam, BKSDA menyita lima hewan langka berupa kukang, kucing hutan dan siamang dari rumah seorang warga di Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Petugas mengendus keberadaannya dari video Youtube yang diunggah pemilik hewan tersebut.

Kecaman terhadap kepemilikan hewan dilindungi di lingkaran pejabat juga terungkap empat tahun silam. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pernah kedapatan memelihara enam ekor burung dilindungi, yakni jenis Merak Hijau, Kakatua Jambul Kuning dan Nuri Bayan.

Adapun dugaan pelanggaran yang dilakukannya, berdasarkan temuan investigasi Tempo, November 2017 lalu, yakni dengan membuat izin atas nama anaknya, lalu izin itu diurus hanya untuk Jalak Bali, dan untuk Merak Hijau tanpa penanda berupa cincin.

Namun kala itu Siti berkilah, “semua satwa di rumah saya sudah berizin, prinsipnya tidak apa-apa asal ada izinnya.”

Selain Siti, sejumlah pejabat lainnya juga diketahui melakukan hal yang sama. Berturut-turut Tempo mengungkap, Mantan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, lalu politisi Fadli Zon, Bambang Soesatyo hingga Dubes RI untuk Kroasia Sjachroedin Zainal Pagaralam.

Padahal, seluruh jenis satwa yang mereka pelihara tercantum dalam lampiran PP Nomor 7 Tahun 1999, di mana hanya pemilik izin penangkaran dan lembaga konservasi yang boleh memeliharanya. Singkat kata, satwa-satwa tersebut haram dimiliki perseorangan tanpa izin.

Ada beragam modus yang dilakukan untuk bisa memiliki satwa dilindungi itu. Di antaranya, membeli secara ilegal, mendapat titipan dari lembaga konservasi, serta berlindung di balik izin.

Modus yang terakhir bisa dilakukan dengan bermacam cara. Awalnya, pemilik satwa mengajukan izin yang biasanya mengatasnamakan orang lain. Lalu izin diajukan ke lembaga konservasi maupun otoritas terkait. Terakhir, izin hewan yang diajukan ternyata berbeda dengan hewan yang sebenarnya dipelihara.

Untuk memastikan pelanggaran hukum dan jejak satwa yang sempat dipelihara di rumah dinas Nova Iriansyah, sebenarnya bisa ditelusuri dari beberapa hal, di antaranya, sejak kapan hewan-hewan itu dipelihara dan dari mana ia berasal?

Kedua pertanyaan ini belum terjawab, ketika readers.ID menemui otoritas di BKSDA. Padahal, pelacakan soal asal-usul burung-burung itu bisa menyingkap gambaran lebih besar terkait status satwa yang dilindungi ini.[]

Editor: Fuadi Mardhatillah

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...